ChatGPT Bikin Malas Mikir, Rektor Binus: Anak Harus Tahu Cara Kerjanya

- Riset MIT: ChatGPT membuat otak malas dan menurunkan fungsi kognitif
- AI harus diajarkan kepada peserta didik, jangan sampai dikendalikan oleh teknologi
- Guru atau dosen harus mengubah gaya pembelajaran, buat mahasiswa memunculkan ide
Jakarta, IDN Times - Riset dari MIT (Massachusetts Institute of Technology) menemukan bahwa penggunaan AI secara berlebihan bisa membuat generasi muda lebih malas. Perangkat kecerdasan buatan seperti ChatGPT yang kerap digunakan untuk membantu menyelesaikan tugas pelajar, ternyata memiliki pengaruh yang berbeda bagi proses berpikir individu.
Tentunya, kehadiran AI tak bisa dihindari, terlebih bagi institusi pendidikan. Peserta didik tak lagi merasa asing dengan kemajuan teknologi seperti ChatGPT, bahkan telah menggunakannya untuk menyelesaikan berbagai tugas. Untuk itu, agar penggunaan perangkat kecerdasan buatan sesuai etika dan berintegritas, dibutuhkan bimbingan profesional agar potensi AI dalam mendukung pendidikan tak menumpulkan daya pikir kritis siswa.
1. Riset MIT: terlalu sering pakai ChatGPT bikin otak jadi lebih malas

Riset yang dilakukan oleh MIT menunjukkan bahwa menggunakan produk seperti ChatGPT secara berlebihan, dapat membuat otak penggunanya menjadi lebih pasif dan menurunkan fungsi kognitif. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Nataliya Kosmyna dan tim, menguji dampak penggunaan AI terutama dalam tugas menulis esai.
Dalam riset ini, peserta didik dibagi menjadi tiga kelompok. Yang pertama adalah Brain-only atau tanpa alat bantu, kelompok kedua adalah Search Engine yang sebagian menggunakan mesin pencari seperti Google, dan yang terakhir adalah LLM (Large Language Model). Kelompok LLM mengandalkan ChatGPT sepenuhnya untuk menyelesaikan tugas mereka.
Hasilnya, kelompok LLM menunjukkan memori yang lebih lemah, tingkat aktivitas otak yang lebih rendah, dan tulisan yang kurang orisinal. Kelompok ini juga memungkinkan terkena echo chamber, yakni hanya terpapar informasi yang sejalan dengan keyakinan dan pendapatnya sendiri. Sementara itu, ide yang berlawanan diabaikan. Penggunaan ChatGPT yang lebih masif pada kelompok ini, menunjukkan kinerja yang lebih buruk terkait bahasa dan perilaku. Mereka juga terindikasi lebih malas dan cenderung memilih copy paste pada esai berikutnya.
Sementara untuk kelompok Search Engine yang mengandalkan strategi hybrid, memiliki kontrol regulatif yang menggabungkan kemampuan memilih informasi di internet dengan kontrol informasi.
Berlawanan dengan LLM, kelompok Brain-only menunjukkan penulisan esai yang lebih variatif di semua topik dan kinerja otak yang lebih aktif. Peserta yang tergabung dalam grup ini, menunjukkan konektivitas otak yang lebih tinggi dibanding kelompok lain, terlihat bahwa berbagai bagian otak aktif sekaligus dan saling terhubung. Hasilnya, konten yang diciptakan melalui proses berpikir yang lebih orisinal.
Secara keseluruhan, temuan ini menemukan pandangan bahwa penggunaan alat bantu eksternal seperti AI, turut mengubah kinerja otak dan proses kognitif manusia. Kelompok LLM menunjukkan prestasi yang lebih buruk daripada mereka yang sepenuhnya memanfaatkan otak mereka atau brain only group.
Temuan ini juga menyoroti penggunaan alat eksternal seperti AI dalam praktik pendidikan. Konsekuensi yang ditemukan dalam riset tersebut, jika terlalu sering mengandalkan AI adalah kemampuan berpikir dan mengolah informasi jadi berkurang. Artinya, cara berpikir dan belajar siswa turut terpengaruh oleh intensitas pemanfaatan AI untuk membantu menyelesaikan tugas.
2. AI harus diajarkan kepada peserta didik, jangan sampai dikendalikan oleh teknologi

