5 Alasan Korban Workplace Bullying Cenderung Memilih Diam

- Takut dicap drama atau tidak profesional
- Tidak percaya pada sistem atau atasan
- Rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri
Pernah gak sih kamu merasa tertekan di tempat kerja, tapi memilih bungkam karena takut dianggap lemah atau drama? Banyak karyawan yang mengalami workplace bullying justru menutup diri dan pura-pura baik-baik saja. Padahal di balik diamnya mereka, ada luka psikologis yang perlahan menggerogoti rasa percaya diri dan semangat kerja.
Diam bukan berarti kuat, tapi sering kali jadi bentuk pertahanan diri ketika lingkungan gak aman untuk bicara. Korban bullying di kantor sering menghadapi dilema antara bertahan atau kehilangan pekerjaan. Simak lima alasan psikologis kenapa korban workplace bullying cenderung memilih diam dan dampak serius yang bisa muncul darinya.
1. Takut dicap drama atau tidak profesional

Dalam dunia kerja, label “profesional” sering disalahartikan sebagai harus kuat dan gak boleh baper. Ketika seseorang mengaku dirundung, reaksi yang muncul kadang malah menyalahkan korban karena dianggap terlalu sensitif. Akibatnya, korban lebih memilih diam agar tidak dicap sebagai sumber masalah di tim.
Rasa takut ini membuat korban terus menekan emosi dan pura-pura baik-baik saja. Mereka lebih fokus mempertahankan citra profesional daripada memperjuangkan keadilan. Padahal, ketakutan semacam ini justru memperkuat budaya toxic workplace yang membungkam suara karyawan.
2. Tidak percaya pada sistem atau atasan

Banyak korban merasa percuma melapor karena sistem perusahaan sering kali memihak pada pelaku. Apalagi jika pelaku bullying memiliki posisi lebih tinggi, korban cenderung menganggap laporan hanya akan berakhir sia-sia. Ketidakpercayaan ini menumbuhkan rasa putus asa dan kehilangan harapan untuk perubahan.
Dalam situasi seperti ini, korban memilih diam demi menjaga keamanan posisi kerja. Mereka berpikir, melawan hanya akan memperburuk keadaan dan menambah tekanan psikologis. Akibatnya, masalah dibiarkan berlarut tanpa penyelesaian, sementara luka batin makin dalam.
3. Rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri

Korban workplace bullying sering merasa semua yang terjadi adalah kesalahan mereka. “Mungkin aku memang gak cukup baik,” atau “Aku terlalu sensitif,” jadi kalimat yang terus terngiang di kepala. Rasa bersalah ini tumbuh karena manipulasi emosional dari pelaku yang membuat korban meragukan persepsinya sendiri.
Ketika rasa bersalah makin kuat, korban kehilangan keberanian untuk berbicara. Mereka takut cerita mereka dianggap berlebihan atau tidak valid. Akhirnya, diam menjadi satu-satunya cara untuk bertahan di tengah tekanan mental yang menguras energi.
4. Lingkungan kerja yang normalisasi kekerasan verbal

Ada banyak kantor yang menganggap hardikan atau kritik tajam sebagai “cara membangun mental”. Padahal, ini justru bentuk kekerasan verbal yang merusak kepercayaan diri karyawan. Saat perilaku seperti ini dianggap wajar, korban kehilangan ruang untuk bicara.
Kultur kerja yang toxic membuat empati antar karyawan perlahan hilang. Mereka yang disakiti merasa tidak punya sekutu, karena semua orang sudah terbiasa dengan kekerasan emosional. Akibatnya, budaya diam semakin mengakar dan korban terus memendam rasa sakit sendirian.
5. Memilih quiet quitting sebagai bentuk pelarian

Ketika suara mereka tidak didengar, banyak korban akhirnya memilih jalan sunyi: quiet quitting. Mereka tetap datang ke kantor, tapi tanpa semangat, tanpa ambisi, dan tanpa ikatan emosional terhadap pekerjaan. Ini bukan kemalasan, tapi bentuk perlawanan pasif terhadap lingkungan yang menyakiti.
Quiet quitting sering kali jadi tanda bahwa seseorang sudah kehilangan kepercayaan terhadap sistem kerja. Mereka tidak berani konfrontasi, tapi juga tidak mau terus disakiti. Dengan cara ini, korban berusaha melindungi kesehatan mentalnya meski perlahan kehilangan rasa memiliki terhadap pekerjaannya.
Korban workplace bullying cenderung memilih diam bukan karena lemah, tapi bukti betapa kerasnya mereka berjuang untuk bertahan di lingkungan yang gak mendukung. Menghakimi mereka hanya akan membuat luka makin dalam dan budaya toxic makin kuat. Yuk mulai belajar peka, dengarkan lebih dalam, dan bantu ciptakan tempat kerja yang aman bagi semua orang.



















