5 Alasan Logis untuk Tidak Menjadi Orangtua yang Gila Hormat dari Anak

Mengapa sih orangtua dan anak bisa sering bertengkar dalam keseharian? Salah satunya, disebabkan oleh tipe orangtua yang gila hormat dari anaknya, lho. Di satu sisi, orangtua mungkin tak sadar akan sikap dan tindakannya yang gila hormat. Namun, sang anak yang merasakannya itu tak kuat hingga menyebabkan terjadinya pertengkaran.
Di sisi lain, ada juga orangtua yang memang sadar dirinya gila hormat dari sang anak. Hal ini justru dimanfaatkan untuk bisa mengatur kehidupan sang anak dengan seenaknya, pun mendapatkan keuntungan atas kehidupan anak.
Semua itu terjadi atas dasar merasa punya kehormatan dan harus dihormati anak atas semua ucapan dan perintahnya. Tentu, tipe orangtua yang seperti ini membuat akan tersulut emosionalnya hingga terjadi pertengkaran. Berikut ulasan selengkapnya.
1. Dijadikan tameng untuk melindungi orangtua dari kesalahannya

Sebagai orangtua sering kali merasa tak sadar telah berbuat kesalahan terhadap anaknya. Oleh karena merasa terhormat sebagai orangtua, kerap kali seenaknya mulai dari sikap, tindakan, hingga tutur katanya. Sebagai anak yang menyadari kesalahan orangtua terhadapnya, manusiawi bukan untuk merasa kesal? Inilah awal mula pemicu pertengkaran.
Apalagi, jika ternyata orangtua sadar telah berbuat salah. Hanya saja, ego dan gengsinya yang setinggi langit bikin enggan meminta maaf kepada sang anak. Lagi-lagi, orangtua tipe ini merasa terhormat dan harus dihormati sang anak. Sehingga, merasa tak perlu meminta maaf saat berbuat salah kepada anaknya.
2. Kerap ingin mendapatkan prioritas lebih dengan kehormatannya

Selayaknya menjadi seorang bos yang harus dihormati di lingkungan pekerjaan. Tentunya, ketika sang bos tengah berbicara, maka semua karyawan wajib menyimak secara penuh. Sebaliknya, ketika sang anak buah tengah berpendapat, bos bisa kapan saja menyela, memberhentikan, bahkan menolak pendapatnya sekalipun.
Begitu pula dengan orangtua yang gila hormat dari anaknya. Ia akan merasa punya banyak prioritas lebih atas kehidupan sang anak. Ingin bebas mengatur kehidupan anak, pun anak harus menuruti dengan setiran orangtuanya.
Semua hal itu berlandaskan atas dasar anak harus hormat dengan orangtua. Jadi, menuruti perintah dan keinginan orangtua ialah wujud hormat, terlebih baktinya kepada sang orangtua. Mungkin, sekali dua kali, atau saat perintahnya itu demi kebaikan anak yang benar-benar dirasakan hingga disetujui sang anak, ya tak masalah.
Namun, akan jadi masalah jika orangtua terus memaksakan kehendaknya atas kehidupan anak. Hanya atas dasar keputusannya itu harus dihormati anaknya dengan cara diterima mentah-mentah. Orangtua yang kurang bersikap terbuka atas keinginan anaknya inilah yang kerap menyebabkan pertengkaran.
3. Beban bagi anak untuk membawa wibawa dan gengsi orangtua