Era kecerdasan buatan mengubah berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. Tantangan yang dihadapi bukan hanya fokus pada memahami cara menggunakan teknologi tersebut, namun mempersiapkan manusia untuk dapat hidup berdampingan dengannya.
Rektor BINUS University Dr. Nelly, S.Kom., M.M., CSCA menekankan AI harus diajarkan pada peserta didik. Menurutnya, mahasiswa harus memahami cara kerja AI, apa pun jurusannya. Karenanya, BINUS University menghadirkan mata kuliah Foundation of Artificial Intelligence (FoAI) dalam perkuliahan. Hal ini disampaikan oleh Nelly di Program Media Partnership Bina Nusantara di Taiwan, pada Jumat (22/8/25).
Pengaplikasian mata kuliah AI dianggap penting sebagai dasar pemahaman peserta didik terkait perangkat tersebut. "Tujuannya supaya anak itu tahu bagaimana prinsip dan cara kerja AI. Kalau dia tahu, dia bisa memanfaatkan teknologi itu, kemampuan itu untuk kompetensi profesinya dia nanti. Jadi, dia harus menguasai teknologinya supaya dia tidak dikendalikan oleh teknologi. Dia harus yang mengendalikan teknologi itu. Dia harus yang memanfaatkan teknologi. Oleh karena itu, kita harus ajarkan," katanya.
Sebagai akademisi, Nelly berpendapat bahwa AI akan menjadi perangkat yang dapat membantu kerja manusia. Pasalnya, AI menjadi perangkat yang menghimpun sekumpulan informasi dalam teknologi tersebut. Tugas institusi pendidikan adalah mendorong mahasiswa untuk memahami bagaimana memanfaatkan informasi sebanyak itu.
"Kan informasi sudah tersedia, ya sudah, bagaimana mahasiswa menggunakan informasi tersebut, menggunakan idenya. Jadi, pembelajaran itu menjadi lebih interaktif. Ada problemnya ini, dia bisa cari resource-nya kan dengan cepat. Tapi, bagaimana dia menyelesaikan problem itu? Mengungkapkan pemikirannya seperti apa?Jadi, orangnya akan belajar lebih cepat," imbuhnya.
3. Guru atau dosen harus mengubah gaya pembelajaran, buat mahasiswa memunculkan ide

Teknologi AI mendorong pelajar untuk tidak hanya menjadi konsumen informasi, namun juga memiliki kapabilitas untuk mengolahnya menjadi pengetahuan dan ide baru. Keterampilan ini tentu ikut ditunjang oleh kompetensi dosen atau pengajar yang mumpuni di ruang kelas.
Nelly berpandangan, "Gaya mengajarnya harus membuat mahasiswa bicara, mengungkapkan ide, mengungkapkan pemikirannya. Resource-nya boleh ada dari mana saja, jadi gak usah takut."
Pemaparan tersebut selaras dengan pandangan Houman Harouni, Dosen Pendidikan di Harvard Graduate School of Education pada 2023. Houman menyebutkan pendidik harus membantu pelajar untuk menghadapi realitas dan mengarahkan penggunaan perangkat ini, tidak mengabaikan kecerdasan buatan.
Pengajar juga dapat mendorong peserta didik untuk menemukan peluang lain yang masih terbuka di luar perangkat teknologi. Houman menyebut siswa perlu mengajukan pertanyaan yang tidak bisa dilakukan oleh kecerdasan buatan. Misalnya, mengkritisi pertanyaan, mengembangkan kerangka berpikir, serta mempertanyakan lagi jawaban yang diberikan oleh AI.
Di sisi lain, kecerdasan buatan dikhawatirkan akan menciptakan kebiasaan untuk mencontek bagi siswa dan menghindar dari proses berpikir yang kompleks. Namun, Houman menyebutkan perangkat seperti ChatGPT seharusnya memberi motivasi bagi pengajar untuk mengubah bentuk tugas yang diberikan pada siswa. Dengan demikian, tenaga profesional bisa membantu peserta didik memanfaatkan AI secara lebih bijak dan tetap menjunjung integritas.