Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Musisi Indie Perempuan yang Lagu-lagunya Politis

Chloe Slater
Chloe Slater (instagram.com/chloeslater333)
Intinya sih...
  • Ethel Cain, musisi muda yang menyuarakan posisi politiknya lewat lagu-lagu seperti “American Teenagers” dan “F*ck Me Eyes”.
  • Chloe Slater, musisi indie yang menyindir kondisi sosial politik saat ini dalam karya-karyanya seperti “Fig Trees” dan “Price On Fun”.
  • Paris Paloma, musisi indie dengan lagu-lagu provokatif seperti “Labour”, "boys, bugs and men", dan "as good a reason" yang menarik untuk diikuti.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sedang jenuh mendengar lagu-lagu cinta yang bertebaran? Coba lirik beberapa musisi indie perempuan berikut, deh. Memilih untuk mengambil jalur alternatif dengan menyenggol isu-isu sosial, lagu-lagu mereka bikin pendengarnya melek politik.

Tenang, di balik liriknya yang serius, cara mereka menyentuh hati pendengar gak kalah dengan musisi-musisi pop pada umumnya. Melodinya catchy, tetapi kaya idealisme. Kalau penasaran, ini beberapa musisi indie perempuan dengan lagu-lagu politisnya.

1. Pengalaman pribadi bikin Ethel Cain jadi musisi politis

Ethel Cain adalah salah satu musisi muda yang gak ragu menyuarakan posisi politiknya. Lahir dan besar di tengah keluarga agamis di Amerika Serikat, Cain banyak menyorot tradisi konservatif yang membelenggu dan bermasalah. Termasuk berbagai hal yang sifatnya politis.

Dalam lagu “American Teenagers”, ia bahkan menyenggol isu kepemilikan senjata dan kebijakan luar negeri AS yang pro-perang. “F*ck Me Eyes” berfokus pada cara masyarakat menghakimi perempuan seenak jidat. Pada awal 2024, Cain juga sempat merilis lagu dukungan untuk Palestine berjudul “From the River”.

2. Chloe Slater rajin menyindir kondisi sosial politik saat ini

Terinspirasi beberapa musisi punk dan indie rock Inggris yang lagu-lagunya melek politik, Chloe Slater pun menyuarakan keresahan serupa dalam karya-karyanya. Lirik-liriknya cukup provokatif dan gak banyak basa-basi. Dalam “Fig Trees” ia menyindir masyarakat yang cenderung misoginis.

“Price On Fun” adalah ekspresi kesalnya pada diri sendiri yang tak bisa berbuat apa-apa saat berbagai krisis kemanusiaan terjadi. Sementara itu, “Tiny Screens” dan “Sucker” membeberkan fakta bahwa manusia masa kini makin egois, apatis, dan oportunis karena kehidupan/ekonomi yang makin sulit. Sejauh ini Slater baru merilis lagu-lagunya dalam format EP.

3. Paris Paloma untuk yang suka diskursus gender

Kenalan juga dengan Paris Paloma. Ia salah satu musisi indie yang menarik buat diikuti, terutama kalau kamu penggemar diskursus gender. Ia paling dikenal lewat lagu “Labour” yang dijuluki feminist anthem.

Lagu itu memang terasa ngeri dan menampar buat pendengarnya. Semua kalimat di dalam liriknya terasa seperti realitas yang sulit disanggah. Coba dengar juga “boys, bugs and men” dan “as good a reason” yang tentu provokatif.

4. Rina Sawayama aktif suarakan isu rasisme dan pengalaman imigran

Sebagai perempuan dan seorang non-kulit putih, amat natural mendengar Rina Sawayama menyanyikan lagu-lagu bertema inklusi dan penerimaan diri seperti “Hold the Girl”, “Dynasty” dan “Paradisin”. Namun, ia gak ragu untuk menantang pelaku rasisme lewat “STFU!”, terutama yang secara spesifik menarget perempuan Asia seperti dirinya.

Kekesalannya pada kapitalisme juga disenggol dalam lagu “XS” dengan format satire. Lebih takut dicap munafik daripada miskin, Sawayama gak ragu mengkritik labelnya sendiri, Dirty Hit yang berada di bawah manajemen beberapa pentolan band The 1975 dan pernah tersenggol kasus rasisme.

5. Sleater-Kinney dan pesan antiperangnya

Sudah aktif sejak 1990-an, rekam jejak band Sleate-Kinney gak perlu diragukan lagi. Mereka boleh dimasukkan kategori yang sama dengan Green Day, baik soal genre yang diusung serta konsistensinya menyuarakan posisi politik.

Mereka berkali-kali merilis lagu yang menyenggol kebijakan rezim Bush setelah peristiwa 9/11. Feminisme juga jadi tema yang kerap mereka sertakan saat berkarya selain pesan antiperang.

Bila kamu perhatikan lebih dekat, keenam musisi perempuan bernaung di bawah label rekaman indie. Mungkin menjadi independen adalah salah satu cara untuk mempertahankan idealisme mereka masing-masing.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Naufal Al Rahman
EditorNaufal Al Rahman
Follow Us