Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Peran Font dalam Film, Bagian Krusial dari Branding

poster film Anora (dok. NEON/Anora)
poster film Anora (dok. NEON/Anora)

Naskah dan akting memang bagian penting dalam sebuah film. Namun, elemen estetik seperti kostum, tata rias, latar, dan properti gak kalah krusialnya. Begitu pula dengan penggunaan typeface atau font. Biasanya font kita temukan di poster, judul, dan kredit, tetapi tak terkecuali properti. 

Dulu, font sebatas dipakai untuk tujuan praktikal seperti menampilkan informasi berupa judul dan kredit. Ini mengingat opsi font yang masih terbatas. Namun, seiring berkembangnya zaman, font menjelma jadi simbol yang kompleks untuk sebuah film. Tipe informasi yang mereka tawarkan jadi lebih beragam dan berlapis. Apa saja? 

1. Elemen untuk mengidentifikasi genre

poster film Everything Everywhere All At Once (dok. A24/Everything Everywhere All At Once)
poster film Everything Everywhere All At Once (dok. A24/Everything Everywhere All At Once)

Font adalah cara paling mudah untuk menempatkan informasi tentang genre dan gaya film. Contoh paling mudah adalah film-film horor yang biasanya akan memakai font dengan efek darah menetes atau bergaya gothic. Film-film aksi umumnya akan menggunakan font yang bergaris tegas dan tebal. Sementara, film-film romantis kerap memakai typeface dengan kait yang memberikan efek feminin dan elegan.

Di sisi lain, film-film animasi sering dikaitkan dengan font-font bernuansa playful dan cair. Tentu, ini bukan pakem yang harus dituruti. Ada kalanya film horor menggunakan font minimalis dan bold, terutama yang memang dibuat dengan konsep minimalis modern seperti sinema-sinema horor independen kontemporer macam Longlegs (2024) dan The Killing of the Sacred Deer (2017). 

2. Bagian integral dari sebuah film

cuplikan film The Substance (dok. MUBI/The Substance)
cuplikan film The Substance (dok. MUBI/The Substance)

Beberapa sineas juga tampak menyertakan font sebagai bagian integral dari film secara keseluruhan. Contoh termudahnya adalah The Substance (2024) yang font judulnya juga bisa kamu temukan dalam berbagai properti film. Coralie Fargeat, sang sutradara bekerja sama dengan studio desain asal Prancis, Fugu Production untuk membuat custom font tersebut.

Font ini sebenarnya mirip dengan typeface gratis di Google Fonts yang bernama Anton. Namun, tampak ada beberapa modifikasi dan penyesuaian di sana-sini untuk menghasilkan sebuah typeface baru yang khas. Belum banyak film yang menempatkan peran font secara terpadu seperti ini.

3. Identitas sebuah brand dan franchise-nya

poster serial Lego Star Wars: Rebuild the Galaxy (dok. Lucasfilm/Lego Star Wars: Rebuild the Galaxy)
poster serial Lego Star Wars: Rebuild the Galaxy (dok. Lucasfilm/Lego Star Wars: Rebuild the Galaxy)

Font juga bisa dijadikan identitas sebuah brand atau perusahaan tertentu. Star Wars beserta font dan slogannya sudah didaftarkan sebagai merek dagang yang sah sehingga tak bisa digunakan sembarangan oleh pihak lain. Begitu pula dengan film Barbie (2023), terafiliasi dengan Mattel dan akhirnya menggunakan typeface sama dengan yang biasa dipakai perusahaan tersebut untuk kemasan produk boneka mereka. Hal serupa bisa kamu temukan dalam film Harry Potter, Godfather, dan Indiana Jones. 

Ada yang jelas dan tak bisa diubah-ubah, ada pula brand yang menempatkan signatur khas mereka dengan cara yang lebih tak kentara. Distributor film A24 dan NEON misalnya. A24 sering menggunakan typeface minimalis modern, termasuk untuk film horor. Ini sesuai dengan perusahaan mereka yang identik dengan film-film independen minimalis. Sementara, NEON sering membuat poster berwarna mencolok atau memberikan efek menyala seperti lampu neon pada typeface.

4. Ciri khas sutradara

poster film The Florida Project dan Anora (dok. A24/The Florida Project | dok. NEON/Anora)
poster film The Florida Project dan Anora (dok. A24/The Florida Project | dok. NEON/Anora)

Font juga bisa jadi ciri khas sutradara, lho. Sean Baker misalnya sudah beberapa kali menggunakan font gratis bernama Aguafina Script Pro yang dikembangkan studio desain asal Argentina, Sudtipos. Font itu ia pakai sejak film Tangerine (2015), dilanjut The Florida Project (2017), Red Rocket (2021), dan terbaru Anora (2024). Menariknya, keempat film itu dirilisnya lewat distributor yang berbeda-beda. 

Sutradara lain yang sering memakai font serupa untuk karya sinematik mereka adalah James Cameron (Papyrus) dan Ingmar Bergman (Florida). Tentu tidak semua sutradara punya privilese dan idealisme ini, lagipula konsistensi penggunaan font tidak berbanding lurus dengan konsistensi berkarya. Yorgos Lanthimos beberapa kali mengganti typeface, tetapi gaya sinematiknya tetap tampak jelas. 

5. Menunjukkan referensi kultural

poster film Apocalypse Now (dok. American Zoetrope/Apocalypse Now)
poster film Apocalypse Now (dok. American Zoetrope/Apocalypse Now)

Beberapa film bisa saja menggunakan referensi kultural untuk memilih fontApocalypse Now, Prince of Persia, Aladdin, sampai Moana adalah beberapa contohnya. Meski umum dilakukan, belakangan penggunaan budaya sebagai rujukan mulai dihindari. Ini karena dalam praktiknya, kebanyakan masih bertumpu pada stereotip dan stigma ketimbang representasi yang proporsional. Prince of Persia misalnya dikritik karena sarat whitewashing (merekrut aktor kulit putih untuk memerankan karakter etnik tertentu) dan adegan-adegan stereotipikal. 

Berkaca dari pengalaman itu, sepertinya studio film memilih untuk meninggalkan opsi ini saat memutuskan font yang akan dipakai. Film-film dengan referensi kultural kental saja memilih untuk pakai font netral. Lihat saja Crazy Rich Asians (2018) dan The Farewell (2019). Serial Reservation Dogs (2021) yang berkutat di sebuah kawasan reservasi khusus penduduk pribumi pun memilih font bernuansa grafiti. Artinya mereka memilih anak muda sebagai titik beratnya, ketimbang budaya. 

Seperti yang ditulis Lei Wang dalam jurnal berjudul The Art of Font Design in Movie Posters, dari yang hanya mengemban informasi sederhana dalam film, font kini adalah sebuah elemen seni independen yang menyimpan satu set informasi. Ia bisa berdiri sendiri sebagai identitas perusahaan, tokoh, hingga genre. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hella Pristiwa
EditorHella Pristiwa
Follow Us