- Guru pendamping : Erliana Siregar, S.Pd., M.Hum
- Penulis : Safira Ruth Claudia Siagian
- Desainer Visual : Luiztama Gregory Porung, Naomi Sarah Graciella Hutabarat, Yuriko Anggita Manullang
- Fotografer : Josh Richi Estefan Lumban Gaol
- Videografer : Jalu Inggita Sasmaya
[MADING] Bumi Memanas, Haruskah Kita Diam?

Halo, Kawan! Kami tim Naraswara dari SMA Negeri 1 Medan dan selamat datang di artikel mading kami!
Kami akan membahas mengenai Perubahan Iklim (Climate Change) yang saat ini menjadi isu global dan semakin dirasakan dampaknya. Suhu bumi yang meningkat, pola cuaca yang tidak menentu, mencairnya es di kutub, hingga berkurangnya keanekaragaman hayati merupakan beberapa tanda nyata dari perubahan iklim. Melalui karya ini kami berharap dapat menyalurkan informasi, pesan, dan awareness atau kesadaran mengenai perubahan iklim yang mulai terasa dampaknya dan hal-hal kecil yang memengaruhinya.
Bersama Naranda dan Swandi pada selasa pagi yang cerah di kota Jakarta, mari kita bangkitkan kesadaran akan kondisi rumah kita, yaitu bumi tercinta.
Eco-warrior mode, on!
Tim Redaksi kami terdiri dari :
Karya ini dibuat untuk keperluan Kompetisi Mading Digital IDN Times Xplore 2025. Mading ini ditampilkan apa adanya tanpa proses penyuntingan dari redaksi IDN Times.
Esai : Latar Belakang

"Nara, jalan jalan di kota dulu yuk, mumpung masih pagi, sebelum ngampus ntar siang" Ajak Swandi sambil mengambil tas merah muda kesayangannya
"Ayuk, aku juga suntuk di kos mulu" Jawab Naranda bersemangat.
Di pagi Hari, saat hendak berangkat sekolah ataupun kerja, sering kali kita disapa oleh udara yang sudah pengap dan hawa yang panas disebabkan oleh berbagai kendaraan yang menggunakan jalan. Di sudut kota, tumpukan sampah semakin besar. Sungai yang dulu mengalir jernih kini berubah warna. Laut yang dulu jadi kebanggaan penuh ikan kini dipenuhi plastik. Semua ini bukan hanya sekadar cerita atau berita, melainkan kenyataan sehari-hari yang mengakibatkan dan menunjukkan fakta bahwa bumi kita sedang berubah.
Perubahan iklim adalah istilah yang sering kita dengar, tetapi dampaknya sudah kita rasakan. Dalam beberapa dekade terakhir, suhu rata-rata global telah meningkat lebih dari 1°C dibanding era pra-industri. Di Indonesia sendiri, suhu rata-rata sudah naik sekitar 0,8°C dibandingkan periode 1981–2010. Konsentrasi karbon dioksida di atmosfer pun terus melonjak: pada 2022 berada di kisaran 417 ppm, dan pada 2023 sudah menembus 421 ppm—angka tertinggi sepanjang sejarah pencatatan modern. Musim jadi tak terduga, hujan datang tak menentu, dan bencana alam makin sering terjadi. Salah satu faktor yang mempercepat perubahan iklim, yang sering kita anggap sepele, adalah persoalan sampah.
Setiap kantong plastik, botol minuman, dan sisa makanan yang kita buang memiliki dampak. Saat ini, sekitar 60% sampah rumah tangga di Indonesia masih berakhir di tempat pembuangan akhir tanpa pengelolaan yang baik. Sekitar 30–40% di antaranya berupa sampah organik, yang saat membusuk menghasilkan gas metana—gas rumah kaca yang kekuatannya 25 kali lebih besar dibanding karbon dioksida. Sementara itu, produksi plastik nasional mencapai sekitar 11 juta ton per tahun, dan 3,4 juta ton di antaranya bocor ke lingkungan serta laut. Sampah plastik yang tidak terurai bisa bertahan ratusan tahun, menyumbat tanah, mencemari laut, dan akhirnya masuk ke rantai makanan kita dalam bentuk mikroplastik.
Ketika hujan deras turun, saluran air yang tersumbat sampah menyebabkan banjir. Setiap tahun, jutaan ton sampah plastik mengalir ke sungai dan laut, membuat ekosistem rusak dan mengganggu keseimbangan alam. Banjir bukan hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga kesehatan: air kotor membawa penyakit, serangga pembawa penyakit berkembang lebih cepat, dan masyarakat yang terdampak kehilangan akses ke air bersih. Sampah yang dibakar sembarangan menambah polusi udara, menghasilkan karbon dioksida dan zat berbahaya lain yang kita hirup setiap hari.
Semua ini saling terhubung dalam lingkaran besar. Perubahan iklim memperburuk kondisi pengelolaan sampah: banjir lebih sering, lahan pembuangan meluap, dan panas mempercepat pembusukan. Di sisi lain, sampah yang tidak terkelola mempercepat perubahan iklim: menghasilkan gas rumah kaca, memicu bencana, dan mengancam ekosistem. Kita berada di tengah lingkaran ini — baik sebagai penyebab maupun korban.
Jika kita tidak segera mengubah kebiasaan, keadaan ini akan terus memburuk. Kita mungkin tidak lagi mengenal udara pagi yang sejuk, kita akan kehilangan hutan yang hijau, dan laut yang kita banggakan akan menjadi lautan plastik. Bumi bukan sekadar tempat kita tinggal; ia adalah rumah satu-satunya yang kita miliki. Saat bumi memanas, kita pun ikut menderita.
"Nar, masih jam 8 pagi aja udah panas aja ni kota, orang orang bisa gak sih gausah naik mobil pagi-pagi? Bus kan ada tuh..." Keluh Swandi sambil mengambil kunci motor dalam tasnya.
"Swandi, bukannya lo juga suka naik motor tiap pagi?" Jawab Naranda sambil tertawa kecil. Pagi yang menarik bagi dua mahasiswi ini.
Esai : Kesimpulan

