Review Film Tukar Takdir, Ulik Survivor Guilt dan Duka Berbagai Sisi

Jakarta, IDN Times - Nicholas Saputra kembali eksis di layar lebar. Kali ini, ia memerankan tokoh Rawa di film Tukar Takdir. Di sana Nicsap berbagi layar dengan jajaran bintang lainnya seperti Marsha Timothy, Marcella Zalianty, Meriam Bellina, Ariyo Wahab, hingga Tora Sudiro.
Dengan proyek garapan Mouly Surya yang bertabur bintang ini, apakah Tukar Takdir punya potensi yang menjanjikan? Nah, kalau kamu masih maju-mundur untuk menonton film ini, coba cek ulasan singkat berikut!
1. Dari akting sampai suara, semuanya natural!

Hal pertama yang patut diapresiasi dari film ini adalah penggunaan nature sound yang detail. Mulai dari suara seatbelt yang dilepas, bunyi dentingan lift, sampai detil-detil kecil lain seperti derap langkah kaki atau gesekan pintu. Semuanya bikin saya terasa ikut 'berada' di lokasi. Untuk kamu yang nonton di bioskop, aspek ini bisa jadi gong utama pengalaman sinematiknya.
Selain itu, Soal akting gak perlu diragukan lagi. Hampir semua karakter tampil natural dan meyakinkan. Dari karakter utama sampai suster di rumah sakit, semuanya bermain tanpa kesan dibuat-buat. Chemistry dan emosi tersampaikan dengan tepat, bikin ceritanya terasa dekat dengan realitas.
Nicholas Saputra pun membuat karakter Rawa jadi pusat emosional film ini. Character development-nya ditampilkan dengan apik. Perjalanan dari 'Kenapa saya selamat?' ke 'Untung saya selamat' dibangun pelan-pelan dengan penuh detail. Bahkan luka fisik pun digambarkan secara realistiis, jadi tidak serta merta sembuh begitu saja. Saya sebagai penonton seperti diajak sembuh perlahan-lahan bersama Rawa, untuk mengobati luka fisik dan batinnya.
2. Skala produksi yang besar, tapi berasa kurang di editan

Secara keseluruhan, film ini terasa digarap dengan skala produksi yang cukup besar. Properti yang digunakan terlihat niat dan mendukung suasana cerita, dari lokasi rumah sakit, apartemen, hingga garasi pesawat. Tapi ada satu bagian yang agak janggal, yaitu adegan di bandara pada awal film. Entah karena efek color grading atau pencahayaan digital, momen tersebut justru terlihat seperti CGI dan terasa tidak menyatu dengan atmosfer realistis film secara keseluruhan.
Ada juga satu momen yang bikin saya sedikit kecewa, yaitu tampilan layar HP yang pakai green screen. Entah kenapa, visual ini terasa mengganggu, karena tampak sekali palsu di tengah realita yang sudah dibangun apik oleh para pemain.
3. Cerita yang dalam, tapi karakternya ada yang kosong

Salah satu kekuatan Tukar Takdir ada di pilihan temanya. Film ini mengangkat trauma dan perasaan bersalah yang timbul setelah selamat dari kecelakaan, isu yang jarang diangkat dalam film Indonesia. Alurnya bikin penasaran, membuat saya bertanya-tanya sepanjang film, kenapa tokoh utama bisa selamat? Kenapa bukan orang lain? Premis ini membuat saya ikut merenung soal nasib, rasa syukur, dan beban moral yang menyertainya.
Namun, sayangnya hubungan antara Rawa dan Zahra justru jadi bagian yang terasa paling lemah. Interaksi mereka membingungkan, dan kehadiran karakter Zahra terasa seperti kosong. Saya masih belum bisa memahami apa tujuan Mouly Surya memberikan loveline di antara Zahra dan Rawa.
Menuju akhir, film ini memilih menyisakan satu pertanyaan besar soal penerbangan yang jadi akar konflik. Saya gak bisa spoiler lebih lanjut. Tapi bagi saya ada bagian yang jadi sedikit 'kentang' dari cerita yang dibangun sedemikian rupa sejak awal.
Untungnya, film menutup dengan adegan Marsha Timothy yang sangat kuat hingga meninggalkan bekas mendalam dalam hati saya. Emosi yang ditahan sejak awal akhirnya dilepas dalam satu momen diam yang intens dan menyentuh. "Gong banget," kalau kata bahasa anak sekarang.
Pada akhirnya, Tukar Takdir menawarkan kisah orang-orang menghadapi trauma dengan berbagai cara. Mengingat mewahnya suara dan detail yang perlu kamu perhatikan, sayang untuk melewatkan film ini yang sudah tayang di bioskop sejak 2 Oktober 2025.