Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apa Maksud dari Jargon Membaca adalah Melawan?

Stiker protes yang pakai referensi novel 1984 karya George Orwell (Pexels.com/Markus Spiske)
Stiker protes yang pakai referensi novel 1984 karya George Orwell (Pexels.com/Markus Spiske)

Sering mendengar jargon "membaca adalah melawan"? Bukan asal bunyi, ternyata ada makna dalam dari slogan itu. Kaitan antara membaca dan melawan ternyata bisa ditarik dari peran buku sebagai jendela dunia dan sumber pengetahuan. Bukan hanya kumpulan kata dan kalimat, buku adalah media yang mencerahkan dan mengedukasi. 

Lantas, bagaimana buku bisa dipakai untuk melawan? Apa fungsinya yang selama ini tidak kamu sadari dari seonggok buku? Baca ulasannya di artikel ini sampai akhir!

1. Buku mampu mengekspos pembacanya dengan perspektif baru

ilustrasi buku (Pexels.com/Ian Ramírez)

Ada sebuah riset kualitatif menarik dari Hollis berjudul "Readers’ experiences of fiction and nonfiction influencing critical thinking" dalam Journal of Librarianship and Information Science. Ada beberapa temuan menarik dari riset yang ia lakukan pada 12 pembaca itu. Pertama, buku mampu mengubah perspektif seseorang terhadap isu-isu tertentu. Ini terutama berlaku untuk aktivitas membaca fiksi. 

Buku pada dasarnya mampu meningkatkan eksposur terhadap hal-hal di luar lingkaran pertemanan kita. Ide-ide dan pengalaman baru ini seringkali tidak sejalan dengan apa yang kamu percaya, tetapi dengan membaca kamu seolah "dipaksa" atau bahkan "terhipnotis" untuk tetap menyelesaikan cerita sampai selesai. Akan ada momen ketika kamu tidak setuju dan ingin menyanggah, tetapi ketika membaca, kamu akan condong memilih melakukannya dalam hati. 

Membaca pada akhirnya akan membantu seseorang jadi lebih bijak memilih mana hal yang patut diperjuangkan dan mana yang masih bisa ditoleransi. Aktivitas ini akan melatih seseorang jadi sosok yang punya toleransi tinggi terhadap perbedaan dan tenang saat menghadapi ketidaknyamanan. Namun, di sisi lain tetap punya pendirian kuat tentang apa yang mereka percaya serta empati terhadap masalah orang lain. 

2. Buku memberimu kepercayaan diri dan basis pengetahuan untuk berargumen dam beropini

ilustrasi perpustakaan (Pexels.com/Elif Gökçe)
ilustrasi perpustakaan (Pexels.com/Elif Gökçe)

Baik buku fiksi maupun nonfiksi biasanya akan mendorong kita mempertanyakan banyak hal. Ini karena kita mengekspos diri dengan gagasan dan pengalaman baru yang tidak familier. Bertanya adalah sebuah proses berpikir kritis yang artinya kamu tak lagi mudah percaya begitu saja dengan informasi dan pernyataan baru. Ada proses menyanggah di dalamnya. 

Buku nonfiksi terutama, berisi sekumpulan informasi yang lebih utuh serta dasar pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Aktivitas bertanya ini yang kemudian membuatmu tergerak membuat argumen maupun opini. Bedanya, argumen dan opinimu tak lagi kosong dan asal, ada referensi pengetahuan dan data dari buku yang kamu baca. Ini juga secara tak langsung membuatmu merasa lebih berdaya dan percaya diri. 

3. Buku bisa mewariskan ingatan kolektif

ilustrasi buku (Pexels.com/ready made)

Buku juga bisa dilihat sebagai warisan. Ada ilmu, wawasan budaya, bahkan ingatan kolektif di dalamnya. Buku-buku lawas kerap mengingatkan kita pada peristiwa kelam yang pernah terjadi pada masa lalu. Misalnya, bahaya patriarki, perang, dan pemerintah diktator, dan lain sebagainya. Ini artinya membaca adalah salah satu jalan merawat ingatan kolektif dan menjadikannya pelajaran mahal.

Contoh terbaik adalah kasus pemakzulan Yoon Suk Yeol yang dipicu keputusannya mengeluarkan dekrit darurat militer di Korea Selatan. Ini langsung memicu gelombang penolakan besar dari berbagai elemen masyarakat di negeri itu dan berakibat pada dicabutnya status Yoon sebagai presiden serta berlanjut pada proses peradilan. Penolakan ini cukup wajar mengingat warga Korsel punya trauma mendalam soal keterlibatan militer dalam pemerintah dan pembatasan demokrasi karena tragedi Gwangju 1980. Peristiwa itu terus diulang dalam berbagai produk budaya, termasuk buku laris Han Kang yang berjudul Human Acts

Novel dan buku yang mengambil referensi Perang Dunia II, Perang Dingin, kolonialisme, sampai krisis moneter juga bertebaran di luar sana sebagai pengingat kalau kita pernah berada pada masa-masa gelap. Seperti novel The Hunger Games  yang sampai sekarang sering dipakai sebagai rujukan untuk menyampaikan pesan-pesan antipenjajahan, antikapitalisme, dan kemerdekaan. Harapannya, kamu bisa seperti warga Korsel yang secara kolektif berhasil menggagalkan sejarah pahit terulang lagi. 

Penjelasan di atas menjadi bukti bahwa aktivitas membaca adalah melawan. Secara tidak langsung, kegiatan tersebut memiliki manfaat yakni melawan lupa, melawan propaganda dan pernyataan yang menyesatkan, serta melawan kebodohan. . 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Ayu Silawati
EditorDwi Ayu Silawati
Follow Us