Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengenal Lensa Anamorfik yang Mengubah Industri Film

Moonlight (dok. A24/Moonlight)
Moonlight (dok. A24/Moonlight)
Intinya sih...
  • Lensa anamorfik memampatkan gambar untuk cakupan lebih lebar
  • Teknik sinematografi CinemaScope menciptakan urgensi nonton di bioskop
  • Lensa anamorfik masih digunakan dalam film modern untuk menciptakan kedalaman dan dimensi
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bukan hal aneh lagi melihat film yang cakupan bingkainya lebar. IMAX dengan pita film 70 mm mungkin yang paling populer beberapa tahun belakangan ini. Namun, sebelum itu, industri film pernah dikejutkan dengan penemuan lensa anamorfik, yakni lensa yang jadi jodoh idealnya pita film 35 mm dan mengubah industri film selamanya.

Lensa itu dikembangkan pertama kali oleh Henri Chretien pada 1920-an. Saat itu, ia berstatus ilmuwan yang bekerja untuk Mount Wilson Observatory. Ia menamai temuannya dengan sebutan lensa Hypergonar. Namun, baru pada 1950-an temuannya dilirik rumah produksi 20th Century Fox. Sejak itu, industri film tak lagi sama.

Apa keistimewaan lensa anamorfik temuan Chretien? Apa pula pengaruhnya buat industri hiburan? Ini beberapa penjelasan lengkapnya!

1. Lensa anamorfik bisa menangkap lebih banyak objek

The Robe (dok. 20th Century Fox/The Robe)
The Robe (dok. 20th Century Fox/The Robe)

Lensa Hypergonar atau yang kemudian dikenal dengan anamorfik bikin Chretien bekerja dengan memampatkan gambar yang tertangkap kamera. Dengan begitu, cakupan objek yang tertangkap pun bisa lebih banyak.

Menariknya, meski dimampatkan, gambar dalam pita film 35 mm akan tetap terlihat normal ketika diputar dengan proyektor. Namun, kamu bisa melihat cakupan frame-nya lebih lebar, yakni 2.39:1 atau 2.55:1. Mencolok dibanding aspek rasio normal sebelum lensa anamorfik ditemukan, yakni 1,33:1 dan 4:3.

Lensa anamorfik dipopulerkan oleh rumah produksi 20th Century Fox lewat teknik sinematografi CinemaScope. Film The Robe (1953) karya Henry Koster adalah film pertama dalam sejarah yang diproduksi dengan teknik itu. Disusul How to Marry a Millionaire karya Jean Negulesco dan Beneath the 12-mile Reef garapan Robert D. Webb yang dirilis pada tahun yang sama.

Lewat film-film itu, kita bisa melihat berbagai transformasi dan inovasi baru dalam pembuatan film. Karakter yang biasa berada di tengah, kini bisa bergeser ke sisi-sisi bingkai untuk menciptakan variasi komposisi dan simetri. Cek juga film Woman’s World (1954) dan The Girl Can’t Help It (1956) sebagai ilustrasinya.

2. Menciptakan urgensi untuk nonton film di bioskop

The Girl Can't Help It (dok. 20th Century Fox/The Girl Can't Help It)
The Girl Can't Help It (dok. 20th Century Fox/The Girl Can't Help It)

Lewat taktik 20th Century Fox membuat lensa anamorfik secara tak langsung menciptakan urgensi untuk nonton di bioskop. Ini karena pada saat bersamaan, orang Amerika Serikat sedang memuja televisi. Namun, kita tahu televisi pada masa itu umumnya berbentuk persegi dan hanya bisa menampilkan gambar dengan rasio 4:3.

Untuk bisa menikmati film-film terbaru yang dibuat dengan teknik CinemaScope, mau tak mau orang harus ke bioskop yang menyediakan layar lebih lebar. Ini bisa dilihat sebagai strategi bisnis yang jitu dan cerdas. 20th Century Fox bersama lensa anamorfik temuan Chretien berhasil menciptakan “kebutuhan baru” alias kebutuhan yang sebelumnya tak pernah konsumen sadari butuhkan atau inginkan sebelumnya.

Keberhasilan itu pun membuat rival-rival 20th Century Fox mau tak mau harus mengikuti tren yang ada. Tak pelak, lensa anamorfik pun laris manis sejak itu. Walt Disney Pictures sampai Warner Bros ikut mengadopsi teknik CinemaScope untuk film-film produksi mereka.

3. Legasi lensa anamorfik dalam industri film modern

The Naked Gun (dok. Paramount Pictures/The Naked Gun)
The Naked Gun (dok. Paramount Pictures/The Naked Gun)

Sudah lebih dari 70 tahun dipakai, lensa anamorfik belum tergantikan. Meski IMAX dan aspek rasionya yang lebih besar mulai menginvasi pasar, lensa anamorfik tidak serta merta ditinggalkan. Sama dengan IMAX, lensa ini bisa dipasangkan dengan kamera digital. Beberapa film modern, seperti Moonlight (2016), Annihilation (2018), Anora (2024), dan The Naked Gun (2025), terpantau menggunakannya.

Bedanya ada pada komposisi bingkai gambarnya. Kalau di film-film lawas, lensa anamorfik dipakai untuk menangkap objek sebanyak mungkin, kini lensa itu dipakai untuk menciptakan kedalaman dan dimensi dalam bingkai. Itu beriringan dengan prinsip-prinsip minimalisme yang merasuk dalam benak banyak sinematografer masa kini. Lensa anamorfik dalm film modern sering dipakai untuk mengambil close-up shots. Hanya punya 1-2 objek sebagai fokus dan menyisakan ruang kosong yang cukup lebar.

Dari lensa anamorfik, kita bisa melihat bagaimana sains dan seni itu punya kaitan yang cukup erat. Tanpa penemuan Henri Chretien, kita tak akan bisa menikmati film-film dengan sinematografi yang imersif dan memanjakan mata.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Naufal Al Rahman
EditorNaufal Al Rahman
Follow Us