6 Kesalahan Parents Saat Ajari Early Literacy, Bisa Fatal!

- Terlalu memaksa anak belajar membaca di usia terlalu diniBelajar membaca bukan hanya tentang mengenali huruf, tetapi juga soal kesiapan mental dan emosional.
- Menganggap buku cetak sebagai satu-satunya media belajarMengabaikan variasi media bisa membuat proses belajar jadi kaku dan membosankan bagi anak.
- Membandingkan kemampuan membaca anak dengan anak lainLebih baik fokus pada perkembangan anak sendiri daripada membandingkan dengan teman yang bisa membuat anak merasa tertinggal.
Mengajarkan anak membaca sejak dini memang terdengar seperti langkah yang bijak. Banyak orang tua berlomba-lomba agar anaknya bisa membaca dan mengenali huruf sebelum masuk sekolah dasar. Namun, tanpa disadari, cara yang diterapkan justru bisa menghambat proses belajar anak. Bahkan lebih buruk lagi, bisa menimbulkan trauma terhadap aktivitas membaca.
Early literacy bukan sekadar mengenal huruf dan mengeja kata. Ini adalah tahap awal membangun hubungan positif anak dengan bahasa, buku, dan komunikasi. Kalau parents terlalu fokus pada hasil tanpa memahami proses, niat baik bisa berubah jadi tekanan. Sayangnya, kesalahan ini sering dilakukan secara gak sadar dan berlangsung terus-menerus.
1. Terlalu memaksa anak belajar membaca di usia terlalu dini

Kesalahan paling umum adalah memaksakan anak untuk bisa membaca saat mereka belum siap secara perkembangan. Banyak orang tua menganggap bahwa semakin cepat anak bisa membaca, maka semakin pintar anak tersebut. Padahal setiap anak punya tahapan perkembangan yang berbeda, dan otaknya mungkin belum siap untuk memahami konsep fonik atau huruf. Akibatnya, anak jadi frustrasi dan justru menghindari kegiatan membaca.
Belajar membaca bukan hanya tentang mengenali huruf, tetapi juga soal kesiapan mental dan emosional. Jika anak belum tertarik dengan huruf atau belum bisa fokus lebih dari 5 menit, memaksanya duduk membaca bisa menimbulkan stres. Alih-alih belajar dengan senang hati, anak bisa jadi membenci buku sejak dini. Ini bisa menjadi awal dari hambatan literasi jangka panjang jika gak disadari sejak awal.
2. Menganggap buku cetak sebagai satu-satunya media belajar

Banyak parents masih menganggap buku cetak adalah alat utama bahkan satu-satunya untuk mengajarkan literasi. Padahal di era sekarang, ada begitu banyak media alternatif yang bisa digunakan untuk membangun kecintaan anak terhadap membaca. Video interaktif, lagu alfabet, permainan kartu huruf, atau bahkan aplikasi belajar bisa menjadi jembatan yang menyenangkan. Sayangnya, sebagian orang tua menganggap media digital sebagai distraksi, bukan alat bantu.
Mengabaikan variasi media bisa membuat proses belajar jadi kaku dan membosankan bagi anak. Anak-anak usia dini lebih mudah belajar melalui permainan dan visual yang menarik. Dengan hanya mengandalkan buku cetak, anak bisa cepat bosan dan merasa terbebani. Variasi media bisa membuat proses belajar menjadi lebih fleksibel, menyenangkan, dan sesuai dengan gaya belajar masing-masing anak.
3. Membandingkan kemampuan membaca anak dengan anak lain

Kesalahan ini sering dilakukan dengan maksud memotivasi, padahal justru bisa merusak rasa percaya diri anak. Ketika orang tua mengatakan, 'Teman kamu sudah bisa baca, kamu kapan?', itu terdengar seperti tekanan yang menyakitkan. Anak akan merasa tertinggal dan gak cukup baik, padahal setiap anak punya waktu belajar masing-masing. Membandingkan bisa membuat anak merasa cemas dan akhirnya malas belajar.
Daripada membandingkan, lebih baik fokus pada perkembangan anak sendiri. Lihat sejauh mana ia sudah memahami cerita, mengenali gambar, atau mengeja suku kata sederhana. Setiap langkah kecil adalah pencapaian yang patut dirayakan. Dengan mendukung alur belajar anak sendiri, prosesnya akan lebih alami dan anak merasa lebih dihargai.
4. Fokus pada kemampuan teknis, bukan kecintaan membaca

