8 Film Berbahasa Arab Terbaik Garapan Sutradara Perempuan

Ada satu hal menarik dari industri film Timur Tengah (Asia Barat dan Afrika Utara), yakni persentase sutradara perempuan yang cukup tinggi. Melansir data Wilson Center, pada 2018, sekitar 26 persen sineas independen Arab adalah perempuan. Angkanya jauh lebih tinggi dibanding region-region lain di dunia yang masih di bawah 10 persen. Namun, ini hampir sebanding dengan persentase film indie Amerika Serikat yang disutradarai perempuan pada rentang waktu itu menurut Statista, yakni sekitar 30 persen.
Data ini tentu jadi menarik, karena orang mengenal negara-negara Arab sebagai tempat yang masih memegang teguh budaya patriarki. Nyatanya, sineas perempuan asal Timur Tengah justru silih berganti memahat prestasi membanggakan. Progresivitas ini terlihat jelas dari karya-karya terbaik mereka yang berhasil menembus ajang penghargaan film bergengsi macam Cannes dan Oscar.
Daftar film berbahasa Arab terbaik garapan sutradara perempuan Timur Tengah ini wajib kamu tahu. Keren semuanya, lho!
1. Wadjda (2012)

Wadjda karya Haifaa Al-Mansour adalah salah satu film feminis yang mengangkat isu ketimpangan gender di negara-negara Arab, khususnya Arab Saudi. Kacamata yang dipakainya cukup unik, yakni seorang bocah 10 tahun bernama Wadjda yang ingin bisa naik sepeda. Namun, dengan segala perilaku seksisme dan berbagai restriksi terhadap perempuan, ia terancam harus mengubur keinginan sederhananya itu.
Character development dalam film ini ciamik, terutama sosok ibu Wadjda yang awalnya sempat berkompromi dengan segala restriksi yang dibebankan padanya dan anak perempuannya. Meski tak berhasil menembus Academy Awards, Wadjda diputar di berbagai festival film internasional. Filmnya juga dapat rating tinggi karena berhasil melontarkan kritik yang akurat soal seksisme di negara-negara Arab.
2. Capernaum (2018)

Capernaum boleh disebut sebagai satu dari sedikit film garapan sutradara perempuan Arab yang berhasil menembus Oscar. Ini terjadi pada 2019, saat sinema berlatar Lebanon itu dapat nominasi di kategori Film Fitur Internasional Terbaik.
Mendapuk seorang imigran anak asal Suriah, Nadine Labaki berhasil memotret banyak isu. Tak hanya soal krisis imigran, tetapi juga kehidupan anak-anak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Lewat sosok Zain, ia mencoba mengingatkan penonton tentang dampak perang serta bagaimana anak-anak harus menanggung konsekuensi terburuk dari perbuatan orang-orang dewasa di sekitar mereka.
3. Papicha (2019)

Papicha berhasil tayang perdana di Cannes Film Festival 2019 dan sempat diajukan jadi submisi Aljazair untuk Academy Awards. Latarnya Perang Sipil Aljazair pada 1990-an yang memunculkan peraturan ketat soal cara berpakaian, terutama untuk perempuan.
Sekelompok mahasiswi jurusan fesyen kemudian mencoba melawan dan bertahan di tengah gempuran restriksi itu. Kalau Capernaum melihat dampak perang terhadap anak-anak, Papicha mencoba melihat dampak konstelasi politik terhadap perempuan.
4. The Man Who Sold His Skin (2020)

Meski tak fokus pada sudut pandang perempuan, film garapan sineas perempuan Tunisia Kaouther Ben Hania ini memang layak dapat nominasi Oscar. Ia berkutat pada sosok Sam, seorang laki-laki Suriah yang rela menjual bagian tubuhnya demi memperoleh visa Schengen.
Berlatarkan beberapa waktu setelah pecah perang sipil berkepanjangan di Suriah, sangat wajar bila tokoh-tokoh dalam film ini mencoba untuk mencari kestabilan hidup di luar negeri. Namun, benarkah Sam bisa mendapatkan kebebasan lewat keputusannya itu? Ini yang jadi bahan diskusi Ben Hania dalam The Man Who Sold His Skin.
5. Adam (2019)

Maryam Touzani bisa dibilang salah satu sosok prominen dalam industri film berbahasa Arab, terutama asal Maroko. Ia sudah memproduksi tiga film fitur yang semuanya membahas kebrutalan sistem patriarki. Pertama Razzia (2017) yang berisi kumpulan 5 cerita berbeda.
Disusul Adam (2019) yang membahas koneksi dua perempuan yang sama-sama harus bertahan hidup sendiri tanpa laki-laki di tengah masyarakat yang patriarkal. Pada 2022, ia kembali dengan The Blue Caftan. Meski masih mengkritik sistem patriarki, Touzani memilih menggunakan sudut pandang laki-laki yang tak pelak jadi korban.
6. Souad (2020)

Souad digarap Ayten Amin yang memotret realitas kehidupan tiga orang yang berbeda di Mesir. Mereka adalah Souad, seorang remaja membuat semesta alternatif lewat media sosialnya. Kemudian, Rabab, adik perempuan Souad yang hidup di bawah bayang-bayang kakaknya karena merasa minder akan tampilan fisiknya.
Satu lagi, Ahmed, kekasih daring Souad yang ternyata berusia jauh lebih tua dari yang ia akui di internet. Sebuah tragedi mempertemukan ketiganya. Lewat kilas balik yang sili berganti, Souad jadi film yang kontemplatif dan menghipnotis penontonnya meski berlaju lambat.
7. For Sama (2020)

For Sama menyusul Capernaum di Oscar. Film dokumenter ini mengikuti kehidupan seorang sineas perempuan bernama Waad Al-Kateab yang hidup di Aleppo, Suriah selama perang sipil berlangsung. Lewat lensa kameranya, penonton diajak melihat perjalanan hidupnya dari melajang hingga menikah dan melahirkan seorang putri kecil.
Film ini amat epik karena memotret fase hidup seseorang dengan latar perang yang berkecamuk hebat di belakangnya. Judulnya sendiri diambil Al-Kateab dari nama putrinya.
8. Under the Fig Trees (2021)

Under the Fig Trees disutradarai sineas perempuan Tunisia, Erige Sehiri. Premisnya sederhana, yakni pergosipan di bawah pohon fig yang dilakukan sekelompok remaja laki-laki dan perempuan. Semua anak-anak itu datang dari keluarga sederhana dan bekerja selama libur tahun ajaran baru untuk membantu perekonomian orangtua.
Di tengah bekerja sambil bergosip itu, mereka menemukan berbagai pencerahan dan rahasia-rahasia baru yang terbongkar tanpa sengaja. Menarik dan penuh pesan pemberdayaan yang lugas.
Kehadiran sutradara perempuan dalam industri film amat penting. Perspektif yang mereka bawa jelas memperkaya warna yang sudah ada, sekaligus memantik diskusi soal isu-isu yang selama ini terabaikan.