Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Tanda Keluarga Disfungsional yang Sering Diabaikan

ilustrasi perempuan merenung (unsplash.com/@joshrh19)
Intinya sih...
  • Keluarga disfungsional bisa menyembunyikan masalah di balik rutinitas harian yang tampak normal.
  • Konflik dalam keluarga tidak selalu berarti disfungsional, tapi jika tidak terselesaikan bisa merusak hubungan.
  • Kontrol dalam keluarga normal, tapi dalam keluarga disfungsional biasanya diluar batas dan membuat anak kesulitan mandiri.

Keluarga sering dianggap sebagai tempat pertama yang penuh kasih, dukungan, dan kenyamanan. Namun, tidak semua keluarga memenuhi harapan tersebut. Ada kalanya sebuah keluarga justru menjadi sumber stres dan konflik yang menguras emosi. Keluarga disfungsional sering kali menyembunyikan masalahnya di balik rutinitas harian yang tampak normal.

Banyak tanda-tanda disfungsionalitas yang bisa terlihat, namun kerap diabaikan atau bahkan tidak disadari oleh anggota keluarganya sendiri. Mengetahui tanda-tanda tersebut bisa menjadi langkah awal untuk memahami dan mengatasi pola-pola negatif yang merugikan hubungan di dalam keluarga.

1. Masalah tidak pernah benar-benar terselesaikan hingga lama-lama jadi terabaikan

ilustrasi orang stres (unsplash.com/@tjump)

Konflik itu sendiri bukan berarti keluargamu mengalami disfungsional, menurut The Gottman Institute. Namun, kalau konflik itu nggak terselesaikan dan nggak ada tindakan atau langkah nyata untuk menyelesaikan konflik, bisa berakhir pada kerusakan hubungan dalam keluarga.

Orang bisa belajar untuk menghindari konflik (dan nggak pernah berusaha menghadapinya) atau belajar mereka harus selalu memenangkan konflik dan hidup dalam ketakutan kalau suatu saat mereka takut kalah. Nggak ada cara yang mutlak untuk memutuskan apakah sebuah konflik dalam keluarga itu 'normal' atau abnormal, tapi konflik dalam keluarga itu sangat umum terjadi dan sangat normal.

2. Kontrol dalam keluarga yang berlebihan

ilustrasi orang menghadap kaca (unsplash.com/@lexoge)

Sebuah analisis hubungan dinamika keluarga dari Journal of Personality and Social Psychology menunjukkan kalau sebenarnya dalam beberapa kasus, kontrol dalam keluarga itu normal, kayak mengatur jam malam, minta anggota keluarga untuk pakai pakaian yang sopan, mengatur penggunaan HP yang tidak berlebihan, waktu makan yang teratur, dan sebagainya. Tapi dalam keluarga yang disfungsional, biasanya orangtua akan melakukan kontrol yang di luar batas normal.

Mereka mungkin bakal mengontrol semua aspek kehidupan anak-anak mereka, membatasi interaksi sosial dengan teman sebaya, membuat aturan-aturan yang nggak masuk akal, dan nggak membiarkan anak-anak mereka berpendapat di dalam lingkaran keluarga. Anak-anak ini nantinya bakal kesulitan untuk jadi pribadi yang mandiri ketika sudah dewasa. Mereka mungkin bakal punya masalah di kehidupan dewasanya, kayak gaya keterikatan yang nggak sehat sama orang lain sampai kesulitan untuk mengatur batas terhadap apa yang seharusnya nggak mereka lakukan.

3. Nggak paham dan nggak yakin gimana keluarga 'normal' yang seharusnya itu kayak apa

ilustrasi orang menghadap ke luar jendela (unsplash.com/@harlynkingm)

Ada buku berjudul Adult Child’s Guide To What’s Normal yang memang ditulis spesifik untuk anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga disfungsional dan mereka nggak paham gimana rasanya tumbuh dalam lingkungan yang ideal seperti gimana caranya bilang "nggak" untuk rencana-rencana tertentu, atau jam berapa bisa dikatakan "terlambat" untuk sebuah kunjungan.

Ketika kamu tumbuh di keluarga disfungsional, kamu nggak akan paham apa yang orang lain lakukan dan apakah keluarga orang lain mirip sama keluarga yang kamu lihat di TV atau film. Biasanya memang keluarga ideal 'tuh ya yang begitu, bahagia dan mirip sama yang kamu lihat di TV itu, cuma ya, banyak yang nggak relate karena tumbuh di lingkungan disfungsional.

