7 Film yang Dibuat dengan Pendekatan Sosiologi, Ada Parasite

- Parasite (2019) adalah film yang menonjolkan pendekatan sosiologinya, mengungkap konflik kelas dan mobilitas sosial dengan cara menarik.
- Boyz n the Hood (1991) memotret rasisme sistemik di Amerika Serikat dan proses gentrifikasi yang membuat komunitas kulit hitam semakin tersisih.
- I, Daniel Blake (2016) memotret ketimpangan kelas lewat cerita seorang pria paruh baya yang mengalami masalah kesehatan di Inggris.
Sadarkah kamu kalau film-film yang melibatkan riset mendalam dan penyertaan konsep maupun teori akan terasa lebih menarik ditonton? Analoginya seperti ketika kamu menulis naskah akademik. Dalam prosesnya, kamu butuh konsep dan landasan teori untuk mengupas sebuah fenomena.
Beberapa cabang keilmuwan yang sering dipakai dalam pembuatan film adalah antropologi dan sosiologi. Ketika menggunakan pendekatan antropologi, film-film yang dihasilkan biasanya menyorot kehidupan komunitas dalam kelompok budaya atau etnik tertentu. Sebagai contoh, ini beberapa rekomendasi film yang dibuat dengan pendekatan sosiologi untuk jadi referensimu.
1. Parasite (2019)

Parasite adalah film yang paling jelas pendekatan sosiologinya. Tidak mengherankan, sih, Bong Joon Ho selaku sutradara dan penulis naskah adalah lulusan sarjana Sosiologi.
Lewat film ini, Bong menguak konflik kelas dan mobilitas sosial dengan cara menarik. Bahkan kata “parasit” yang jadi judul filmnya bisa diartikan dalam beberapa konteks sekaligus. Bisa merujuk pada penghuni ruang bawah tanah atau si kelompok kelas atas yang bergelimang harta di tengah kesengsaraan kelompok kelas bawah.
2. Boyz n the Hood (1991)

Boyz n the Hood disebut film dengan pendekatan sosiologi, karena dengan seksama memotret rasisme sistemik yang terjadi di Amerika Serikat dan menyasar warga kulit hitam. Terinspirasi masa remajanya sendiri, John Singleton berhasil menampakkan sisi lain Los Angeles dan komunitas kulit hitam di dalamnya. Gak hanya diskriminasi rasial dan kriminalitas, tetapi juga proses gentrifikasi yang bikin mereka makin tersisih. Pantas kalau film ini beberapa dekade kemudian masih diperbincangkan.
3. I, Daniel Blake (2016)

Ken Loach juga sutradara yang sering pakai pendekatan sosiologi untuk meramu cerita. Hampir semua filmnya membahas ketimpangan kelas dengan cara yang berbeda-beda dan unik. Salah satu yang paling direkomendasikan adalah I, Daniel Blake.
I, Daniel Blake dengan cermat memotret celah dalam sistem jaminan sosial di Inggris lewat balada seorang pria paruh baya yang mengalami masalah kesehatan. Ia tidak didiagnosa tak lagi layak bekerja menurut dokter, tetapi usianya belum memenuhi syarat untuk dapat pensiun dari pemerintah.
4. Blind (1987)

Dibuat sutradara Frederick Wiseman, Blind juga pakai pendekatan sosiologi, tepatnya relasi antara individu dengan institusi sosial. Dalam karyanya ini, Wiseman membahas proses belajar mengajar di sebuah sekolah khusus difabel netra di Alabama, Amerika Serikat.
Caranya cukup sederhana, yakni mengikuti keseharian salah satu muridnya. Mulai dari ia menaiki tangga untuk sampai pindah kelas. Poin menarik lain yang disorot Wiseman adalah fakta bahwa kebanyakan guru di sekolah itu tidak punya pengalaman yang sama dengan para murid yang berkebutuhan khusus tersebut.
5. It Was Just An Accident (2025)

Pendekatan sosiologi juga jadi nyawa film-filmnya Jafar Panahi. Dalam It Was Just An Accident yang baru memenangkan Palem Emas dan dijagokan di Oscar 2026, Panahi menyenggol cukup banyak konsep menarik, seperti konflik horizontal dan trauma kolektif sebagai akibat dari pemerintah yang otoriter dan hobi bikin kebijakan opresif. Menyertakan konsep-konsep tadi bikin penonton merasakan dilema moral yang sama dengan para karakter di film dan ini yang membuatnya terasa imersif.
6. Fight Club (1999)

Fight Club bukan sembarang film. Kritik sosialnya cukup kuat meski dikemas dengan cara yang kontroversial dan rawan disalahartikan. Namun, poin dari film ini sebenarnya kritik terhadap konsumerisme berlebih dan alienasi yang tercipta bebarengan dengan sistem ekonomi kapitalisme.
Fight Club dengan saksama memotret bagaimana masyarakat modern menilai harga diri seorang individu dari status dan kepemilikan harta. Sebuah tendensi yang perlahan bikin manusia tercerabut dari dirinya sendiri dan mengalami dilema moral.
7. Weapons (2025)

Zach Cregger memberikan banyak ruang intepretasi untuk penonton Weapons. Meski pakai kemasan horor supranatural, beberapa subplot yang dibikin Cregger sebenarnya cerminan dari tatanan masyarakat Amerika Serikat. Mulai dari adiksi, krisis tunawisma, fenomena fatherless, sampai masalah kepemilikan senjata. Ini dikemasnya lewat simbol-simbol yang mungkin kamu lewatkan, tetapi bikin filmnya terasa amat familier.
Terbukti kalau dalam berkarya, konsep dan teori itu tetap diperlukan. Ini bisa menampik stigma kalau pengalaman lapangan jauh lebih penting. Bisa dibilang keduanya sama-sama krusial dan saling melengkapi. Untuk bisa menciptakan film-film menarik seperti di atas, para sutradara dan penulis naskah tentunya memadukan dua aspek itu secara bersamaan. Setuju?