Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Penyebab Orangtua Jadi Lebih Rewel Ketika Memasuki Masa Lansia 

ilustrasi ngobrol dengan ibu (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi ngobrol dengan ibu (pexels.com/Andrea Piacquadio)
Intinya sih...
  • Perubahan fisik dan emosional saat menua membuat orangtua lebih sensitif dan mudah tersinggung.
  • Kehilangan kendali atas hidup memicu keinginan untuk mengontrol hal-hal kecil di sekitarnya.
  • Ketakutan akan kehilangan dan perasaan tidak lagi dibutuhkan membuat mereka menjadi lebih protektif, sensitif, dan mudah curiga.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Seiring bertambahnya usia, banyak orang menyadari bahwa sikap orangtua mereka berubah. Yang dulu tampak santai dan terbuka, kini cenderung lebih sensitif, mudah tersinggung, dan bahkan terkesan rewel. Hal ini sering membuat anak-anak bingung dan bertanya-tanya, apakah mereka melakukan kesalahan, atau justru orangtua mereka yang sedang mengalami perubahan besar dalam hidupnya.

Sebagai seorang anak, tentu kita senantiasa berupaya memberikan yang terbaik terutama di usia mereka yang mulai senja. Perubahan sikap ini bukanlah sesuatu yang muncul tanpa sebab. Agar kita bisa lebih memahami dan merespons mereka dengan empati, penting untuk mengetahui apa saja alasan yang membuat orangtua menjadi lebih rewel seiring bertambahnya usia.

1. Penurunan kondisi fisik yang memicu kelelahan

ilustrasi orang tua duduk (pexels.com/ Daniel Eliashevsky)
ilustrasi orang tua duduk (pexels.com/ Daniel Eliashevsky)

Seiring bertambahnya usia, tubuh mulai kehilangan sebagian kemampuannya untuk berfungsi secara optimal. Aktivitas sehari-hari yang dulunya terasa ringan kini terasa melelahkan, bahkan sekadar berjalan ke warung atau menyapu halaman bisa membuat tubuh terasa pegal berhari-hari. Tak heran, muncul rasa kesal karena keterbatasan fisik seperti ini.

Rasa lelah yang berkepanjangan ini kemudian bisa memengaruhi suasana hati. Ketika tubuh tidak lagi sekuat dulu, orangtua menjadi lebih mudah frustrasi. Hal-hal kecil seperti suara bising, televisi yang terlalu keras, atau anak yang lupa membereskan barang bisa menjadi pemicu emosi. Ini bukan soal mereka ingin marah, tetapi tubuh dan pikirannya memang sudah tak lagi setangguh dulu.

2. Perubahan peran dalam keluarga

ilustrasi perayaan ulang tahun bersama keluarga (pexels.com/Ivan Samkov)
ilustrasi perayaan ulang tahun bersama keluarga (pexels.com/Ivan Samkov)

Saat anak-anak tumbuh dewasa dan mulai mandiri, peran orangtua perlahan berubah. Mereka tidak lagi menjadi pusat perhatian atau sumber keputusan utama di rumah. Hal ini bisa membuat mereka merasa terpinggirkan dan kehilangan makna atas keberadaan mereka dalam keluarga.

Perasaan tidak lagi dibutuhkan bisa memicu kecemasan dan membuat mereka berusaha mencari kembali peran yang dulu mereka miliki. Salah satu cara yang muncul tanpa sadar adalah dengan menjadi lebih vokal, ikut campur dalam urusan anak, atau menunjukkan sikap keras. Mereka sedang berjuang untuk tetap relevan dalam dinamika keluarga yang terus berubah.

3. Kebutuhan akan kontrol yang meningkat

ilustrasi makan bersama (pexels.com/Askar Abayev)
ilustrasi makan bersama (pexels.com/Askar Abayev)

Semakin tua, banyak orangtua merasa kehilangan kontrol atas hidupnya. Mereka harus bergantung pada anak atau orang lain untuk urusan transportasi, keuangan, bahkan keputusan kesehatan. Ketidakmampuan ini kadang menyakitkan dan menimbulkan rasa tidak berdaya.

