Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

The First Omen, Kebangkitan Teror Klasik dalam Balutan Horor Modern

Nell Tiger Free dalam film The First Omen (dok. 20th Century Studios/The First Omen)

Sampai Maret lalu, 2024 terasa seperti tahun yang kelam bagi industri film horor Hollywood. Dengan kekecewaan yang dirasakan dari Night Swim (2024) dan Imaginary (2024), yang keduanya gagal memenuhi harapan dan mendapat ulasan negatif, sepertinya tak ada banyak hal yang bisa dinantikan oleh para penggemar horor.

Namun, angin segar berembus ketika The First Omen (2024) muncul di layar lebar. Film yang tayang di bioskop Indonesia sejak Rabu (3/4/2024) ini tak hanya menghidupkan kembali ketakutan yang telah lama kita kenal dari seri The Omen (1976) yang legendaris, tetapi juga menawarkan perspektif baru yang menjanjikan. The First Omen berhasil membalikkan pandangan sinis para kritikus, membuktikan bahwa Hollywood masih memiliki inovasi dalam genre horor.

Dengan kehadiran The First Omen, apakah kita akan menyaksikan kebangkitan genre horor yang telah lama dinanti? Ataukah film ini akan menjadi pengecualian yang berdiri sendiri di tengah deretan kegagalan di awal tahun ini? Sebelum menyimpulkannya sendiri, kamu wajib menyimak segala keistimewaan The First Omen yang telah penulis rangkum dalam review film di bawah ini.

1. Apa yang sebenarnya terjadi sebelum Damien Thorn lahir?

Nell Tiger Free dan Nicole Sorace dalam film The First Omen (dok. 20th Century Studios/The First Omen)

Dalam seri The Omen sebelum The First Omen, asal-usul Damien Thorn (Harvey Spencer Stephens) selalu menjadi misteri yang menarik. Ia diperkenalkan sebagai anak angkat dari pasangan Thorn, yang tak menyadari bahwa mereka sedang membesarkan Antikristus. Kisah ini tentunya menggugah rasa penasaran, bagaimana seorang anak bisa menjadi simbol kejahatan terbesar dalam sejarah manusia?

Selaku prekuel, The First Omen mencoba membuka tabir rahasia yang selama ini tersembunyi. Dalam film ini, penonton diajak untuk mengikuti Margaret Daino (Nell Tiger Free), perempuan Amerika yang berangkat ke Roma, Italia, untuk mengabdi di sebuah panti asuhan milik gereja. Di sana, ia bertemu dan terhubung dengan Carlita Scianna (Nicole Sorace),  anak yang dirawat di panti asuhan tersebut, yang selalu menyendiri dan berperilaku aneh.

Awalnya, Margaret mulai terbiasa dengan rutinitas panti asuhan yang sederhana. Namun, ketika melihat perlakuan pihak gereja terhadap Carlita serta kematian mengejutkan salah satu biarawati, ia merasakan kecurigaan bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di panti asuhan tersebut. Pertemuannya dengan Father Brennan (Ralph Ineson), imam yang tampaknya mengetahui lebih banyak daripada yang ia sampaikan, semakin menguatkan dugaannya.

Apakah kecurigaan Margaret terbukti? Apa yang sebenarnya disembunyikan oleh pihak gereja? Apa kaitan semua ini dengan kelahiran Antikristus? Percayalah, pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah segelintir misteri yang akan kamu temukan dalam The First Omen.

2. Terinspirasi film horor lawas, The First Omen hadirkan visual yang disturbing!

Nell Tiger Free dalam film The First Omen (dok. 20th Century Studios/The First Omen)

Salah satu kekuatan film horor era 1970-an, seperti The Exorcist (1973), The Omen (1976), dan Suspiria (1977), adalah kemampuan mereka untuk membangun atmosfer tanpa mengandalkan efek khusus yang berlebihan. Film-film tersebut bergantung pada narasi dan estetika visual untuk menarik penonton ke dalam ceritanya. The First Omen mengambil inspirasi dari sana, dengan menghadirkan kembali nuansa klasik yang sama melalui penggunaan warna, pencahayaan, dan komposisi yang cermat.

Dengan latar belakang 1971, The First Omen memfasilitasi Arkasha Stevenson, selaku sutradara, untuk membawa penghormatan pada film-film era tersebut. Tata kamera yang digunakan Stevenson membuat film ini terasa seperti lukisan gotik yang hidup, dengan setiap bingkai layaknya karya seni yang indah sekaligus mencekam. Tak hanya menghormati film-film terdahulu, penggunaan sinematografi yang tak biasa ini juga menambah rasa ketidaknyamanan kepada penonton.

