5 Film Adaptasi Novel Ini Dibenci Kritikus tapi Disuka Penonton

Film adaptasi novel menjadi salah satu jenis film paling populer. Adaptasi novel yang sudah populer menjadi alasan mengapa film jenis ini kerap dinantikan oleh pembaca buku maupun penikmat film.
Namun, mengadaptasi ratusan halaman buku ke dalam film berdurasi dua jam bukanlah pekerjaan yang mudah. Tak ayal, hasilnya kerap kali gagal di mata kritikus tapi justru sukses di mata penonton.
Dari ratusan film, berikut 5 film adaptasi novel yang dibenci kritikus di situs Rotten Tomatoes tapi justru disukai penonton. Simak baik-baik, yuk!
1. The Power of One (1992)

The Power of One mengikuti kisah PK (Stephen Dorff), seorang anak kulit putih yang menjadi korban dari konflik politik keluarganya di Afrika. PK kemudian bertemu dengan mantan napi (Morgan Freeman) yang mengajari PK untuk bertarung menggunakan tinjunya dan menggunakan hatinya untuk menentukan pilihan hidup.
The Power of One diadaptasi dari novel berjudul sama karya Bryce Courtenay. Kritikus menilai film ini tidak terstruktur dengan baik karena bermula dari isu kontemporer Afrika Selatan tapi berakhir menjadi film tinju.
Sedangkan menurut penonton, film ini patut diapresiasi karena soundtrack, sinematografi, dan akting para aktornya yang begitu menawan. Tak ayal di Rotten Tomatoes, penonton memberi film ini skor 87% sedangkan kritikus hanya memberi skor 39%.
2. The Phantom of the Opera (2004)

The Phantom of the Opera berkisah tentang kehidupan seorang Phantom (Gerard Butler) di tempat persembunyiannya yang berada di bawah gedung opera kuno di Paris. Phantom kemudian jatuh hati kepada penyanyi opera yang menjadi muridnya.
Penonton memuji performa Butler yang menampilkan akting menawan dan selaras dengan genre musikal film ini. Sejumlah penonton bahkan memuji musik-musik latar yang dipilih dalam produksi film ini.
Namun kritikus berkata lain, menurut mereka film ini gagal mengadaptasi buku karya Gaston Leroux maupun pentas Broadway The Phantom of the Opera. Di Rotten Tomatoes, kritikus hanya memberi skor 33%, kontras dengan penonton yang memberi skor 84%.
3. The Song of Names (2019)

The Song of Names berkisah tentang seorang anak di era Holocaust, yang berteman dengan pemain biola asal Polandia yang ditinggalkan oleh keluarganya. Mereka berdua pun menjalin pertemanan yang berubah menjadi persahabatan terbaik di sepanjang hidup mereka.
Meskipun menggambarkan sejarah Holocaust yang memilukan, penonton menilai The Song of Names sukses menyuguhkan penghormatan yang heartwarming terhadap korban tragedi tersebut. Di Rotten Tomatoes, penonton memberi film ini skor hampir sempurna yaitu 90%.
Namun kritikus memiliki pendapat berbeda, mereka menilai film ini gagal mengadaptasi buku karya Norman Lebrecht. Menurut mereka, durasi yang terlalu panjang menyebabkan film ini gagal merepresentasikan emosi para pemerannya dan hanya memberi skor 39%.
4. Redeeming Love (2022)

Redeeming Love diadaptasi dari novel berjudul sama karya Francine Rivers. Film ini berpusat pada kisah Angel, gadis yang dijual ke prostitusi sejak anak-anak dan bertahan hidup dengan membenci dirinya sendiri.
Ketika Angel bertemu dengan Michael, hidupnya berubah dan dia belajar bahwa cinta dapat menyembuhkan apa pun yang rusak. Menurut kritikus, Redeeming Love hanyalah film murahan yang mengangkat pesan tidak pantas tentang perempuan yang sangat seksis.
Namun menurut penonton, film ini berhasil menyuguhkan chemistry para pemainnya yang begitu solid dan heartwarming. Perbedaan pendapat tersebut terlihat dari skor Rotten Tomatoes di mana kritikus memberi skor 11%, sedangkan penonton memberi skor 95%.
5. Where the Crawdads Sing (2022)

Where the Crawdads Sing diadaptasi dari novel berjudul sama karya Delia Owens yang terbit pada 2018 silam. Film ini berfokus pada kisah Kya, gadis pecinta alam yang tinggal sendirian di rumahnya. Tak terduga, Kya dicurigai menjadi tersangka ketika seorang pria terbunuh di kotanya.
Kritikus mengatakan bahwa Where the Crawdads Sing gagal mengangkat sifat pemberani tokoh titularnya. Film ini juga gagal mengangkat isu perbedaan kelas, kemiskinan, dan isu kepercayaan yang menjadi nilai jual novelnya.
Di sisi lain, penonton justru menyukai film ini atas misteri pembunuhan dan cinta segitiga yang menjadi plotnya. Pendapat penonton tersebut sangat kontras dengan kritikus di mana penonton memberi skor 96% sedangkan kritikus hanya 35%.
Dibenci kritikus tapi disuka penonton, penilaian terhadap film adaptasi novel di atas terbilang sangat subjektif. Terbukti dari perbedaan pendapat yang terjadi di antara penonton dan kritikus. Namun tidak perlu khawatir, perbedaan penilaian tersebut justru dapat dijadikan sebagai pertimbangan sebelum kamu menonton suatu film lho, guys!