Wawancara Rasukma: tentang Bandung, Musik, dan Majas dalam Lirik

- Rasukma memilih tema ibu dan anak untuk albumnya karena ingin mengekspresikan hubungannya dengan ibunya yang sakit, dari rasa takut kehilangan hingga mendekatkan diri.
- Lirik-lirik Rasukma mengandung majas, seperti dalam lagu "Poyan" yang berarti hujan saat cerah, dipilih sebagai epilog album karena mewakili dualisme narasi album.
- Rasukma terpengaruh oleh musisi lokal seperti Payung Teduh dan Efek Rumah Kaca dalam penulisan lirik, serta musisi internasional seperti Radiohead dan The Marias dalam unsur musiknya.
Jakarta, IDN Times - “Itu sebenarnya menarik, lho. Lagu cinta itu mudah diterima, padahal gak semua orang punya pacar, tapi semua orang punya ibu. Kenapa gak lebih mudah diterima (lagu tentang) anak-ibu ya?”
Di tengah lagu-lagu cinta yang selalu berhasil memikat hati anak muda, Eson, vokal dan gitaris Rasukma, memilih kisah tentang hubungannya dengan sang ibu untuk tema album barunya bersama rekan duetnya, Adel, yaitu Suaka.
Ada 9 lagu di dalamnya dengan melodi yang unik-unik dan lirik yang mengandung majas penuh daya tarik. Meski kini berada di bawah payung JUNI Records, Rasukma berani mempertahankan ciri khas musik mereka yang gak biasa.
Dalam artikel wawancara ini, Rasukma berbagi tentang apa saja yang memengaruhi musik mereka selama ini. Dari musisi favorit hingga kampung halaman mereka, Bandung, ini bagian kedua wawancara IDN Times dengan Rasukma.
1. Kenapa mengangkat tema ibu dan anak, sementara lagu cinta, galau, lebih mudah diterima?
“Sebenarnya itu menarik, lho. Lagu cinta itu mudah diterima, padahal gak semua orang punya pacar, tapi semua orang punya ibu. Kenapa gak lebih mudah diterima anak-ibu ya dibanding pacaran?
Sebenarnya kalau pertanyaannya kenapa, trigger awalnya itu adalah waktu pandemi ibuku sempat sakit. Dan di situ aku banyak mempertanyakan hubungan dengan ibu seperti apa. Katalisnya adalah rasa takut kehilangan. Sebenarnya takut gak punya waktu lagi untuk menghabiskan waktu sama ibu.
Itu sebenarnya sih, keraguannya, ketakutannya, kebingungannya itu. Aku kalau nulis lagu tuh somehow waktu itu selalu tentang dia (ibu) dan tentang kebingungan itu, segala macam perasaan seputar hubunganku dan ibuku. Nah, akhirnya berkembanglah menjadi sembilan lagu.
Itu tuh menjelaskan dinamikanya dari awal. Dari lahir, tumbuh sebagai anak bandel, ngejauh, ibu sakit, mendekat, lalu mulai mikirin gimana cara balesnya. Itulah kenapa albumnya tentang anak dan ibu.
Jadi tidak berangkat dari, ‘Wah, bisa laku nih,’ gak juga. Maksudnya, bukan ingin menjual cerita kesedihan, punya ibu sakit, segala macam, tapi emang berangkatnya dari cerita personal aja. Bahwa sedang merasa seperti itu, maka itu yang ditulis. Gitu sih,” Eson yang menulis sebagian besar lagu dalam album ini menjelaskan.
2. Ini kan lirik-liriknya berisi majas, yang terakhir, epilog, judulnya Poyan. Itu bahasa Sunda ya?

“Betul. Kalau poyan tuh sinar matahari sebenarnya, tapi kalau hujan poyan tuh hujan saat cerah. Jadi ‘hujan orang meninggal.’ Mistisnya gitu. Kalau dalam bahasa Sunda itu dipakai kalau hujan. Ada frase hujan poyan. Itu artinya hujan saat terik matahari,” terang Eson.
Jadi kenapa menjadikan “Poyan” sebagai epilog?