Untuk mengimbanginya, mereka cenderung ingin mengontrol hal-hal yang masih bisa mereka pegang. Sayangnya, keinginan itu sering kali menimbulkan konflik dengan anak-anak yang sudah terbiasa membuat keputusan sendiri. Bukan karena mereka ingin mempersulit, tapi karena mereka ingin tetap merasa punya kendali atas hidup dan lingkungan sekitar.

4. Trauma dan luka masa lalu yang belum sembuh

ilustrasi orang tua (pexels.com/Steshka Willems)
ilustrasi orang tua (pexels.com/Steshka Willems)

Semakin bertambah usia, semakin banyak pula kenangan masa lalu yang ikut terbawa. Beberapa di antaranya mungkin tidak pernah selesai diproses atau bahkan belum sempat dibicarakan. Luka emosional dari masa kecil atau konflik keluarga di masa lalu bisa muncul kembali dalam bentuk kemarahan yang tidak jelas arah tujuannya.

Karena tidak semua orangtua memiliki keberanian untuk mengutarakannya, mereka menyimpan luka itu sendiri hingga akhirnya meledak dalam bentuk sikap yang rewel atau menyakitkan. Mereka sedang berbicara dari tempat yang terluka, bukan dari keinginan untuk menyakiti. Memahami ini bisa membantu kita bersikap lebih lembut dan sabar.

5. Ketakutan akan kehilangan dan kesepian

ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Usia tua sering kali diiringi dengan kepergian teman-teman seangkatan, pasangan hidup, atau jarak emosional dengan anak-anak yang sibuk dengan urusan masing-masing. Rasa sepi ini perlahan membentuk ketakutan akan kehilangan yang lebih dalam. Lantas, hal tersebut membuat mereka menjadi lebih mudah terusik ketenangannya.

Sebagai bentuk pertahanan, orangtua bisa menjadi lebih protektif, sensitif, dan mudah curiga. Mereka tidak bermaksud menyusahkan, tetapi ingin memastikan bahwa mereka masih memiliki tempat dalam hidup anak-anaknya. Kadang, sikap keras itu adalah bentuk cinta yang belum menemukan cara yang tepat untuk disampaikan.

6. Tantangan dalam menghadapi perkembangan zaman

ilustrasi belajar menggunakan laptop (pexels.com/Kampus Production)
ilustrasi belajar menggunakan laptop (pexels.com/Kampus Production)

Perubahan teknologi, nilai-nilai sosial, dan pola hidup generasi muda bisa terasa asing bagi orangtua. Hal-hal yang dianggap biasa oleh anak muda, bisa jadi sangat mengganggu bagi mereka. Misalnya, gaya berpakaian, kebiasaan bekerja dari rumah, atau pilihan hidup yang dianggap tidak sesuai norma.

Karena tidak mudah bagi mereka untuk mengikuti semua perubahan ini, respons yang muncul bisa berupa penolakan atau kekritisan yang berlebihan. Mereka tampak keras bukan karena ingin memaksakan kehendak, tapi karena takut kehilangan arah dalam dunia yang terasa asing dan berubah terlalu cepat. Inilah yang kemudian menjadi bagian kita untuk membantu mereka perlahan memahami perubahan ini.

Menjadi tua bukanlah perkara mudah. Banyak perubahan yang harus dihadapi orangtua, baik secara fisik maupun emosional. Ketika mereka menjadi lebih sensitif, mungkin sebenarnya mereka sedang berjuang menghadapi keraguan yang sulit dijelaskan. Dengan memahami penyebab di balik sikap ini, kita diharapkan bisa belajar untuk lebih bijak dalam menyikapi dan menemani mereka dengan hati yang penuh empati.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Khariton Tjahjadi
EditorKhariton Tjahjadi
Follow Us