4. Ada terlalu banyak konflik atau bahkan nggak ada sama sekali

ilustrasi orang di tempat umum (unsplash.com/@annadziubinska)

Kalau kamu selalu bertengkar dan berdebat tanpa mendengarkan atau punya solusi, kamu mungkin datang dari latar belakang keluarga yang begitu reaktif dan nggak efektif dalam menenangkan diri mereka sendiri. Ketegangan di lingkunganmu bertumbuh membuatmu harus selalu siap dan mau nggak mau harus berdebat.

Kalau kamu nggak pernah punya konflik dan segala sesuatu selalu disetujui, kamu mungkin datang dari latar belakang yang punya kecenderungan selalu mengesampingkan semua masalah, istilah kerennya swept under the carpet dan nggak benar-benar diatasi sampai ke akar permasalahannya.

Menurut riset di Psychology Journal, kedua hal ini, keluarga yang entah terlalu sering ada konflik atau bahkan nggak ada konflik sama sekali, akan begitu melelahkan secara mental dan fisik bagi anggota keluarga.

5. Kamu cemas kalau orang lain ketemu sama anggota keluargamu

Ilustrasi orang stres (unsplash.com/@yrss)

Kalau kamu orang 'buangan' keluarga, kamu biasanya nggak pengin orang lain tahu seberapa 'nggak dilihatnya' kamu dalam keluarga. Biasanya, kamu takut atau khawatir akan rasa malu. Bisa jadi juga, karena keluargamu punya kecenderungan untuk menyabotase hubungan dengan orang lain.

Banyak 'orang buangan' keluarga ini merasa dipermalukan atau bahkan dibohongi oleh anggota keluarga. Ini bisa berdampak pada rusaknya hubungan yang mereka jalin dengan orang lain di luar lingkaran keluarga ini.

Setelah banyak hubungan yang gagal pasca-pertemuan, 'orang buangan' cenderung belajar untuk menghindari memperkenalkan orang lain kepada anggota keluarga mereka, seperti yang dijelaskan oleh sebuah studi tentang keterasingan keluarga dalam Journal of Psychology and Behavioral Science. Ini adalah salah satu alasan paling umum mengapa kamu tidak melihat anggota keluarga di sebuah pernikahan.

6. Red flags malah terasa seperti sesuatu yang familiar

ilustrasi perempuan merenung (unsplash.com/@joshrh19)

Ada beberapa hal yang sering keluar dari mulut orang-orang yang tumbuh dan tinggal di lingkungan penuh red flags dalam keluarga disfungsional:

"Kenapa dulu nggak sadar ya kalau dimanfaatkan? Bodoh banget."
"Aku nggak pernah langgeng kalau pacaran. Aku selalu mengusahakan kebahagiaan mereka, tapi tetep aja aku ditinggalin."
"Aku juga pengin pacaran, tapi kenapa rasanya susah banget dan kadang malah nyakitin?"

Red flags seperti ini nggak akan terlihat seperti sesuatu yang perlu dihindari ketika memang itu adalah tempat kita tinggal dan sering temui sehari-hari. Kadang, apa yang terasa familiar begitu nggak sehat. Justru karena itu familiar, kita menganggapnya bukan masalah karena terasa 'normal' bagi kita.

Sering kali, apa yang terungkap berkaitan dengan trauma emosional masa kecil yang belum sembuh yang membuat mereka tetap berada dalam hubungan yang sama dengan yang mereka alami di rumah, seperti yang disarankan oleh penelitian dalam Annals of General Psychiatry. Dan hubungan tersebut bersifat kasar dalam beberapa hal, dengan dinamika yang nggak sehat dan perilaku yang menyakitkan, baik secara nggak langsung maupun yang terlihat jelas.

'Normal' adalah sebuah tantangan bagi orang yang memang nggak tumbuh di dalamnya. Tapi ketika kita berusaha untuk menarik diri dari kebiasaan-kebiasaan keluarga tempat kita tumbuh, kita akan mulai menyadari betapa tindakan seseorang, yang pada saat itu kita terima, begitu membuat kekacauan dalam hidup kita saat ini.

Dengan menyadari betapa tidak sehatnya pola dan perilaku komunikasi dapat terlihat normal ketika itu adalah aturan yang memang kita pelajari, kita bisa memperbaiki dinamika hubungan keluarga dengan lebih baik lagi. Mungkin nggak dengan anggota keluargamu yang bikin kamu trauma, tapi paling nggak sama orang lain yang nggak ada sangkut pautnya dan nggak ada salah sama kamu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Tamara Rangkuti
EditorTamara Rangkuti
Follow Us