“Jadi… kan ada 9 lagu di album ini. Waktu itu 8 lagu udah jadi, tinggal 1 lagi, nih. Kebetulan waktu pulang makan siang ke kantor, lagi hujan poyan tuh di jalan. Nah, itu menarik kelihatannya, karena kan cantik ya. Langitnya cantik. Bagus banget. Tapi, orang kalau di jalan tetap harus berteduh. Gak bisa sepenuhnya dinikmatin juga. Jadi, manis pahitnya tuh seimbang, lah.
Nah, setelah dirasa-rasa, cerita di album ini tuh seperti itu, kan. Berangkatnya dari ibu sakit, bingung, galau. Tapi, akhirnya itu mendekatkan aku dan ibuku. Jadi manis dan pahitnya tuh sangat seimbang gitu. Berangkat dari tragedi, ujungnya malah jadi mendekat.
Maka kayaknya dirasa si hujan poyan ini tuh bisa merepresentasikan narasi albumnya dan dualisme yang ada di narasinya. Maka dipilihlah sebagai tema untuk epilognya, untuk merangkum sebuah albumnya,” katanya lagi.
3. Lirik Rasukma mengandung majas, kamu sering buka KBBI dong?
“Itu menurutku wajib, sebagai sense check, karena kalaupun punya keyakinan bahwa pengin pakai kata ini, belum tentu itu benar dan belum tentu itu baku. Jadi banyak sekali ngecek ke KBBI, banyak menyerap.
Ini yang menarik. Orang suka berasumsi, misalkan, tahunya itu dari baca buku, tapi gak mesti juga. Kadang-kadang, misal aku nemenin adekku nonton Netflix. Terus, dia nonton series pakai subtitle Bahasa Indonesia. Subtitle itu baku banget. Kadang ada kata-kata kayak gemeletap. Itu tuh ada di subtitle. Aku tuh, 'apa arti gemeletap?' Nyari.
Jadi kadang-kadang dari hal-hal random, ada kosakata-kosakata kalau menarik bisa dipakai di lirik itu, sih. Tapi, ngecek KBBI itu menurutku harus kalau ingin menjunjung tinggi juga kaidah bahasanya,” Eson menerangkan dengan antusias.
4. Terus dari segi musik, siapa sih musisi yang paling banyak memengaruhi musik kalian?

“Kalau personal sih sebenernya kita lumayan beda ya, tapi ada sih beberapa yang sama, kayak musisi-musisi lokal tuh banyak yang sama. Kalau aku pribadi sebenarnya paling suka, untuk referensi nyanyi, vokal gitu, kayak Ella Fitzgerald.
Terus aku suka The Staves buat kayak referensi harmonizing, layering, terus Fleet Foxes juga buat harmonize, kayak cara nyanyinya, power-nya segala macam, itu sih kalau personal,” Adel tampak mengingat-ingat saking banyaknya musisi yang ia idolakan.
“Kalau aku kebetulan referensi musikku banyak yang jadinya dicolong buat Rasukma. Kalau misalkan secara lirik, tadi banyak disebut juga sih sama Adel, musisi lokal gitu, karena kan pasti karakter musisinya yang penulisan liriknya sama, banyak majasnya, penuh lapisan gitu liriknya. Jadi mungkin yang kayak Payung Teduh, Efek Rumah Kaca, dan segala macam yang memang liriknya gak telanjang. Jadi banyak menyerap dari sana.
Tapi, kalau secara musik, awalnya, akarnya banget tuh dari musisi pop, kayak misalkan Banda Neira, Payung Teduh, terus Tigapagi. Tapi makin ke sini, dalam nulis lagunya aku banyak menyerap unsur-unsur dari musisi yang agak jauh genre-nya.
Kayak misalkan ngambil dari Radiohead, ngambil dari Pink Floyd, ngambil dari misalkan The Marias. Jadi banyak yang aku pretelin tuh lagu-lagunya. Terus ini kayaknya bisa diambil, tapi secara keseluruhan gak kedengeran Radiohead sama sekali. Kalau diperhatiin banget, ada unsur yang diambil dari sini, dari sini. Jadi macam-macam sih kalau musiknya,” Eson membedah cara kreatifnya dalam membuat musik Rasukma.
