5 Alasan Berhenti Menormalisasi 'Namanya Juga Anak-Anak', Kenapa?

Setiap kali seorang anak melakukan sesuatu yang dianggap kurang pantas atau menyimpang dari norma, ada satu kalimat yang sering keluar dari mulut orang dewasa: "Namanya juga anak-anak."
Kalimat ini terdengar sederhana, seolah hanya ungkapan biasa, tapi kalau dipikir lebih dalam, ada dampak besar di baliknya. Secara gak sadar, kalimat ini justru bisa membuat anak-anak tumbuh dengan pola pikir bahwa kesalahan mereka gak masalah, selama masih di usia kecil. Padahal, kebiasaan yang dianggap sepele di masa kecil bisa jadi kebiasaan buruk yang terbawa hingga dewasa.
Masalahnya, menormalisasi perilaku tertentu dengan alasan usia bisa berujung pada pengabaian terhadap pendidikan karakter. Anak-anak memang masih belajar banyak hal, tapi bukan berarti semua tindakan mereka bisa dibiarkan tanpa batasan.
Jika terus dimaklumi, bukan gak mungkin mereka tumbuh dengan mindset bahwa setiap kesalahan bisa selalu dimaafkan tanpa konsekuensi. Inilah kenapa penting untuk berhenti menormalisasi kalimat ini.
Ada beberapa alasan yang bisa jadi pertimbangan supaya kita lebih bijak dalam membimbing anak-anak tanpa harus membiarkan mereka berkembang tanpa arah yang jelas.
1. Anak-anak itu pembelajar, bukan makhluk yang bisa semaunya

Salah satu alasan utama untuk berhenti menormalisasi kalimat ini adalah karena anak-anak sebenarnya punya kapasitas belajar yang luar biasa. Mereka bukan sekadar makhluk kecil yang bisa berbuat sesuka hati tanpa konsekuensi.
Justru, masa kecil adalah saat paling krusial untuk membentuk kebiasaan baik. Kalau sejak awal mereka dibiasakan bahwa tindakan tertentu gak apa-apa hanya karena masih kecil, mereka bisa tumbuh dengan pemahaman yang salah soal tanggung jawab dan batasan sosial.
Misalnya, kalau seorang anak terbiasa memukul temannya setiap kali kesal dan orang dewasa hanya berkata, "Namanya juga anak-anak, nanti juga sadar sendiri," itu bisa jadi bumerang.
Anak itu bisa mengira bahwa kekerasan adalah cara yang sah untuk mengekspresikan emosi. Akibatnya, di kemudian hari, dia bisa tumbuh menjadi seseorang yang gak bisa mengendalikan emosinya dengan cara yang sehat. Ini bukan tentang mengekang mereka, tapi lebih ke mengajari bahwa setiap tindakan punya konsekuensi, bahkan di usia kecil sekalipun.
2. Normalisasi ini bisa menghambat perkembangan empati anak

Kalimat "namanya juga anak-anak" sering kali digunakan untuk membenarkan tindakan yang sebenarnya gak bisa ditoleransi, seperti merusak barang orang lain, berkata kasar, atau menyakiti teman.
Ketika hal-hal seperti ini dianggap wajar, anak-anak gak akan benar-benar belajar untuk memahami perasaan orang lain. Mereka bisa berpikir bahwa perbuatan mereka gak berdampak buruk, padahal bisa saja orang lain merasa dirugikan atau sakit hati karena tindakan tersebut.
Empati itu bukan sesuatu yang datang begitu saja. Anak-anak belajar dari lingkungan, terutama dari reaksi orang dewasa terhadap perilaku mereka. Kalau kesalahan mereka terus dimaafkan dengan alasan usia, mereka gak akan pernah benar-benar memahami konsep tanggung jawab sosial.
Ini bisa berujung pada sikap egois atau kurang peduli terhadap perasaan orang lain di masa depan. Jadi, penting untuk mengajarkan sejak dini bahwa setiap tindakan punya dampak dan belajar menghargai orang lain adalah bagian penting dari tumbuh dewasa.
3. Bisa membentuk kebiasaan buruk yang sulit dihilangkan

