Review One Battle After Another, Film Politik DiCaprio yang Mengguncang

- Film aksi-politik One Battle After Another menggambarkan distopia Amerika Serikat sebagai negara polisi fasis, menyingkap realitas politik kontemporer dan sindir otoritarianisme.
- Leonardo DiCaprio sukses membawakan karakter Bob Ferguson dengan kegigihan dan kelembutan, sementara Sean Penn tampil intens sebagai Kolonel Lockjaw. Akting Chase Infiniti juga patut diperhitungkan.
- Sinematografi VistaVision yang imersif, scoring unik Jonny Greenwood, dan editing stabil membuat film ini layak ditonton. Tema politisnya intens, action-packed, dan sangat realistis.
Paul Thomas Anderson kembali dengan karya terbaru bertajuk One Battle After Another (2025), sebuah film aksi-politik penuh satire yang terasa sangat relevan di tengah panasnya situasi global saat ini. Film ini bukan sekadar tontonan, melainkan pernyataan berani tentang rezim otoriter, revolusi, hingga harga mahal yang harus dibayar untuk sebuah perubahan.
Dengan jajaran bintang kelas dunia, termasuk Leonardo DiCaprio, Sean Penn, hingga pendatang baru Chase Infiniti, film ini menawarkan pengalaman sinematik yang provokatif sekaligus menghibur. Buat kamu yang penasaran apakah One Battle After Another benar-benar karya seni radikal yang mengguncang, berikut ulasan lengkapnya.
1. Sebuah film thriller-politik yang sindir police state

Sejak menit pertama, One Battle After Another sudah menunjukkan keberaniannya. Latar distopia yang diciptakan PTA menggambarkan Amerika Serikat sebagai negara polisi fasis: imigran ditangkap, polisi dan militer menyatu jadi kekuatan otoriter, hingga kelompok nasionalis Kristen yang merancang "tatanan baru." Alih-alih cari aman, film ini menuding langsung realitas politik kontemporer, termasuk xenofobia dan rasisme yang kembali menguat di dunia Barat.
Anderson menggambarkan keresahan masyarakat melalui kelompok revolusioner French 75, yang dipimpin Perfidia Beverly Hills (Teyana Taylor). Operasi mereka di perbatasan Meksiko-AS bukan hanya aksi heroik, tetapi juga memicu obsesi menakutkan dari Kolonel Steven J. Lockjaw (Sean Penn), sosok antagonis yang jadi "gambaran" supremasi kulit putih. Konflik tersebut berlangsung selama 16 tahun, menyingkap bagaimana kekuasaan yang menindas bisa bertahan begitu lama.
Unsur radikal film ini bukan hanya karena keberpihakannya, melainkan sebagai pengingat bagi kita semua: revolusi bukanlah mimpi romantis. Ada darah, pengorbanan, dan konsekuensi, sekaligus menjadi sindiran keras terhadap masyarakat yang terlalu lama pasif menghadapi otoritarianisme. Apakah relevan juga dengan negara Indonesia?
2. Akting memukau dari sang mega bintang, Leonardo DiCaprio

Leonardo DiCaprio mungkin sempat menyesal karena tidak bisa bermain di film PTA, Boogie Nights (1997). Namun, ia langsung membayarnya di sini sebagai Bob Ferguson, seorang mantan revolusioner sekaligus ayah tunggal bagi putrinya, Willa (Chase Infiniti). Leo sukses membawakan kegigihan, keletihan, dan sedikit kelembutan. Ia juga luwes membawakan dad jokes receh yang membuat satu bioskop terpingkal.
Sean Penn tak kalah mencuri perhatian. Sebagai Kolonel Lockjaw, ia hadir sebagai sosok antagonis penuh kebencian, tetapi dimainkan dengan intensitas yang membuat kita tak bisa berpaling. Obsesi seksualnya terhadap Perfidia adalah salah satu elemen tergelap sekaligus paling mengerikan dari film ini. Benar-benar karakter yang kompleks.
Teyana Taylor tampil karismatik sebagai Perfidia, sementara Benicio del Toro yang tampil nyentrik sebagai Sensei Segio. Dan tentu saja, Chase Infiniti yang berhasil mencuri hati sebagai Willa. Sebagai debut film panjangnya, ia mampu mengimbangi akting DiCaprio, menegaskan dirinya sebagai bintang baru yang patut diperhitungkan di Hollywood.
3. Sinematografi, editing, dan scoring level Oscar

Secara teknis, One Battle After Another adalah magnum-opus. PTA bersama sinematografer Michael Bauman menggunakan format VistaVision yang jarang dipakai, menciptakan visual imersif dengan pergerakan kamera natural yang membawa kita ikut sebagai kelompok revolusioner. Adegan kejar-kejaran mobil di perbukitan Amerika contohnya, membuat kita seolah berkendara di dalamnya.
Jonny Greenwood kembali menjadi andalan PTA dalam hal scoring. Musiknya unik, sering kali berupa dentingan piano tunggal atau nada minor yang menghantui, tapi justru berhasil menciptakan atmosfer mencekam. Skor darinya tidak hanya memperkuat tensi di setiap adegan, melainkan juga menambah lapisan emosional di balik setiap keputusan karakter.
Editing film ini juga patut dipuji. Dengan durasi hampir tiga jam (tepatnya 2 jam 42 menit) tempo narasinya tetap stabil, memadukan humor absurd, drama keluarga, hingga adegan aksi tanpa kehilangan arah. Sejujurnya, penulis belum pernah melihat film dengan editing seperti ini. Luar biasa, seperti 3 jam berlalu begitu saja. Rasanya seperti menonton film blockbuster lawas karya Michael Mann. Wajib ditonton di IMAX!
4. Apakah One Battle After Another layak untuk ditonton?

Jawaban singkatnya: sangat direkomendasikan. Film ini tak cuma menawarkan hiburan berkat penampilan DiCaprio, tetapi juga refleksi mendalam tentang kondisi politik saat ini. Bagi sebagian penonton, tema dan penyampaiannya yang frontal mungkin terasa berat, bahkan provokatif. Namun, justru di situlah letak kekuatannya: intens, action-packed, dan... sangat realistis.
Sebagai karya terbaru Paul Thomas Anderson, One Battle After Another berdiri sejajar dengan film-film terbaiknya. Atau bahkan, menjadi yang paling politis dan berani sepanjang kariernya. Lewat plot yang "berani" seperti Eddington (2025) karya Ari Aster, bisa dibilang kalau film ini adalah sebuah masterpiece yang lahir tepat pada waktunya.
Pada akhirnya, film ini bukan tentang rentetan kekalahan kelompok revolusioner. Ini hanyalah satu pertempuran demi pertempuran lainnya. Dan yang terpenting adalah perjuangan itu harus terus berlanjut.