Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Novel tentang Perlawanan Rakyat Sipil, Merinding Bacanya!

novel Space Invaders dan Human Acts (graywolfpress.org | granta.com)
novel Space Invaders dan Human Acts (graywolfpress.org | granta.com)
Intinya sih...
  • Partisipasi politik melalui petisi dan aksi protes dianggap jalur alternatif yang tidak ilegal
  • Aksi protes memiliki dampak serius dalam mengubah konstelasi politik di beberapa negara
  • Novel tentang perlawanan rakyat sipil seperti "Human Acts" dan "Space Invaders" mengusik moral dan dilematis
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Ada dua macam partisipasi politik, yakni partisipasi konvensional, seperti pemilu, dan satu lagi yang bersifat nonkonvensional, yakni melancarkan petisi dan aksi protes. Menariknya, partisipasi nonkonvensional itu sering dilihat dari dua kacamata berbeda. Mereka dianggap sebagai jalur alternatif, disruptif, tetapi tidak bisa disebut ilegal. Bahkan di negara demokrasi, protes adalah hak warga negara yang dilindungi undang-undang. 

Dalam banyak kasus, protes atau demonstrasi juga punya dampak yang gak main-main. Banyak aksi protes yang berhasil mengubah konstelasi politik di sebuah negara seperti Revolusi Prancis 1789, Demo Pelajar Prancis 1968, Pemberontakan Gwangju 1980, Tiananmen Square 1989, Reformasi 1998, dan lain sebagainya. 

Tak heran kalau protes pun jadi latar yang menawan untuk sebuah novel. Meski kisah dan tokohnya fiktif, latar belakang politik dan aksi protesnya nyata. Bisa jadi jalan untuk belajar sejarah, berikut ini novel tentang perlawanan rakyat sipil yang bikin kamu tergugah!

1. Human Acts (Han Kang)

Human Acts (granta.com)
Human Acts (granta.com)

Kamu bisa mulai dengan membaca novela karya Han Kang yang berjudul Human Acts. Berlatarkan Pemberontakan Gwangju 1980 yang diprakarsai mahasiswa, novel berkutat pada tragedi kematian bocah tak berdosa bernama Dong Ho karena aksi brutal aparat.

Novel kemudian mengulik orang-orang yang terdampak kematian Dong Ho, seperti sang ibu, bahkan beberapa saksi dan jurnalis. Novel ini mengusik moral dan dilematis, karena tak sedikit orang di sekitar Dong Ho yang memilih bungkam dan cari aman di tengah ancaman penguasa. 

2. Space Invaders (Nona Fernandez)

Space Invaders (graywolfpress.org)
Space Invaders (graywolfpress.org)

Space Invaders akan membawamu menyusuri kehidupan sekawanan anak muda yang besar dan hidup pada era diktator Augusto Pinochet (Chile 1980-an). Hidup mereka terdisrupsi kehadiran Estrella yang ayahnya ternyata bagian dari rezim Pinochet. Fakta bahwa sebagian dari mereka akhirnya bergabung dalam aksi protes menuntut diturunkannya Pinochet, membuat novel ini merepresentasikan proses transisi dari pongahnya anak-anak menuju fase sadar politik.

3. The Night Watchman (Louise Erdrich)

The Night Watchman (harpercollins.com)
The Night Watchman (harpercollins.com)

Terinspirasi kisah nyata kakeknya sendiri yang seorang aktivis pribumi, Erdrich mencoba menceritakan ulang perjuangan warga pribumi Chippewa mempertahankan hak atas tanah leluhur mereka, Turtle Mountain. Pada 1950-an, Kongres Amerika sempat merilis proposal undang-undang yang berimplikasi besar terhadap eksistensi dan jaminan atas hak mereka. Erdrich kemudian menggunakan beberapa tokoh fiktif untuk menceritakan perjuangan etnik Chippewa mengorganisasi gerakan untuk menolak regulasi baru itu.

4. Do Not Say We Have Nothing (Madeleine Thien)

Do Not Say We Have Nothing (granta.com)
Do Not Say We Have Nothing (granta.com)

Mengulik kisah kompleks seorang perempuan imigran China di Kanada dengan keluarganya, Do Not Say We Have Nothing menggunakan beberapa peristiwa penting dalam sejarah China sebagai latarnya. Mulai dari Revolusi Budaya sampai Protes Tiananmen Square 1989.

Seiring tumbuh dewasa, sang lakon mengulik alasan kematian ayahnya dan eksilnya sang bibi. Akarnya masih berkutat pada Mao Zedong dan gebrakan-gebrakannya yang tak kenal ampun. 

5. Catching Fire (Suzanne Collins)

The Hunger Games: Catching Fire (scholastic.com)
The Hunger Games: Catching Fire (scholastic.com)

Tak hanya fiksi sejarah, novel distopia Catching Fire yang merupakan sekuel dari The Hunger Games juga membahas perlawanan rakyat sipil. Melanjutkan kisah The Hunger Games soal sebuah negara yang pemerintahnya tersentralisasi dan pembagian bebannya tak rata, pada buku keduanya itu Collins mulai menggambarkan kekesalan warga di distrik-distrik marginal yang tereskalasi jadi gerakan-gerakan protes. Lakon kita, Katniss Everdeen mau tak mau jadi simbol perlawanan warga yang muak dengan keserakahan orang-orang di ibu kota Capitol. 

Sering dianggap tak efektif dan disrupsi kecil belaka, nyatanya gelombang protes punya riwayat yang gak bisa disepelekan. Beberapa peristiwa besar bermula dari aksi perlawanan rakyat sipil yang masif dan konsisten. Novel-novel di atas jadi bukti dokumentasinya. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Naufal Al Rahman
EditorNaufal Al Rahman
Follow Us