"Bukan gue nyalahin lo sepenuhnya ya" Kata Naranda beberapa menit kemudian.
"Iya, gue tau, gue juga males jalan kaki, apalagi nunggu bus" Kata Swandi pelan, sedikit rasa bersalah timbul di hatinya. "Yaudah deh, yuk ngopi aja disana"
Masalah sampah dan perubahan iklim terlihat rumit, tetapi bukan berarti kita tidak bisa melakukan apa-apa. Perubahan besar selalu dimulai dari tindakan kecil yang konsisten. Kita juga perlu lebih bijak dalam pola konsumsi. Setiap barang yang kita beli memiliki jejak karbon dari proses produksi, transportasi, hingga akhirnya menjadi sampah.
Produksi plastik global terus meningkat, dan di Indonesia sendiri sudah mencapai belasan juta ton per tahun. Dengan membeli seperlunya, memperbaiki barang yang rusak daripada langsung membuangnya, dan memilih produk ramah lingkungan, kita ikut menekan emisi dan mengurangi sampah.
Kita juga bisa mendukung kebijakan lingkungan di tingkat sekolah, kampus, dan masyarakat. Misalnya, mengadakan bank sampah, program penanaman pohon, atau kampanye kesadaran lingkungan. Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga kebersihan tetapi juga menumbuhkan budaya peduli lingkungan sejak dini. Teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan kesadaran melalui konten kreatif yang mengedukasi dan menginspirasi.
"Penting bagi anak muda untuk mau melakukan aksi-aksi nyata dalam pencegahan perubahan iklim" - Dwikorita Karnawati
Bumi memanas bukan karena ia ingin, melainkan karena kita memaksanya. Setiap ton sampah organik yang tidak dikelola dengan baik akan melepas metana yang memanaskan bumi lebih cepat. Namun di balik kenyataan pahit itu, selalu ada harapan: kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki. Jika kita bergerak bersama, bumi yang bersih, hijau, dan sejuk bukan sekadar kenangan tetapi masa depan yang nyata.
Diam adalah pilihan, tetapi itu berarti membiarkan bumi semakin sakit. Bergerak juga pilihan, dan itu berarti kita memilih untuk melindungi rumah kita bersama. Kita tidak perlu menunggu orang lain untuk memulai. Kita bisa mulai dari rumah sendiri: mengurangi sampah, tidak membuang sembarangan, dan menjadi contoh bagi orang sekitar.
Bumi memanas, tetapi kita tidak harus diam. Masa depan bumi ada di tangan kita — dimulai dari sampah yang kita hasilkan hari ini. Bayangkan jika setiap orang mengubah kebiasaan sederhana ini; kita bukan hanya menjaga bumi untuk diri sendiri, tetapi juga untuk anak cucu kita kelak. Pilihannya ada di kita: membiarkan bumi memanas, atau ikut mendinginkannnya kembali.
"Swandi, mau bantu gue gak nanam pohon di taman komplek dekat kos ntar?" Kata Naranda sambil mengambil kopi yang mereka pesan.
"Wow, optimis banget lo, yaudah gue ikut." Kata Swandi sambil tertawa "Akhir akhir ini lo peduli lingkungan banget ya, apa jangan-jangan lo lagi deket cowo teknik lingkungan?"
Naranda tertawa "Gue cuma gak mau anak gue ntar kepanasan di kota ini gara-gara gue tutup telinga sama rintih lirih bumi."
Swandi diam. Dasar Naranda, anak sastra berhati emas yang peduli dengan kondisi kehidupan sekelilingnya. Atau, hanya Swandi saja yang terbutakan kenyamanannya selama ini?
Infografik