Selain itu, Stevenson juga menghadirkan homage terhadap film orisinalnya, yakni The Omen (1976), dengan menghadirkan sederet momen kematian yang disturbing. Adegan "api" dan "kecelakaan" direka ulang dengan intensitas gore yang tak kalah membuat ngilu. Bahkan, The First Omen juga menghadirkan salah satu adegan persalinan paling provokatif, yang penulis yakin akan banyak dibicarakan oleh para sinefili dalam beberapa waktu ke depan.

3. Nell Tiger Free membawa The First Omen ke titik terbaik

Nell Tiger Free dalam film The First Omen (dok. 20th Century Studios/The First Omen)

Selain atmosfer yang memberikan efek tak nyaman kepada penonton, hal lain yang membuat The First Omen semakin menonjol adalah performa Nell Tiger Free. Sebelum film ini, aktris 24 tahun asal Inggris tersebut mencuri perhatian lewat Servant (2019-2023), serial horor besutan M. Night Shyamalan. Di sana, ia berhasil memerankan karakter babysitter dengan lapisan emosi yang kompleks, yang menjadi dasar bagi perannya yang baru ini.

Dalam The First Omen, Nell Tiger Free membawa kedalaman karakter yang tak kalah mengesankan ke dalam perannya sebagai Margaret Daino, calon biarawati dengan masa lalu kelam. Kepolosannya yang terbungkus misteri, memberikan nuansa yang lebih gelap pada film ini. Kompleksitas karakternya terlihat dari cara ia menyampaikan dialog dan ekspresi wajah yang sering kali memberikan lebih banyak cerita daripada kata-kata yang diucapkannya.

Penampilan Nell Tiger Free melengkapi keping yang hilang dari akting para aktris di film horor mainstream. Alih-alih mengandalkan jeritan ala scream queen, Nell membawa horor yang tak terlihat, tapi terasa melalui transformasi psikologis karakternya. Ia membuktikan bahwa kekuatan sejati dalam genre ini terletak pada kemampuan untuk mengkomunikasikan teror tanpa harus selalu menunjukkannya secara eksplisit. 

4. Angkat isu yang relevan, The First Omen tetapkan arah baru untuk franchise-nya

Sônia Braga dalam film The First Omen (dok. 20th Century Studios/The First Omen)

Bicara soal eksplisit, naskah garapan Tim Smith, Arkasha Stevenson, dan Keith Thomas juga tak mau terjebak dalam penuturan yang gamblang—meski dari posternya penonton bisa menebak secara jeli kejutan apa yang dihadirkan. Alih-alih bergantung pada plot twist, trio penulisnya lebih tertarik untuk mengangkat tema sensitif yang dibungkus dengan penuturan subtil. Ini adalah langkah berani yang membedakan The First Omen dari pendahulunya.

Di tengah narasi menegangkan, film ini dengan cerdas menyelipkan isu radikalisme. Radikalisme, dalam The First Omen, ditunjukkan melalui tindakan ekstrem para pemuka agama untuk memengaruhi keyakinan orang dengan rasa takut. Film ini juga menyoroti ketidakadilan gender, menggambarkan bagaimana karakter-karakter perempuan diperlakukan secara tak adil dan hanya sebagai alat untuk tujuan yang lebih besar.

Semua ini mengarahkan seri The Omen ke arah yang baru dan lebih relevan. Salutnya, semua perubahan tersebut mampu diaplikasikan oleh Arkasha Stevenson tanpa merendahkan versi orisinalnya. Dengan begini, ketika meninggalkan bioskop, penonton baru akan tertarik menyaksikan semua seri The Omen, sementara penonton lama akan semakin tak sabar menantikan entry selanjutnya dari franchise ini.

Sampai tulisan ini dibuat, The First Omen memegang skor yang cukup memuaskan di Rotten Tomatoes, yakni sebesar 83 persen. Film ini tak hanya menghidupkan kembali ketakutan klasik, tetapi juga menetapkan arah baru yang berani untuk franchise horor legendaris ini. Bagi para penggemar film horor yang mencari sesuatu yang segar namun tetap menghormati tradisi, The First Omen adalah pengalaman sinematik yang tak boleh dilewatkan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Satria Wibawa
EditorSatria Wibawa
Follow Us