“Yang paling penting, libatkan anak dalam membuat aturan tersebut. Dengan begitu, anak lebih mungkin menghargainya,” kata Dr. Wijesekera.
6 Cara Membantu Anak Mengatasi FOMO

FOMO atau fear of missing out bukan hanya dialami orang dewasa, tapi juga bisa muncul pada anak-anak. Mereka bisa merasa cemas, iri, atau sedih saat melihat teman lebih sering diajak bermain, memiliki barang baru, atau tampil keren di media sosial. Jika dibiarkan, FOMO dapat mengganggu kepercayaan diri dan kesehatan mental anak.
Sebagai orangtua, kamu bisa berperan besar dalam membantu anak menghadapi perasaan ini dengan lebih sehat. Bukan hanya soal membatasi akses media sosial, tapi juga mengajarkan anak untuk mengenali emosi mereka sendiri. Berikut beberapa cara efektif yang bisa kamu terapkan.
1. Ajak anak bicara terbuka

Membuat ruang aman bagi anak untuk mengekspresikan perasaan adalah langkah awal yang sangat penting. Dengarkan cerita mereka tanpa menghakimi dan validasi emosi yang mereka rasakan. Dengan begitu, anak merasa diterima dan lebih mudah terbuka tentang kekhawatirannya.
Kamu bisa berbagi pengalaman pribadi tentang rasa tertinggal agar anak merasa tidak sendirian. Menurut Kanchi Wijesekera, PhD, psikolog klinis, dilansir Parents, menamai dan menormalisasi perasaan anak membuat mereka tidak sepenuhnya dikuasai emosi tersebut. Dengan begitu, anak belajar bahwa apa yang mereka rasakan adalah hal yang wajar.
2. Ajarkan literasi media sosial

Anak perlu menyadari bahwa apa yang mereka lihat di media sosial hanyalah potongan terbaik dari kehidupan orang lain. Tekankan bahwa unggahan di dunia maya tidak selalu mencerminkan kenyataan sepenuhnya. Dengan begitu, mereka bisa mengurangi kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain.
Diskusikan bersama anak bagaimana konten sering kali sudah melalui proses kurasi dan penyuntingan. Dr. Wijesekera menegaskan bahwa, mengajarkan anak berpikir kritis tentang apa yang mereka lihat di media sosial membantu mereka memahami perbedaan antara kehidupan nyata dan versi online yang terkurasi. Adanya pemahaman ini, anak bisa lebih bijak menghadapi arus informasi digital.
3. Dorong anak fokus ke minat offline
Mengalihkan fokus anak dari dunia maya ke aktivitas nyata bisa membantu mereka membangun identitas lebih sehat. Aktivitas seperti olahraga, seni, membaca, atau komunitas hobi dapat memperkuat rasa percaya diri. Hal ini juga memberikan mereka kesempatan untuk menemukan nilai diri di luar lingkaran sosial media.
Leah Jacobs, LMHC, konselor kesehatan mental, dilansir Parents, menjelaskan, membantu anak kembali terhubung dengan minat offline mereka bisa jadi titik awal yang baik. Melalui cara ini, anak tidak hanya sibuk mengejar validasi eksternal, tapi juga belajar menemukan kebahagiaan dari kegiatan yang benar-benar mereka sukai.
4. Terapkan batasan waktu layar

Membatasi waktu layar adalah strategi penting agar anak tidak terus-menerus terpapar pada sumber FOMO. Orangtua bisa membuat aturan sederhana, seperti tidak membawa ponsel ke kamar tidur atau menetapkan waktu tanpa gawai bersama keluarga. Kebiasaan ini membantu anak lebih hadir pada momen nyata.
Ajak anak untuk terlibat dalam menyusun aturan sehingga mereka merasa lebih memiliki. Saat anak ikut memutuskan, mereka cenderung lebih menghargai batasan yang dibuat. Selain itu, orangtua juga perlu memberi contoh nyata dengan ikut mengurangi waktu menatap layar.
5. Normalisasi rasa ketinggalan

Ajarkan anak bahwa tidak mungkin seseorang bisa ikut serta dalam semua hal. Menekankan bahwa melewatkan kesempatan bukan berarti mereka kurang berharga akan membuat anak lebih tangguh. Dengan perspektif ini, mereka bisa menerima bahwa rasa tertinggal adalah bagian alami dari hidup.
Orangtua juga bisa memperkenalkan konsep JOMO atau joy of missing out. Leah Jacobs menjelaskan bahwa, JOMO membantu anak melihat bahwa ada nilai dalam melambat, beristirahat, atau menikmati waktu pribadi. Cara ini membantu anak belajar bahwa kebahagiaan tidak harus selalu datang dari aktivitas sosial.
6. Kenali saat FOMO jadi lebih serius

FOMO biasanya bisa diatasi dengan dukungan keluarga, namun ada kalanya gejala yang muncul lebih berat. Jika anak terus-menerus merasa cemas, sulit tidur, atau menurun prestasi sekolahnya, bisa jadi ada masalah lain seperti kecemasan atau depresi. Pada tahap ini, bantuan profesional sangat dianjurkan.
“Seorang psikolog yang berfokus pada terapi interpersonal atau terapi perilaku kognitif bisa membantu kamu mengatasi FOMO. Dengan begitu, kamu bisa lebih fokus mengejar mimpi di kehidupan nyata, bukan hanya terjebak di dunia maya,” kata Dr. Amy Sullivan, PsyD, seorang psikolog peneliti, dilansir Cleveland Clinic.
Mencari dukungan dari psikolog atau konselor bisa membantu anak belajar strategi coping yang lebih sehat. Intervensi sejak dini akan mencegah masalah berkembang lebih parah. Orangtua perlu peka membaca tanda-tanda ini agar anak tidak merasa sendirian menghadapi tekanan emosional.
Mengatasi FOMO pada anak bukan cuma soal membatasi media sosial, tapi juga mengajarkan mereka menikmati hidup nyata. Dengan dukungan orangtua, anak bisa belajar menerima diri, lebih percaya diri, dan tumbuh sehat secara emosional.