Infografis kami membahas fenomena pemanasan global dan perubahan iklim yang terjadi secara jangka panjang. Tertera jelas bahwa suhu permukaan Bumi terus meningkat dari tahun 2011 hingga 2021. Dampak yang ditimbulkan meliputi mencairnya es di kutub, cuaca ekstrem, krisis pangan, kerusakan ekosistem, hingga gangguan kesehatan manusia. Situasi ini menegaskan perlunya kesadaran kolektif untuk menghadapi krisis iklim.
Kami juga menawarkan solusi melalui ajakan “BERANI” yang meliputi: bersatu menghadapi krisis iklim, efisiensi energi, merawat lingkungan, aksi nyata seperti menanam pohon dan menggunakan energi terbarukan, mengurangi plastik sekali pakai, serta menjaga iklim dengan gaya hidup ramah lingkungan. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa setiap individu dapat berkontribusi nyata untuk melindungi bumi demi generasi mendatang.
Rubrik Diskusi : Infografik Pertamina

Pertamina memiliki upaya dalam mendukung keberlanjutan lingkungan melalui konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Reduce dilakukan dengan efisiensi energi, pengembangan energi terbarukan, serta program pengurangan limbah dan emisi karbon. Reuse diwujudkan dengan pemakaian ulang peralatan industri dan pengelolaan aset berbasis ekonomi sirkular. Sementara itu, Recycle mencakup pengolahan limbah B3 dan non-B3, inovasi daur ulang limbah jadi bahan alternatif, serta pemanfaatan fasilitas pengolahan air limbah.
Pertamina juga memiliki pencapaian dalam aspek keberlanjutan, seperti peringkat ESG 2024 dengan risiko menengah dan predikat baik untuk Water Security dan Climate Change. Pertamina juga mencatat penjualan kredit karbon sebesar 380.183 ton CO₂e, reduksi emisi gas rumah kaca hingga 1,7 juta ton CO₂e, serta pemanfaatan total energi bersih 2.502,12 MW. Skor tata kelola perusahaan dari IFC juga berada pada level kepemimpinan (Leadership).
Foto Bercerita

Perjalanan kami dalam berkarya dimulai dengan diskusi-diskusi yang kami lakukan, untuk menumpahkan dan menampung ide tiap pikiran. Foto ini menunjukkan sisi Naraswara di balik layar. Kami berdiskusi, merancang konsep, hingga turun langsung ke lapangan untuk membuat video bertema climate change. Dengan penuh kolaborasi dan kreativitas, tim kamii membuktikan bahwa kepedulian lingkungan bisa lahir dari ide-ide anak muda.
Foto Bercerita

Setelah berdiskusi, kami pergi ke lokasi yang disepakati. Foto ini diambil oleh kami saat melakukan pengamatan langsung di TPA Terjun, Medan Marelan. Gunungan sampah yang menumpuk, mulai dari plastik, sandal bekas, hingga sisa makanan, menunjukkan nyata bagaimana limbah manusia berdampak pada lingkungan. Hewan-hewan di sekitar terlihat mencari makan di tumpukan sampah, menjadi simbol betapa rapuhnya ekosistem yang terpaksa beradaptasi dengan limbah. Dari sini, Naraswara ingin menyuarakan keresahan bumi lewat dokumentasi yang menyentuh hati.
Special Section For You, From Us : Apa itu 'Naraswara?'
Kami adalah Tim Naraswara, gabungan semangat muda yang ingin menyuarakan gagasan lewat tulisan dan kreativitas. Nama “Naraswara” kami ambil dari kata narasi dan suara, yang mencerminkan identitas kami sebagai penulis dan penyampai pesan. Kami percaya setiap cerita punya kekuatan untuk menggerakkan pikiran, dan setiap suara layak untuk didengar.
Nama karakter Naranda dan Swandi juga kami ambil dari nama tim kami, Naraswara.
Lewat karya-karya kami, Naraswara berusaha menghadirkan cerita yang inspiratif, fakta yang informatif, dan ide yang segar. Seperti harmoni antara narasi dan suara, kami ingin membawa energi positif dan semangat kolaborasi ke dalam setiap karya yang kami buat.
Dengan pembahasan dan karya kami ini, kami berharap dapat meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya menjaga lingkungan serta mengurangi dampak Climate Change atau Perubahan Iklim. Semoga melalui langkah-langkah kecil, inovasi kreatif, dan kepedulian bersama, kita mampu menciptakan masa depan yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang. Jangan diam saja! Mari mulai dari diri sendiri, untuk kehidupan generasi sekarang, dan masa yang akan datang di bumi.
Muda beraksi, Selamatkan Bumi!