Apa Perbedaan Film Festival dengan Film Komersial?

Pernahkah kamu menyadari ada perbedaan cukup signifikan saat membandingkan film yang tayang perdana di bioskop dengan film jebolan festival? Selain genre dan gaya sinematik, ada beberapa poin yang membuat keduanya berbeda jauh.
Masih bingung dan susah menemukan poin perbedaannya? Tiga hal berikut mungkin bisa mencerahkanmu terkait perbedaan film festival dan film komersial.
1. Film yang tayang di festival biasanya belum punya distributor

Salah satu perbedaan yang cukup kentara adalah fakta bahwa kebanyakan film yang tayang perdana di bioskop sudah punya distributor. Itulah mengapa mereka bisa melakukan penayangan komersial langsung ke khalayak luas. Beda dengan film jebolan festival yang umumnya digarap dalam format independen. Mereka punya rumah produksi, tetapi belum meneken kerja sama dengan distributor manapun.
Penayangan di festival adalah jalan bagi mereka untuk menggaet distributor. Biasanya, distributor independen yang rajin berburu film-film potensial di festival. Sebagai contoh, A Different Man yang dibeli A24 setelah tayang di Sundance Film Festival 2024. IFC Films membeli hak siar Armand setelah film Norwegia itu tayang di Cannes. Begitu pula dengan Queer yang baru dapat distributor sebulan setelah premier di Venice Film Festival 2024.
Namun, gak semua film jebolan festival belum punya distributor, kok. The Substance dibeli hak siarnya oleh MUBI beberapa saat sebelum tayang perdana di Cannes Film Festival 2024. Anora, misalnya, sudah meneken kontrak dengan NEON sebelum tayang perdana di Cannes pada Mei 2024. Kasus serupa terjadi pada The Room Next Door yang sebelum penayangan pertamanya di Venice Film Festival 2024 sudah dibeli hak distribusinya oleh Sony Pictures Classics.
2. Film festival mengutamakan nilai seni ketimbang komersial

Perbedaan mencolok lainnya terletak pada prioritas kreator film. Festival film biasanya mewadahi film-film dengan nilai seni tinggi. Itu yang menjelaskan mengapa tak sedikit sinema jebolan festival yang bergenre avant-garde. Genre ini biasanya mengacu pada kecenderungan sineas membuat film dengan prinsip-prinsip eksperimental dan inovatif.
Film-film macam ini memang gak bisa mengakomodasi selera semua orang dan diklaim kurang komersial. Ia seolah sengaja dibuat untuk pengamat dan sinefili. Itu alasannya kenapa banyak pula sutradara senior yang memilih memperkenalkan film baru mereka pertama kali di festival ketimbang di bioskop. Mereka tahu kalau apapun yang mereka buat pasti mengundang rasa penasaran penikmat film.
Ini jadi semacam modus penjualan tertarget, yakni ketika penjual tahu betul target pasar mereka dan akan fokus melayani penjualan di tempat-tempat tertentu. Dalam kasus ini, festival film adalah tempat penjualan yang dimaksud. Tepatnya, sebuah acara yang mengumpulkan para penggemar dan pegiat film dalam satu tempat dan waktu.
3. Film festival punya level kepelikan yang berbeda dengan film komersial

Selain avant-garde, banyak film jebolan festival yang mengusung genre realisme dan turunannya. Ini masih berkaitan erat dengan nilai seni tadi. Genre realisme biasanya dikemas dengan level subtlety atau kepelikan tertentu. Beda dengan film komersial yang dibuat lebih sederhana untuk merangkul semua kalangan, film-film jebolan festival seringkali sarat simbolisme dan pesan implisit.
Jadi, jangan kaget kalau kamu menemukan banyak film festival yang hemat dialog atau mengandung adegan absurd. Eksistensinya disengaja demi memberikan ruang bagi penonton untuk mencerna dan menginternalisasi sendiri maksud dan pesan sineas. Dengan kepelikan ini, diskusi pun bisa dimulai. Itu juga yang menjelaskan mengapa selalu ada segmen dialog antara kreator film dengan penonton selepas penayangan di festival-festival film.
Tidak hanya jadi hiburan untuk semua kalangan, sepertinya film jebolan festival memang punya peran tambahan lain. Memberi pencerahan dan ruang diskusi yang menyuburkan kemampuan kita berpikir kritis. Namun, bukan berarti film komersial tak punya peran itu. Gak sedikit, kok film-film non-festival yang memotivasi penonton untuk membuat teori sendiri saking ambigu dan berlapisnya cerita mereka.