Banyak kebiasaan yang terbentuk sejak kecil dan terus terbawa sampai dewasa. Kalau sesuatu terus dibiarkan tanpa koreksi, itu bisa menjadi bagian dari karakter seseorang. Anak yang terbiasa berbohong kecil tanpa ada konsekuensi bisa tumbuh menjadi orang dewasa yang merasa gak masalah untuk terus berbohong dalam situasi apa pun.
Begitu juga dengan anak yang gak pernah diajarkan untuk bertanggung jawab atas kesalahannya, mereka bisa tumbuh menjadi orang yang selalu mencari alasan dan menolak mengakui kesalahan.
Ini bukan berarti anak-anak harus dihukum keras setiap kali berbuat salah, tapi lebih ke bagaimana membentuk pemahaman mereka tentang mana yang bisa diterima dan mana yang gak.
Kalau sejak kecil mereka diajarkan untuk bertanggung jawab, meminta maaf, dan memperbaiki kesalahan, mereka akan tumbuh menjadi individu yang lebih matang dan siap menghadapi dunia. Gak ada yang mau menghadapi orang dewasa yang masih bersikap seperti anak kecil, kan?
4. Bisa menjadikan anak takut bertanggung jawab

Menormalisasi kesalahan anak dengan alasan usia juga bisa membuat mereka takut menghadapi konsekuensi di masa depan. Ketika mereka terbiasa gak dihukum atau gak diajarkan untuk memperbaiki kesalahan, mereka bisa mengembangkan mentalitas menghindari tanggung jawab. Ini bisa berbahaya, terutama ketika mereka mulai menghadapi masalah yang lebih besar di sekolah atau di dunia kerja nanti.
Sebagai contoh, anak yang sejak kecil selalu dimaklumi saat melakukan kesalahan mungkin akan tumbuh menjadi remaja atau orang dewasa yang sulit menerima kritik. Mereka bisa merasa bahwa setiap kesalahan pasti akan selalu dimaafkan dan gak perlu diperbaiki.
Ini bisa berdampak buruk pada perkembangan mereka dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan sosial dan karier. Mengajarkan konsekuensi sejak dini bukanlah bentuk hukuman yang kejam, tapi justru bentuk kasih sayang agar mereka siap menghadapi dunia nyata.
5. Anak-anak juga punya kemampuan memahami batasan, asal diajarin dengan benar

Banyak orang tua atau orang dewasa berpikir bahwa anak kecil gak akan mengerti kalau dijelaskan tentang aturan atau batasan. Padahal, anak-anak itu punya daya serap yang luar biasa tinggi.
Mereka bisa memahami mana yang boleh dan mana yang gak, asalkan diajarkan dengan cara yang tepat. Masalahnya, banyak orang dewasa yang malas untuk menjelaskan atau mendidik dengan sabar, sehingga lebih memilih jalan pintas dengan memaklumi setiap perilaku mereka.
Padahal, kalau dari kecil mereka diajarkan dengan cara yang tepat, misalnya lewat cerita, contoh nyata, atau diskusi ringan mereka bisa tumbuh dengan pemahaman yang lebih baik tentang norma sosial.
Anak-anak bukan manusia mini yang gak bisa diajak bicara, mereka hanya butuh pendekatan yang lebih sesuai dengan usianya. Kalau dibiasakan sejak dini, mereka akan terbiasa berpikir sebelum bertindak, bukan hanya sekadar mengikuti naluri tanpa memahami dampaknya.
Kalimat "Namanya juga anak-anak" terdengar sepele, tapi dampaknya bisa besar kalau terus dipakai untuk menormalisasi perilaku yang sebenarnya gak baik. Anak-anak memang masih dalam proses belajar, tapi bukan berarti mereka bisa dibiarkan tumbuh tanpa batasan yang jelas.
Mulai sekarang, daripada membiarkan kesalahan anak dengan alasan usia, lebih baik ajarkan mereka dengan cara yang tepat. agaimanapun juga, anak-anak adalah cerminan dari cara mereka dibesarkan. Kalau sejak kecil dibiasakan bertanggung jawab, mereka akan membawa nilai itu hingga dewasa.