Banyak orang tua terlalu fokus agar anak bisa mengeja, membaca lancar, atau menyelesaikan buku dalam waktu tertentu. Namun, mereka lupa bahwa yang paling penting adalah bagaimana anak menikmati proses membaca itu sendiri. Literasi dini harus diawali dengan cinta terhadap cerita, rasa ingin tahu, dan kebiasaan melihat buku sebagai sesuatu yang menyenangkan. Kalau terlalu menekankan teknis, anak bisa jenuh dan menganggap membaca adalah kewajiban.
Tanpa rasa cinta terhadap buku, kemampuan teknis pun akan cepat hilang karena gak digunakan secara sukarela. Anak yang senang membaca akan terus berkembang walau kemampuan teknisnya belum sempurna. Tapi anak yang mahir mengeja tapi gak suka membaca, kemungkinan besar gak akan mempertahankan kebiasaannya saat dewasa. Jadi, penting untuk menumbuhkan minat dan emosi positif terlebih dahulu sebelum mengejar hasil teknis.
5. gak menciptakan lingkungan rumah yang mendukung literasi
.jpg)
Sering kali, parents hanya menyuruh anak membaca tapi gak menyediakan lingkungan yang menunjang kebiasaan tersebut. Misalnya gak menyediakan rak buku anak, gak ada waktu khusus untuk membaca bersama, atau bahkan gak pernah terlihat membaca di depan anak. Anak-anak belajar dari meniru, bukan hanya dari instruksi. Jika orang tua gak mencontohkan, maka kata-kata saja gak cukup kuat untuk menanamkan kebiasaan.
Lingkungan literasi di rumah gak harus mewah atau penuh buku. Cukup sediakan buku cerita dengan gambar menarik, buat rutinitas baca sebelum tidur, dan beri kesempatan anak memilih buku yang ingin dibaca. Hal kecil seperti membaca resep bersama di dapur, membaca papan nama di jalan, atau membacakan dongeng bisa memberikan dampak besar. Saat rumah terasa akrab dengan kegiatan membaca, anak akan lebih mudah membentuk kebiasaan itu tanpa paksaan.
6. Mengabaikan aspek bermain dalam proses belajar

Literasi dini seharusnya penuh dengan aktivitas bermain, bukan seperti pelajaran sekolah yang serius. Namun sayangnya, banyak orang tua yang membuat sesi belajar membaca jadi sangat formal dan penuh tekanan. Duduk tegak, harus tenang, gak boleh bercanda, semua aturan itu malah membuat anak merasa gak nyaman. Padahal, bermain adalah bahasa utama anak usia dini untuk belajar dan memahami dunia.
Anak bisa belajar mengenal huruf lewat pasir, membentuk alfabet dari playdough, atau bermain tebak-tebakan huruf sambil bernyanyi. Aktivitas seperti ini jauh lebih efektif untuk membangun pemahaman jangka panjang dibanding metode hafalan kaku. Dengan pendekatan bermain, anak merasa proses belajar adalah bagian dari kesenangan, bukan tugas berat. Ini akan memperkuat keterikatan emosional anak terhadap aktivitas membaca dan menulis.
Mengajarkan early literacy pada anak bukan tentang seberapa cepat ia bisa membaca, tapi seberapa besar ia mencintai membaca. Kesalahan umum seperti memaksa, membandingkan, atau terlalu fokus pada teknis bisa berdampak negatif dalam jangka panjang. Yang terpenting adalah menciptakan suasana menyenangkan, menumbuhkan rasa cinta terhadap buku, dan memberi ruang pada proses alami anak. Jangan terburu-buru, karena literasi yang baik tumbuh dari pengalaman positif, bukan tekanan.
Kalau parents bisa menghindari enam kesalahan ini, proses belajar membaca akan jadi pengalaman yang menyenangkan dan membekas sepanjang hidup anak. Hal tersebut jauh lebih berharga daripada sekadar bisa membaca di usia yang lebih cepat dari anak lain.