Tak ada yang menyangkal kalau sistem pendidikan di Finlandia diakui menjadi yang terbaik di dunia. Bahkan, beberapa waktu lalu, sistem di Negeri Nordik itu hendak diikuti Indonesia. Namun, bila diselisik, prinsip dasar pendidikan di Indonesia masih jauh berbeda dengan Finlandia.
Finlandia tak pernah menyuruh siswa untuk membuat pekerjaan rumah dan menerapkan standar nilai ujian. Lantas, apa yang sebenarnya membuat sistem pendidikan di Finlandia sukses dan berhasil mencetak generasi cemerlang?
Sedangkan di Indonesia, beberapa sekolah membolehkan anak belum genap usia 7 tahun –bahkan 6 tahun—masuk sekolah dasar. Dengan usia yang belum matang betul untuk mengenyam pendidikan di sekolah dasar, anak akan jenuh dan cenderung tak optimal mengenyam pendidikan.
Hal ini setidaknya dilakukan sampai mereka menginjak remaja.
Di Indonesia, 6 tahun pertama anak bersekolah, yakni di sekolah dasar, mereka sudah dinilai. Nilai mereka dianggap mempengaruhi prestasi.
Di Indonesia, anak kelas 1 SD pun sudah dibebani ulangan.
Di Indonesia, ada kelas akselerasi, ada kelas regular, ada juga kelas internasional. Kelas seakan menjadi jurang.
Di Indonesia, beasiswa sangat banyak prosesnya dan hanya dinikmati beberapa orang.
Di Indonesia banyak anak putus sekolah.
Di Indonesia, yang pintar dan yang dianggap tertinggal jurangnya sangat tampak.
Di Indonesia, hanya sekolah tertentu yang punya laboratorium yang memenuhi standar. Itu pun digunakan banyak siswa.
Di Indonesia, tak sampai setengah penduduk yang terdaftar mengenyam bangku pendidikan tinggi.
Di Indonesia, sekolah kejuruan justru termarjinalkan dan dianggap remeh.
Di Amerika tak sampai 30 menit, sementara di Indonesia hanya 15 menit.
Di Indonesia, guru 48 jam di kelas.
Indonesia, terutama di daerah 3T, sedang kekurangan guru.
Di Indonesia, anggaran untuk Kementerian Pendidikan dipotong.
Di Indonesia tak semua guru lulus S1. Kalau mau menempuh pendidikan selanjutnya, kebanyakan bayar sendiri.
Kurikulum nasional di Indonesia tergolong kaku dan kurang fleksibel.
Di Indonesia, guru SD tak dianggap pekerjaan prestisius.
DI Indonesia, rata-rata gaji guru tak memenuhi UMP atau UMR.
DI Indonesia masih ada guru yang menerima gaji Rp 300 ribu sebulan.
Di Indonesia guru diabaikan.
Apakah pendidikan di Indonesia berani seperti di Finlandia? Mampukah?