5 Tekanan HRD ACT pada Kim Nak Su di The Dream Life of Mr. Kim

- Kim Nak Su dipaksa menjadi kepala keamanan pabrik Asan sebagai hukuman tersembunyi.
- Dipaksa mencatat pelanggaran keselamatan karyawan sebagai dasar pensiun dini, dilema moral bagi Nak Su.
- Diharuskan mencari 20 nama karyawan untuk pensiun dini, tekanan emosional dan tidak masuk akal.
Dari luar, Kim Nak Su (Ryu Seung Ryong) tampak seperti pegawai senior yang kuat, tegas, dan selalu siap menghadapi segala tantangan kerja dalam cerita drakor The Dream Life of Mr. Kim. Namun di balik itu, ia justru menjadi salah satu korban terbesar sistem korporasi ACT yang keras dan tidak manusiawi. Setelah kasus Super Giga Internet meledak, posisi Kim Nak Su menjadi semakin terpojok dan membuatnya masuk ke dalam lingkaran tekanan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Drama Korea The Dream Life of Mr. Kim memperlihatkan bagaimana HRD perusahaan memainkan peran besar dalam hidup Kim Nak Su. Bukan untuk membantu, tetapi menekan, mengontrol, dan memaksanya mengambil keputusan-keputusan sulit. Lima tekanan HRD ACT pada Kim Nak Su di The Dream Life of Mr. Kim berikut ini jadi bukti betapa kejamnya sistem ACT dalam mengatur masa depan seorang karyawan senior.
1. Memaksa Nak Su menjadi kepala keamanan pabrik Asan

Alih-alih memecatnya secara langsung setelah insiden Super Giga Internet, HRD mengambil langkah yang lebih manipulatif, yakni mengirim Kim Nak Su ke pabrik Asan sebagai kepala keamanan. Bagi Kim Nak Su, keputusan ini bukan promosi, tapi “pengasingan halus” yang membungkus hukuman dalam bentuk tugas baru.
Penempatan tersebut tidak mempertimbangkan kompetensinya, tidak sesuai latar belakangnya, dan tidak memberikan ruang penolakan. Ia hanya diberi satu pilihan, menerima atau kehilangan pekerjaan. Tekanan psikologisnya muncul karena ia dipaksa menjalankan fungsi yang tak pernah ia kuasai.
2. Dipaksa mencatat pelanggaran keselamatan karyawan sebagai dasar pensiun dini

Setibanya di Asan, Kim Nak Su kembali terjebak dalam instruksi sepihak dari HRD. Ia diminta mencatat semua pelanggaran keselamatan para pekerja dan menjadikan poin minus tersebut sebagai alat untuk mengajukan pensiun dini bagi mereka. Tugas itu membuat Kim Nak Su berada di posisi moral yang sangat dilematis. Ia tahu aturan keselamatan penting, tetapi ia juga paham bahwa banyak pelanggaran terjadi karena kondisi kerja yang buruk dan sistem yang tidak mendukung. Namun, HRD menuntutnya bertindak seperti “algojo administratif” tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan.
3. Diharuskan mencari 20 nama karyawan untuk pensiun dini

Tekanan makin besar ketika HRD menugaskannya mengumpulkan daftar 20 orang yang harus dipensiunkan dini. Tugas ini tidak hanya berat secara emosional, tetapi juga tidak masuk akal. Nak Su tidak pernah mengenal para pekerja itu sebelumnya, tidak memahami latar belakang mereka, dan tidak diberi waktu cukup untuk menilai performa mereka secara adil. Ia dipaksa mengubah hidup orang lain hanya demi memenuhi target HRD yang dingin dan birokratis. Beban moral ini perlahan membuat Kim Nak Su semakin terpuruk dan mempertanyakan nilai dirinya sebagai pemimpin.
4. Dipaksa mengirimkan 20 nama tersebut ke kantor pusat

Setelah mengumpulkan nama dengan tekanan, kebingungan, dan rasa bersalah yang menumpuk, Kim Nak Su masih harus menyerahkan daftar tersebut ke kantor pusat. HRD memastikan agar Kim Nak Su menjadi aktor langsung dalam proses pemangkasan tenaga kerja, bukan hanya sebagai saksi. Kewajiban mengirimkan nama-nama itu membuat Kim Nak Su merasa seperti alat perusahaan yang hanya menjalankan perintah tanpa peduli dampaknya pada manusia yang ia pimpin. Ini menjadi salah satu titik terendah dalam perjalanan profesionalnya.
5. Dipaksa memecat 20 karyawan usai insiden kebakaran di Asan

Puncak tekanan datang setelah kebakaran di pabrik Asan. Alih-alih memberi dukungan atau mencari penyebab sistemik, HRD langsung menuntut Kim Nak Su memecat 20 orang yang terlibat insiden tersebut. Ini adalah bentuk tekanan terbesar sekaligus paling tidak masuk akal.
Kim Nak Su yang sudah berjuang menyelamatkan para pekerja dan menenangkan kekacauan, pada akhirnya dipaksa menghukum orang-orang yang justru menjadi korban. Instruksi ini tidak hanya menghancurkan mentalnya, tetapi juga membuatnya sadar bahwa ACT tidak pernah peduli pada karyawan, keselamatan, atau keadilan, yang penting hanyalah angka dan reputasi perusahaan.
Pada akhirnya, tekanan HRD ACT pada Kim Nak Su di The Dream Life of Mr. Kim menjadi titik balik besar dalam hidupnya. Ia harus memilih antara tetap menjadi roda dalam mesin perusahaan yang kejam atau melepaskan semuanya untuk menyelamatkan integritas dirinya. Drakor The Dream Life of Mr. Kim menggambarkan bagaimana manusia biasa seperti Kim Nak Su dapat remuk oleh sistem, namun tetap berjuang mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan yang ia miliki. Drama ini mengingatkan kita bahwa tekanan terbesar dalam hidup sering kali datang bukan dari kegagalan pribadi, tetapi dari sistem yang tak memberikan ruang bagi kemanusiaan.



















