Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Dampak Jangka Panjang jika Tumbuh dalam Keluarga yang Disfungsional

ilustrasi anak (pexels.com/cottonbro studio)
Intinya sih...
  • Hubungan toksik dalam keluarga memengaruhi pola hubungan di masa dewasa, sulit mengenali red flags, atau mengembangkan gaya attachment yang tidak aman.
  • Tumbuh dalam keluarga disfungsional menciptakan inner critic yang keras, menyebabkan self-sabotage dan ekspektasi yang tidak realistis.
  • Keluarga disfungsional jarang memberikan role model yang baik dalam mengelola emosi, menyebabkan kesulitan memahami dan mengekspresikan perasaan serta kebutuhan akan kontrol berlebihan.

Pernah gak sih kamu merasa ada yang aneh dengan cara kamu dibesarkan, tapi gak tahu apa itu? Atau mungkin kamu sering membandingkan keluargamu dengan keluarga teman dan merasa ada perbedaan besar? Hal-hal seperti ini seringkali baru kita sadari saat dewasa, karena waktu kecil, kita menganggap semuanya normal-normal saja.

Tumbuh di keluarga yang disfungsional memang gak mudah. Pertengkaran, komunikasi yang buruk, atau kurangnya dukungan emosional sering dianggap wajar saat kecil, tapi sebenarnya meninggalkan dampak besar. Nah, berikut ini adalah lima efek jangka panjang yang mungkin akan kamu alami jika tumbuh di lingkungan keluarga yang disfungsional. Yuk, simak!

1. Sulit membangun hubungan yang sehat di masa dewasa

ilustrasi pasangan (pexels.com/RDNE Stock project)

Keluarga adalah tempat pertama kita belajar tentang hubungan. Kalau yang kamu lihat adalah hubungan yang toxic, besar kemungkinan itu memengaruhi cara kamu menjalin hubungan di masa dewasa. Kamu mungkin sulit mengenali red flags, atau malah terbiasa dengan dinamika toxic sehingga tanpa sadar mencari pasangan atau teman yang menyerupai pola tersebut.

Selain itu, kamu bisa mengembangkan gaya attachment yang tidak aman. Misalnya, jadi terlalu takut ditinggalkan (anxious attachment) atau justru sulit membuka diri pada orang lain (avoidant attachment). Akibatnya, kamu sering merasa kesepian atau tidak puas dalam hubungan, baik itu romantis, pertemanan, maupun profesional.

2. Terjebak dalam pola self-sabotage yang sulit dihentikan

ilustrasi lelah (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Tumbuh dalam keluarga yang tidak mendukung seringkali menciptakan inner critic yang keras. Kamu mungkin merasa tidak cukup baik, tidak pantas bahagia, atau selalu takut gagal. Pikiran-pikiran ini bisa membuat kamu tanpa sadar melakukan self-sabotage, seperti menolak peluang besar atau merusak hubungan yang baik.

Pola ini muncul karena ekspektasi yang tidak realistis atau kritik berlebihan yang kamu terima sejak kecil. Kalau gak segera disadari, self-sabotage ini bisa jadi lingkaran setan yang sulit diatasi.

3. Kesulitan mengelola emosi dan stres

ilustrasi marah (pexels.com/Karolina Grabowska)

Keluarga disfungsional jarang memberikan role model yang baik dalam mengelola emosi. Akibatnya, kamu mungkin tumbuh dengan kesulitan memahami atau mengekspresikan perasaanmu sendiri. Ada kalanya kamu memendam emosi sampai akhirnya meledak, atau malah merasa mati rasa terhadap segala hal.

Ketika menghadapi stres, coping mechanism yang tidak sehat sering jadi pilihan. Misalnya, kamu jadi workaholic, menghindari masalah, atau bahkan mencari pelarian melalui kebiasaan buruk seperti substance abuse. Semua ini terjadi karena kamu gak diajari cara menghadapi tekanan dengan sehat.

4. Perfeksionisme yang berlebihan

ilustrasi lelah (pexels.com/Kaboompics)

Hidup di lingkungan yang gak stabil membuat banyak orang tumbuh dengan kebutuhan untuk mengontrol segala hal. Kamu mungkin merasa perlu memastikan semua hal sempurna agar merasa aman. Akibatnya, perfeksionisme bisa mengambil alih hidupmu.

Kebutuhan akan kontrol ini gak cuma bikin kamu sulit santai, tapi juga memengaruhi hubungan dan pekerjaan. Kamu bisa jadi sulit mendelegasikan tugas, terlalu detail-oriented, atau gak bisa menerima kegagalan dengan baik.

5. Susah menetapkan batasan yang sehat

ilustrasi menangis (pexels.com/Karolina Kaboompics)

Kalau sejak kecil batasanmu tidak dihormati, kamu mungkin tumbuh tanpa pemahaman tentang boundaries yang sehat. Ini membuatmu sulit mengatakan "tidak" dan cenderung jadi people pleaser. Sebaliknya, kamu juga bisa membangun tembok tinggi sehingga sulit dekat dengan orang lain.

Tanpa boundaries yang jelas, kamu sering merasa lelah secara emosional karena terlalu banyak memberi, atau justru merasa kesepian karena terlalu menjaga jarak. Pola ini bisa sangat memengaruhi kualitas hubungan dan kesehatan mentalmu.

Menyadari dampak dari tumbuh di keluarga disfungsional memang bukan hal yang mudah. Tapi itu langkah pertama yang penting untuk memulai proses healing. Ingat, kamu gak sendirian dalam perjalanan ini. Dengan dukungan yang tepat, kamu bisa memutus rantai trauma dan membangun kehidupan yang lebih sehat. Sudah siap untuk mulai?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Muhamad Aldifa
EditorMuhamad Aldifa
Follow Us