Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Musisi Masih Merilis CD dan Vinil di Era Digital?

vinil album
ilustrasi vinil (Pexels.com/cottonbro studio)
Intinya sih...
  • Rilisan fisik memberi profit lebih tinggi dibanding rilisan digital dari segi margin.
  • Bentuk resistensi terhadap bisnis subskripsi yang merugikan.
  • Gen Z mengembalikan semangat mendengar musik secara analog.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sejak disrupsi digital, pola konsumsi kita ikut berubah. Termasuk saat menikmati musik. Ketimbang membeli kaset atau CD, kita akan memilih mendengarnya lewat platform streaming. Apalagi kini, banyak platform yang menawarkan opsi gratis (dengan interupsi iklan).

Bermodal koneksi internet, kamu pun bisa menikmati lagu di mana saja dan kapan saja. Sebuah gebrakan yang memudahkan, bukan? Lantas, mengapa masih banyak musisi yang merilis CD dan vinil? Bukankah itu kontradiktif dengan tren yang berkembang? Apakah masih ada yang tertarik membelinya?

1. Rilisan fisik adalah salah satu sumber penghasilan terbesar musisi dari segi margin

CD musik
ilustrasi CD album (Pexels.com/cottonbro studio)

Menurut riset yang dipublikasikan Hesmondhalgh, dkk berjudul ‘Music Creators' Earnings in the Digital Era’ dalam SSRN Electronic Journal pada 2021, rilisan fisik memang bukan lagi sumber penghasilan terbesar musisi. Posisinya kini digeser penghasilan dari online streaming dan digital download. Namun, masih merujuk penelitian yang sama, mayoritas penghasilan dari streaming daring justru mengalir ke dompet perusahaan rekaman.

Musisi hanya dapat sekitar 25 persen dari penghasilan itu, belum dipotong untuk produser, komposer, dan penulis lagu. Namun, skema itu bisa berubah tergantung kontrak dan situasi. Musisi bisa dapat persentase penghasilan lebih besar bila tergabung dalam label rekaman DIY atau independen, tetapi kekurangannya biasanya terletak pada biaya rekaman dan publisitas yang minim. Label besar berani mematok potongan besar karena bersedia menanggung sejumlah pengeluaran untuk musisi.

Meski sudah tergeser, rilisan fisik memberi mereka profit lebih tinggi dibanding rilisan digital dari segi margin. Sebagai ilustrasi, kita asumsikan satu album berisi 12 lagu, dibanderol dengan harga -Rp100—300 ribu per CD dengan biaya produksi 1 keping sebesar Rp16-40 ribu. Sekarang coba kalikan dengan rate harga per 1 kali streaming lagu yang hanya sebesar Rp50—160, berarti penghasilan musisi dari 1 album di platform streaming hanya sekitar Rp1.920.

2. Bentuk resistensi terhadap bisnis subskripsi yang merugikan

toko cd
ilustrasi toko CD (Pexels.com/Eka Nugraha)

Melihat ketimpangan margin tadi, tak pelak orang melihat rilisan fisik sebagai bentuk perlawanan terhadap platform streaming yang merugikan. Buat sebagian penggemar yang punya privilese berupa surplus penghasilan, membeli rilisan fisik mungkin bisa jadi jalan ninja alias bentuk dukungan penuh untuk musisi favorit.

Ini juga bisa dilihat sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap sistem langganan yang kalau dipikir-pikir menyebalkan juga. Selain harus bayar biaya langganan per bulan atau rela mendengar dengan interupsi iklan, kamu juga harus memastikan koneksi internetmu lancar, yang mana itu juga berbayar lagi. Hal-hal tadi gak perlu dipusingkan saat kita membeli rilisan fisik. Sekali beli, kamu bisa memutarnya puluhan kali tanpa internet. Masalahnya, tak semua orang punya surplus penghasilan untuk menikmati musik dari CD dan piringan hitam, apalagi kamu juga harus memastikan punya alat pemutarnya.

3. Gen Z mengembalikan semangat mendengar musik secara analog

CD player
ilustrasi pemutar CD (Pexels.com/Alex Sever)

Ini yang menjelaskan mengapa naiknya minat terhadap CD dan vinil lebih terlihat di negara-negara maju. Recording Industry Association of America melaporkan kenaikan penjualan rilisan fisik sepanjang 2020—2022 di Amerika Serikat. Tren serupa ditemukan pula di Inggris Raya pada 2022—2024, meski sedikit melambat pada 2024.

Tak heran kalau pada 2025 ini, beberapa musisi rajin merilis musik mereka dalam format fisik. Bahkan mereka sengaja merilisnya selayaknya benda yang bisa dikoleksi, yakni dengan varian kover beragam. Tentunya ditambah dengan bonus track eksklusif yang bikin pemilik CD maupun vinil merasa spesial.

Kebiasaan mendengarkan musik secara analog juga berseliweran di media sosial, terutama oleh pengguna dari kalangan gen Z. Tak hanya terbatas pada musik, kini rilisan fisik film dan buku cetak juga mengalami kenaikan popularitas. Namun, perlu diingat kenaikannya tidak bisa dilihat sebagai fenomena global alias masih tersegmentasi di negara-negara dengan standar penghasilan tinggi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Diana Hasna
EditorDiana Hasna
Follow Us

Latest in Hype

See More

8 Meme Anime tentang Kursi, Malah Ada Tidur di Sofa

07 Nov 2025, 18:41 WIBHype