Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kesalahan Umum Saat Edukasi Literasi, Sering Gak Disadari!

ilustrasi seorang ibu membacakan buku anaknya (freepik.com/freepik)
Intinya sih...
  • Niat baik dalam mendorong literasi, tetapi pendekatan kurang tepat
  • Menuntut hasil instan dan pendekatan yang terlalu menekan dapat membuat belajar terasa seperti beban
  • Pendekatan satu arah, kurang relevan dengan kehidupan nyata, dan bahasa teknis menjadi hambatan dalam edukasi literasi

Mendorong literasi, baik literasi baca-tulis, media, digital, hingga finansial, udah jadi agenda penting di mana-mana. Banyak sekolah, komunitas, bahkan orang tua mulai aktif mengenalkan berbagai bentuk literasi sejak dini. Tujuannya tentu mulia: biar generasi sekarang makin kritis, cerdas, dan mandiri menghadapi dunia yang serba cepat.

Tapi sayangnya, dalam praktiknya, masih banyak yang keliru saat menyampaikan edukasi soal literasi. Niatnya mau bantu, tapi karena pendekatannya salah, justru bikin orang malas belajar atau salah paham tentang makna literasi itu sendiri. Biar kamu gak jatuh ke lubang yang sama, ini dia lima kesalahan umum saat edukasi literasi yang sering gak disadari!

1. Terlalu fokus pada hasil, lupa proses belajar itu penting

ilustrasi siswa mendapatkan nilai (pexels.com/RDNE Stock project)

Salah satu kesalahan paling umum adalah menuntut hasil instan. Misalnya, ingin anak cepat bisa baca atau langsung ngerti konsep literasi digital tanpa membangun kebiasaan dasar dulu. Padahal, literasi itu soal proses yang harus dibangun perlahan lewat kebiasaan harian.

Kalau pendekatannya terlalu menekan, justru bikin anak atau peserta edukasi jadi tertekan dan gak menikmati proses belajarnya. Yang ada, literasi malah terasa seperti beban, bukan kebutuhan.

2. Menganggap semua orang belajar dengan cara yang sama

ilustrasi seseorang belajar bahasa (pexels.com/Mikhail Nilov)

Gak semua orang cocok belajar dari buku teks. Ada yang lebih nyaman lewat video, diskusi, praktik langsung, atau cerita visual. Tapi banyak yang masih mengedukasi literasi dengan pendekatan satu arah: ceramah atau tugas membaca yang panjang dan membosankan.

Padahal, memahami gaya belajar audiens itu kunci. Edukasi literasi yang efektif justru yang fleksibel dan adaptif, bukan terpaku pada satu metode.

3. Gak relevan dengan kehidupan sehari-hari

ilustrasi seseorang ibu bercerita (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Banyak program literasi gagal menarik perhatian karena terlalu abstrak atau gak nyambung dengan realitas peserta. Misalnya, ngajarin literasi finansial ke anak-anak tanpa contoh konkret seperti mengatur uang jajan atau bikin anggaran sederhana.

Kalau literasi gak dibawa ke konteks kehidupan nyata, orang cenderung merasa gak butuh dan akhirnya ogah terlibat. Padahal, kekuatan literasi justru terletak pada penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

4. Menggunakan bahasa yang terlalu teknis dan sulit dipahami

ilustrasi seseorang siswa (pexels.com/Gustavo Fring)

Edukasi literasi seharusnya menjembatani pemahaman, bukan bikin makin bingung. Namun biasanya, bahasa yang dipakai terlalu teknis, akademis, atau jauh dari keseharian. Akibatnya, orang yang sebenarnya ingin belajar malah merasa minder dan gak paham harus mulai dari mana.

Kalau ingin edukasi literasi berhasil, gunakan bahasa yang ringan, relatable, dan penuh contoh konkret. Dengan begitu, siapa pun bisa merasa dilibatkan dan termotivasi untuk terus belajar.

5. Gak memberi ruang untuk berpikir kritis atau bertanya balik

ilustrasi seseorang siswa (pexels.com/Ron Lach)

Tujuan utama literasi adalah melatih kemampuan berpikir kritis. Tapi ironisnya, banyak edukasi literasi justru berlangsung satu arah tanpa ruang diskusi. Peserta diminta menyerap informasi tanpa kesempatan untuk bertanya, berdialog, atau mempertanyakan isi materi.

Padahal, proses bertanya dan berdiskusi itu bagian penting dari literasi. Kalau ruang itu gak dibuka, orang cenderung jadi pasif dan cuma menerima informasi tanpa mengolahnya lebih dalam.

Edukasi literasi yang baik gak cukup hanya dengan niat dan materi yang benar, tapi juga butuh pendekatan yang tepat dan empatik. Jangan sampai semangat menyebarkan literasi malah terhambat karena cara penyampaiannya keliru.

Dengan menghindari lima kesalahan umum diatas, kamu bisa bantu menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif, menyenangkan, dan berdampak. Ingat, literasi bukan cuma tentang tahu banyak hal, tapi juga soal bagaimana kita mengolah, memahami, dan menggunakan informasi dengan bijak dalam kehidupan sehari-hari.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us