3 Isu Penting yang Disinggung Serial Adolescence

- Serial Adolescence membahas kesepian pada pria praremaja, menyoroti dampaknya hingga femisida.
- Konten digital memengaruhi perilaku anak-anak, termasuk tekanan sosial dan akses terhadap ide-ide ekstrem.
- Pria dengan insekuritas tinggi rentan percaya konspirasi maskulinitas toksik, seperti yang dialami Jamie dalam serial ini.
Serial Adolescence memang layak dapat eksposur besar atas kelihaiannya menilik satu isu yang berkembang pesat belakangan ini, yakni male loneliness atau kesepian pada pria. Isu ini sempat dibahas di beberapa film, seperti Her (2013), Banshees of Inisherin (2022), Lars and the Real Girl (2007), sampai yang terbaru, Companion (2025). Namun, Adolescence mengungkap fakta miris lain bahwa kesepian ternyata bisa menjangkiti pria pada usia yang cukup belia, yakni praremaja.
Close (2022) juga menyentil isu yang sama, tetapi dengan derajat destruksi yang berbeda dengan Adolescence. Kalau Close menjelaskan mengapa kasus bunuh diri lebih banyak dilakukan pria ketimbang perempuan, Adolescence menilik bagaimana kesepian akut pada pria bisa tereskalasi jadi femisida (pembunuhan yang korbannya perempuan). Ini yang bikin Adolescence jadi sebuah karya sinematik yang penting untuk didiskusikan lebih lanjut. Setidaknya ada 3 isu penting yang mereka sentil dan harus jadi perhatian kita, tak peduli apakah statusmu orangtua atau bukan.
1. Pola asuh bukan satu-satunya faktor yang menentukan keputusan dan kepribadian anak

Sejak disrupsi teknologi, konten digital jadi bagian integral dalam hidup manusia. Sadar atau tidak, langsung maupun tidak, banyak keputusan kita yang dipengaruhi apa yang kita lihat di internet. Ini yang menjelaskan bagaimana Jamie, bocah 13 tahun yang datang dari keluarga baik-baik, bisa jadi pelaku kejahatan.
Kasus Jamie hanya satu dari banyak kasus kejahatan dan kenalakan anak yang susah dipercaya orangtua. Mereka meragukan gaya asuh yang buruk, tetapi lupa kalau anak-anak masa kini punya akses terhadap konten digital. Konten digital memperkenalkan anak-anak pada ide-ide baru yang mungkin tak pernah mereka dengar dari orang terdekat, seperti pornografi dan hal ekstrem lainnya.
Tak hanya itu, konten digital juga mendorong terciptanya tekanan sosial baru, salah satunya kebutuhan untuk populer, konsumsi berlebihan, dan lain sebagainya. Ini pula yang memengaruhi bagaimana anak-anak berinteraksi dengan teman sebaya mereka. Bukannya fokus pada realitas, anak-anak akan lebih mudah terprovokasi pada digital presence dirinya dan orang lain.
2. Kultur misogini ikut naik seiring dengan kesadaran kesetaraan gender

Disinggung dalam beberapa episode, Jamie adalah pengikut pemengaruh dengan aliran maskulinitas toksik yang memberinya ide-ide tak tepat soal perempuan. Konspirasi kapsul merah yang diambil referensinya dari film The Matrix (1999) belakangan jadi satu teori yang dipakai banyak pemengaruh untuk menyakinkan para pria bahwa insekuritas mereka valid.
Botto dan Gotzen lewat tulisan mereka berjudul 'Swallowing and spitting out the red pill: young men, vulnerability, and radicalization pathways in the manosphere' dalam Journal of Gender Studies berargumen kalau pria-pria dengan insekuritas tinggi, yakni tidak merasa bisa memenuhi standar maskulinitas mainstream (cenderung toksik) akan lebih rawan memercayai konspirasi tersebut.
Ini yang terlihat terjadi pada Jamie. Pada adegan sesi konseling dengan terapis anak, ia mengindikasikan ketidakpercayaan diri dan keresahannya. Perasaan tertolak membuatnya percaya kalau teori kapsul merah itu benar, bahwa mayoritas perempuan hanya tertarik pada segelintir pria yang berada di piramida tertinggi dalam standar maskulinitas (mapan, tampan, dan pandai bersosialisasi). Teori kapsul merah itu bila kita perhatikan naik ke permukaan beriringan dengan peningkatan kesadaran akan kesetaraan gender. Kenaikan derajat hidup dan kemandirian perempuan kerap dianggap sebagai pengganggu kestabilan alias ancaman oleh sebagian pria. Ini yang kemudian mendorong munculnya sentimen terhadap perempuan atau yang kita kenal dengan istilah misogini.
Mirisnya, turut dibahas dalam Adolescence bagaimana Katie, teman sekelas yang dibunuh Jamie masih jadi korban victim blaming bahkan setelah kematiannya. Tak sedikit yang menganggap bahwa dirinya adalah penyebab dari kematiannya sendiri. Seolah menyakini bahwa perempuan tidak boleh melawan dan menyuarakan penolakan karena nyawa merekalah taruhannya.
3. Pentingnya role model maskulinitas positif untuk anak-anak

Kalau Andrew Tate dan orang-orang serupa dirinya dalam semesta Manosphere (kumpulan konten digital yang mempromosikan nilai-nilai maskulinitas toksik, misogini, dan antifeminisme) bisa sebesar itu pengaruhnya, berarti masyarakat perlu keberadaan konten yang bisa melawan itu semua. Role model maskulinitas positif sebenarnya mulai bertebaran, tetapi harus diakui akan ada banyak tantangan hingga bisa merangkul pria yang masuk dalam target demografi manosphere.
Tak hanya dalam bentuk konten digital, role model yang bicara maskulinitas dengan cara yang lebih sehat dan positif sebenarnya bisa dimulai lewat orang terdekat. Adolescence, misalnya, menyinggung isu ini lewat sosok detektif Luke Bascombe yang ternyata menemukan kesulitan saat harus berinteraksi dengan putranya sendiri. Begitu pula dengan ayah Jamie, Eddie, yang memilih untuk berpaling dari anaknya ketika sang putra tak memenuhi ekspektasinya. Menjadi role model maskulinitas positif bukan hanya beban orangtua. Orang dewasa lain juga bisa ambil peran yang sama, terutama mereka yang punya platform strategis. Bukan hanya pemengaruh, tetapi juga guru, mentor, dan lain sebagainya.
Adolescence memang bukan tak bisa memuaskan semua orang, tetapi kehadirannya berhasil memantik diskusi tentang sejumlah isu. Mulai gaya asuh, disrupsi digital, sampai maskulinitas. Gak heran kalau serial Netflix ini dibanjiri pujian.