Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Film tentang Abuse yang Dihadapi Aktris, Termasuk Woman of the Hour

Woman of the Hour (dok. Netflix/Woman of the Hour)
Woman of the Hour (dok. Netflix/Woman of the Hour)

Sejak gerakan #MeToo menyeruak beberapa tahun lalu, kita jadi makin mudah menemukan film-film yang membahas fakta pahit industri hiburan. Terutama yang membongkar praktik eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap aktor perempuan dan di bawah umur. Terbaru Woman of the Hour, karya debut Anna Kendrick sebagai sutradara yang kritiknya mengena. 

Tentu Woman of the Hour bukan satu-satunya. Berikut beberapa film lain tentang abuse yang dihadapi perempuan yang bekerja sebagai aktris di industri hiburan. Tonton, deh, biar melek isu terkini!

1. Being Maria (2024)

Being Maria (dok.  Les Films de Mina/Being Maria)
Being Maria (dok. Les Films de Mina/Being Maria)

Being Maria adalah potongan kisah hidup aktris Prancis Maria Schneider (Anamaria Vartolomei) yang mendulang popularitas pada 1970-an gara-gara film Last Tango in Paris. Berstatus pendatang baru, Maria melihat film itu sebagai kesempatan emas karena ia bakal disandingkan dengan aktor kawakan Hollywood, Marlon Brando.

Namun, ternyata pengalaman syutingnya jauh dari ekspektasi. Puncak dari kekecewaannya adalah sebuah adegan kekerasan seksual yang menurutnya tidak ada dalam skrip awal. Ia baru diberi info soal adegan itu sesaat sebelum pengambilan gambar. Adegan itu membuatnya trauma seumur hidup.

2. Woman of the Hour (2023)

Woman of the Hour (dok. Netflix/Woman of the Hour)
Woman of the Hour (dok. Netflix/Woman of the Hour)

Woman of the Hour juga disadur dari kisah nyata seorang aktris bernama Sheryl Bradshaw yang diperankan Anna Kendrick. Masih merintis karier, Sheryl diyakinkan salah seorang rekannya untuk ikut sebuah reality show demi dapat popularitas. Pada fase inilah, ia tanpa sengaja bertemu Rodney Alcala, pembunuh bayaran yang selama ini diburu polisi. 

Bukan fokus pada Alcala, Kendrick selaku sutradara fokus pada perspektif para korban yang semuanya perempuan. Termasuk Sheryl yang sebelum tampil di acara tersebut juga harus menghadapi perlakuan seksis dan terancam dieksploitasi secara seksual. Kasus Rodney Alcala sendiri juga disorot karena membuktikan abainya polisi dan masyarakat terhadap aduan dari perempuan. 

3. MaXXXine (2024)

MaXXXine (dok. A24/MaXXXine)
MaXXXine (dok. A24/MaXXXine)

Film ini mengikuti lanjutan kisah Maxine (Mia Goth) yang berhasil kabur dari kejaran pembunuh berantai. Masih berprofesi sebagai aktor film dewasa, ia tak lepas dari abuse yang menyasar pekerja perempuan di sektor hiburan. Termasuk perlakuan seksis dan eksploitatif yang harus diterima sang lakon (Mia Goth) saat audisi.

Beberapa adegan lainnya seperti produser yang sengaja mengundang aktris-aktris pendatang baru untuk hadir ke pesta mereka dengan iming-iming jejaring, juga tak luput dari film ini. Film ini memang gagal memuaskan penonton, karena tak seseru dua film prekuelnya. Namun, MaXXXine berhasil menyenggol isu penting yang masih jadi problem dalam industri hiburan seperti relasi kuasa.

4. Pleasure (2021)

Pleasure (dok. Music Box Films/Pleasure)
Pleasure (dok. Music Box Films/Pleasure)

Pleasure memantik diskusi, tetapi juga mengusik penonton dari berbagai sisi. Serupa dengan film sebelumnya, lakon kita adalah aktris film dewasa yang sedang meniti karier. Diperkenalkan lewat nama panggungnya, Bella Cherry (Sofia Kappel) ternyata harus menghadapi kenyataan pahit kalau ia tetap harus berhadapan dengan industri yang sarat patriarki dan celah eksploitasi. 

Film ini seolah membuktikan kalau liberasi seksual yang ditawarkan industri film dewasa maupun industri seks sebenarnya semu belaka. Pada akhirnya, ia harus menuruti kemauan pasar yang didominasi pria. Ada banyak adegan mengganggu dalam film yang butuh kebijakan dari penonton. 

5. The Assistant (2019)

The Assistant (dok. Bleecker Street/The Assistant)
The Assistant (dok. Bleecker Street/The Assistant)

Tanpa adegan eksplisit, The Assistant sudah cukup mengganggu sedari awal. Kamu akan diajak mengikuti perspektif Jane (Julia Garner) yang berstatus pegawai baru di sebuah agensi hiburan. Ia jadi satu dari sedikit pegawai perempuan di kantor dan seperti yang sudah bisa kamu tebak sering jadi korban diskriminasi dan perlakuan seksis rekan kerjanya. 

Situasi makin tak nyaman ketika beberapa perempuan muda datang ke kantor untuk bertemu dengan salah satu petinggi agensi. Jane yakin ada yang tak beres dari pertemuan privat itu dan berusaha melaporkannya pada bagian personalia. Namun, respons yang ia terima justru di luar dugaan. 

Beberapa film di atas memang fiktif, tetapi sebenarnya tak jauh dari realitas yang harus dihadapi pekerja perempuan di sektor hiburan. Ini sebuah tragedi pahit yang wajib disadari eksistensinya dan tidak dinormalisasi. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hella Pristiwa
EditorHella Pristiwa
Follow Us