5. Banyak musisi kita yang lahir dari Bandung, termasuk kalian. Menurut kalian, bagaimana Bandung memengaruhi sense musik kalian?
“Ini menarik, karena Bandung terlahir saat Tuhan sedang tersenyum. heheh," Adel tertawa.
"Anyway, kalau aku mungkin berpengaruhnya lebih kayak kepekaan. Ya gak tahu sih, kayak entah kenapa mungkin karena pace Bandung, I would say, lebih chill, lah. Lebih lambat dari Jakarta. Jadi ada hal-hal yang sebenernya bisa kita notice dari kehidupan sehari-hari yang mungkin kalau pace kita secepat itu gak akan ke-notice.
Kayak mengasah kepekaan aku, sih. Menurutku dengan aku tinggal dan berkehidupan di Bandung, jadinya kayak lebih peka terhadap hal-hal sederhana sehari-hari dan lebih mengapresiasi itu juga,” vokalis yang juga masih bekerja di sebuah agensi itu menambahkan.
6. Lagu-lagu Rasukma ini lebih banyak diciptain di sini (Jakarta) atau di rumah (Bandung)?

“Kebanyakan di Bandung, tapi ini menarik, tahu. Karena, lagu yang dibikin di Jakarta sama di Bandung tuh suka beda rasanya. Tapi, menurutku mungkin ini udah lebih depan ya jawabnya, bukan soal kenapa orang Bandung suka nulis musik, tapi kenapa beda rasanya, mungkin buat aku saat nulis musik.
Menurutku tuh, hubungannya sama seberapa banyak dan apa jenis stresor yang aku dapatkan. Kayak misalkan lagu ‘Peluruh’ yang tadi dibawain (di SEMUSIK), yang agak dangdut dengan ke-chaos-an dan segala macem, itu bikinnya di jalan tuh. Lagi bawa motor pulang kantor, dapet nih di kepala top lining dan segala macamnya.
Kayaknya kalau di Bandung bakal beda deh keluarnya, tapi ada lagu-lagu kayak ‘Tedja’ itu di Bandung bikinnya, terus ‘Nadir’ itu di Bandung juga. Lagu-lagu yang lebih lambat, mendayu-dayu, keluarnya di Bandung,” ujar Eson.
Lebih sensitif ya di sana.
“Ini gak mau bilang pasti banget nih, tapi kebetulan kayak gitu. Lagu-lagu yang rame-rame itu pada bikinnya di sini, karena mungkin di jalan stres kali ya. Yang macet, panas, polusi orang marah-marah, ada tabrakan, kan capek ya sebenernya.
Kalau di Bandung stresornya beda dan mungkin lebih sedikit di Bandung. Maka lebih banyak ruang untuk perasaan-perasaan yang mungkin susah keluar di sini (Jakarta), bisa keluar di sana (Bandung). Dan kita bisa nangkep itu jadi inspirasi musik,” tuturnya lagi.
7. Kalian ingin Rasukma dikenal sebagai musisi yang kayak apa?
“Kalau aku pengin Rasukma dikenal sebagai musisi yang jujur dan dikangenin. Suka banget, karena aku sering merasa seperti itu terhadap idolaku. Ih kangen deh nonton dia, kangen dengerin dia lagi. Pengin banget jadi musisi yang dirindukan,” musisi yang juga seorang karyawan korporat ini tersenyum.
“Kalau aku mungkin ingin Rasukma diingat sebagai musisi yang terus mencoba aja. Mau naik, mau turun, ya terus aja kita coba. Selalu berikhtiar,” tambah Adel.
Perjalanan Rasukma masih panjang. Apa kamu sudah mendengarkan karya-karyanya? Wawancara ini dilakukan setelah Rasukma syuting program SEMUSIK di studio IDN. Tonton penampilan mereka membawakan tiga lagu baru dari album Suaka ini, ya!