Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bayu Skak Related sama Film Cocote Tonggo, Ditanya Kapan Nikah Terus

Bayu Skak di konferensi pers Cocote Tonggo di XXI Epicentrum, Jakarta, Jumat (9/5/2025) (dok. IDN Times/Shandy Pradana)
Bayu Skak di konferensi pers Cocote Tonggo di XXI Epicentrum, Jakarta, Jumat (9/5/2025) (dok. IDN Times/Shandy Pradana)

Jakarta, IDN Times – Cocote Tonggo (2025) menjadi film komedi terbaru dari SKAK Studios. Film ini menyoroti bagaimana omongan tetangga bisa memengaruhi keputusan pribadi seseorang, dari kapan menikah, punya anak, hingga bagaimana membesarkan keluarga.

Di balik cerita kocaknya, Cocote Tonggo juga jadi medium curhat Bayu Skak sebagai sutradara. Film ini memotret keresahannya sendiri, menjadi pelampiasan sekaligus ajakan untuk lebih sadar atas efek komentar sosial yang sering kali melukai hati orang lain.

1. Bayu Skak related dengan Cocote Tonggo

Bayu Skak di konferensi pers Cocote Tonggo di XXI Epicentrum, Jakarta, Jumat (9/5/2025) (dok. IDN Times/Shandy Pradana)
Bayu Skak di konferensi pers Cocote Tonggo di XXI Epicentrum, Jakarta, Jumat (9/5/2025) (dok. IDN Times/Shandy Pradana)

Saat konferensi pers di XXI Epicentrum, Jakarta Selatan, Jumat (9/5/2025), Bayu mengaku film ini related dengan kehidupannya yang selalu "dibacotin" orang lain.

"Kalau saya tuh relate-nya itu kapan nikah, gitu kan ya. Kapan? Nah, ini (Cocote Tonggo) malah lebih next level lho, kapan punya anak? Nah, harapannya ya supaya nanti ke depan semuanya menerima intisari dari film ini," ujarnya.

Apalagi saat ini, komentar sosial bukan sekadar basa-basi, tapi bisa jadi tekanan mental tersendiri. Bayu menekankan untuk mengotrol apa yang bisa kita kendalikan.

"Sampai kapan pun kita hidup itu yang namanya bacotan pasti akan selalu ada, tapi bagaimana kita menangkapnya dan kita bisa hidup berdampingan dengan itu, tidak malah down dari itu," tambah pria kelahiran Malang ini.

Alih-alih ambil pusing dengan omongan orang lain atau bahkan mengikutinya, Bayu menyarankan untuk hidup seperti keinginan masing-masing.

"'Urip Ora Mung Nuruti Cocote Tonggo,' itu tagline-nya. Jadi, hidup tidak hanya mengikuti omongan tetangga. Jadi hidup itu, kita kan punya keinginan masing-masing sendiri. Anda-anda pasti punya cita-cita sendiri, keinginan sendiri. Ikutilah cita-cita kalian," tuturnya.

2. Singgung isu generational trauma di dalamnya

Bayu Skak di konferensi pers Cocote Tonggo di XXI Epicentrum, Jakarta, Jumat (9/5/2025) (dok. IDN Times/Shandy Pradana)
Bayu Skak di konferensi pers Cocote Tonggo di XXI Epicentrum, Jakarta, Jumat (9/5/2025) (dok. IDN Times/Shandy Pradana)

Tak hanya soal komentar tetangga, film ini juga menyentuh isu generational trauma. Dalam film, karakter Bu Pur (Asri Welas) dan Bu Tin (Sundari Soekotjo) jadi cerminan bagaimana trauma bisa diwariskan ke anak-anak mereka.

"Trauma lintas generasi, bahwa anak itu kan tidak memilih untuk dilahirkan ke dunia ini, orangtuanya yang memilih, yang bersepakat dan akhirnya anak itu lahir," tutur Bayu.

Ia menyoroti bahwa banyak orang menikah dan punya anak untuk menuruti tekanan sosial, bukan karena sudah siap. Padahal, hal itu bisa berdampak pada anak dan akan menciptakan siklus trauma yang terus berulang.

"Sayangilah anak itu, tumbuh kembangnya disayangi dengan sekuat tenaga orangtuanya sehingga akhirnya jadinya 'murni,' jangan dibikin 'keruh.' Karena kalau keruh, ya nanti trauma itu akan terus-menerus ada," ucapnya.

3. Bahas tekanan sosial di tengah masyarakat kita

Nona Ica di konferensi pers Cocote Tonggo di XXI Epicentrum, Jakarta, Jumat (9/5/2025) (dok. IDN Times/Shandy Pradana)
Nona Ica di konferensi pers Cocote Tonggo di XXI Epicentrum, Jakarta, Jumat (9/5/2025) (dok. IDN Times/Shandy Pradana)

Fenomena "kapan nikah?" atau "kapan punya anak?" bukan hal asing di masyarakat kita. Nona Ica yang menulis naskah menambahkan, tekanan sosial itu lebih berat bagi perempuan.

"Karena kalau saya sendiri ya, ngerasanya kayak tekanan-tekanan sosial yang lebih gitu buat perempuan. Jadi saya rasa ini pasti juga dirasain sama banyak orang gitu," akunya.

Ia turut menyoroti bagaimana pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan pernah ada habisnya.

"Jadi keingintahuan orang itu gak akan selesai gitu kalau kita cuma mau nurutin itu aja. Dan pertanyaan-pertanyaan itu kan akhirnya menimbulkan tekanan, pressure buat masing-masing dari kita yang bisa aja berdampak buruk ke diri kita dan orang tersayang," ujar Ica.

Ica pun mengambil contoh karakter Bu Pur, yang selalu mencampuri kehidupan orang lain.

"Kayak contohnya ya di karakternya Bu Pur gitu. Dia juga dulu kan punya tekanan sendiri, sehingga sekarang dia jadi orang yang marah-marah, yang distant sama suaminya, yang gak mau dengerin anaknya. Itu kan akhirnya melahirkan trauma-trauma baru," tambahnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Shandy Pradana
Zahrotustianah
Shandy Pradana
EditorShandy Pradana
Follow Us