Pernahkah kamu merasa muak dengan sosok orang yang bermuka dua alias munafik? Tentu tak ada yang menyukainya, ya. Sayangnya, sebagai anak kerap harus tetap kuat membawa wibawa dan menahan rasa gengsi yang dimiliki oleh orangtuanya.
Ada segelintir orangtua yang begitu mementingkan harga dirinya di depan publik dibandingkan dengan kebahagiaan serta kedamaian keluarganya, termasuk sang anak. Orangtua dengan tipe ini merasa anak harus tunduk terhadap serta turut membantu jaga nama baik dirinya yang tak jarang jauh berbeda dari yang tampak di permukaan.
Parahnya, anak dipaksa menjadi standar kesuksesan yang dianut oleh dunia sosial. Ya, demi menuruti gengsi serta untuk diakui luar biasa hebat oleh lingkungannya, orangtua tipe ini rela menjual kebahagiaan sejati anaknya.
Ucapnya, demi kebaikan anak, memaksa anak sukses dengan jalannya, tanpa pernah bertanya apa keinginan anaknya. Padahal, aslinya demi memenuhi cita-cita kesuksesan yang ada dalam imajinasi orangtua sesuai standar yang ada di masyarakat.
Kebohongan kata pun menjadi diri utama orangtua dengan tipe yang satu ini. Demi menjaga nama baiknya, ia tak segan untuk mengarang cerita dengan kebahagiaan hingga kesuksesan yang diraih oleh keluarganya, termasuk sang anak.
Bukankah melelahkan jika memiliki orangtua yang gila hormat akan harga dirinya seperti ini?
4. Anak generasi sekarang menuntut dihargai yang setara dengan orangtuanya

Sadar atau tidak, anak pada generasi dahulu dengan sekarang itu sudah begitu jauh perbedaannya. Hal tersebut sejalan dengan perkembangan dunia yang semakin kompleks.
Begitu pula dengan pemikiran anak generasi sekarang yang jauh lebih maju. Dengan begitu, ia tak akan suka dituntut untuk selalu hormat kepada orangtuanya dengan menuruti semua omongannya.
Sederhananya, anak zaman dulu ketika dilarang, tentu akan langsung nurut, tanpa banyak bicara langsung setuju saja. Beda halnya dengan anak zaman sekarang. Yakni, saat dilarang tentu tak bisa langsung diterima, melainkan dicerna terlebih dahulu.
Secara lebih lanjutnya, ingin sang orangtua memberikan penjelasan kenapa dilarang. Setelah diskusi dua arah dan ketemu titik tengahnya, barulah itu yang akan dilakukan anak atas kesepakatan bersama.
Dari ilustrasi yang ada, jelas perbedaan anak generasi dulu punya tingkat hormat yang lebih tinggi kepada orangtuanya, meski hanya sepihak. Berbeda halnya dengan anak zaman sekarang, tak bisa orangtua bersikap gila hormat dan dihargai anaknya tanpa menghargai pendapat sang anak terlebih dahulu.
Anak generasi sekarang lebih menuntut adanya kesetaraan kedudukan antara kedua belah pihak, selayaknya setara saat berpendapat. Jika tak mendapatkannya, tentu ini menjadi pemicu pertengkaran yang akan sering terjadi antara orangtua yang gila hormat dengan anak yang gila ingin dihargai juga.
5. Anak zaman sekarang ingin orangtua jadi selayaknya teman akrab, bukan bersikap senioritas

Anak pada generasi sekarang banyak menginginkan sosok orangtua dengan pemikiran yang terbuka. Tak perlu lagi mengadopsi pemikiran kuno dan kolot yang tak sesuai dengan perkembangan zaman.
Secara lebih kompleks, anak berharap orangtua tidak hanya menjadi senioritas yang gila hormat dari anaknya. Tetapi lebih pada sesosok sahabat sejati sang anak yang bisa jadi apa saja. Bisa menjadi teman curhat urusan pribadi bahkan bisa menjadi mentor kehidupan terbaik saat menemui masalah hidup.
Sehingga, ketika anak berekspektasi punya orangtua yang terbuka dan bijaksana. Namun, nyatanya orangtua masih terkekang dengan pemikiran akan haus hormat secara sepihak dari sang anak. Tentu hal ini akan sering menyebabkan pertengkaran karena tak bisa saling memahami keinginan satu sama lainnya.
Pada akhirnya, berperan sebagai orangtua dengan segudang tanggung jawabnya memang tak semudah itu, ya. Tapi, hal tersebut juga sejalan dengan menjadi sosok anak yang juga tak semudah itu di zaman sekarang ini.
Jadi, semoga orangtua dan anak bisa sama-sama saling mengerti. Bisa selalu terbuka dengan berkomunikasi dua arah untuk lebih saling memahami keinginan dan kebutuhan masing-masingnya. Dengan begitu, besar harapannya untuk orangtua dan anak bisa menjalankan perannya dengan baik, terlebih jadi harmonis serta meminimalisir pertengkaran.