Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

4 Alasan Sikap Terlalu Bijak Bisa Berujung Toxic, Jadi Kaku! 

ilustrasi kesal (freepik.com/pch.vector)
ilustrasi kesal (freepik.com/pch.vector)

Kamu pernah tidak menghadapi orang yang terlalu bijak dalam berbicara atau berpendapat? Rasanya, tidak ada yang salah dengan ini. Kebijaksaan adalah hal positif yang perlu diapresiasi. Akan tetapi, terlalu bijak dalam komunikasi ternyata bisa berujung toxic, lho! Kok, bisa?

Sikap terlalu bijak dapat berujung toxic apabila orang tersebut terlalu fokus pada pendapatnya sehingga mengesampingkan perasaan orang lain. Hal ini bisa menciptakan jarak dalam hubungan dan bahkan memicu konflik. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana sikap terlalu bijak dapat berujung toxic agar langkah pencegahan dapat dilakukan. 

1. Menjadi pribadi yang tidak peka terhadap perasaan orang lain

ilustrasi dimarahi (freepik.com/KamranAydinov)
ilustrasi dimarahi (freepik.com/KamranAydinov)

Saat seseorang terlalu fokus pada logika dan fakta, mereka cenderung mengesampingkan aspek emosi dalam interaksi sosial. Ini membuat orang lain merasa diabaikan, tidak dihargai, atau bahkan dihakimi. Misalnya, dalam lingkungan kerja, seseorang hanya fokus pada solusi logis yang sedang dialami tim. Akan tetapi, solusi itu justru menambah pekerjaan anggota tim yang lain. 

Pribadi yang terlalu bijak sering kali gagal memahami atau merasakan apa yang dibutuhkan oleh orang lain dalam suatu situasi. Tentu ini dapat memicu ketegangan dalam interaksi. Orang mungkin merasa bahwa mereka tidak didengar, yang mengakibatkan perasaan kesal. 

2. Memberikan kesan kaku

ilustrasi pembicaraan membosankan (freepik.com/drobotdean)
ilustrasi pembicaraan membosankan (freepik.com/drobotdean)

Orang yang terlalu bijak kerap kali berbicara atau berperilaku serius. Mereka menjadi kurang fleksibel menerima humor, lelucon, atau ekspresi spontanitas dalam berinteraksi dengan orang lain. Akibatnya, suasana menjadi tegang dan kurang menyenangkan karena kehadirannya. 

Selain itu, kesan pribadi yang kaku menghambat kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan berbagai situasi. Seseorang yang terlalu bijak mungkin berpegang teguh pada sudut pandang atau prinsip tertentu, tanpa mempertimbangkan dinamika sosial yang berubah-ubah. Baik dengan hubungan pribadi atau profesional, hal ini menghambat kolaborasi karena kurang adaptif dalam menghadapi perubahan atau tantangan

3. Kecenderungan sering mengkritik karena merasa benar

ilustrasi mengkritik (freepik.com/master1305)

Salah satu alasan mengapa sikap terlalu bijak bisa berujung toxic adalah kecenderungan untuk sering mengkritik orang lain karena merasa benar. Orang yang terlalu bijak percaya bahwa pendapat mereka adalah yang paling benar dan logis. Akibatnya, mereka cenderung menyuarakan pandangan mereka dengan lantang tanpa menerima pendapat orang lain. 

Sebagai contoh, seorang atasan yang terlalu bijak mungkin selalu mengkritik ide bawahan dan mencari kesalahannya. Ini dapat menciptakan suasana yang tidak nyaman dan membuat bawahan kehilangan motivasi karena tidak pernah menerima apresiasi. Kritik yang berlebihan seperti ini bisa merusak hubungan dan menciptakan toksisitas dalam komunikasi. 

4. Kehilangan semangat mengembangkan diri

ilustasi sombong (freepik.com/freepik)

Masih berhubungan dengan poin di atas, seseorang yang terlalu bijak cenderung merasa paling tahu segalanya. Mereka merasa tidak ada lagi yang perlu dipelajari atau ditingkatkan. Misalnya, seseorang yang merasa dirinya bijak mungkin menolak peluang pelatihan atau kursus karena merasa sudah cukup kompeten. 

Tidak hanya merugikan pertumbuhan pribadi, sikap ini juga memengaruhi hubungan dengan orang lain. Kecenderungan merasa tahu segalanya membuat mereka tidak bersedia mendengarkan atau belajar dari pengalaman orang lain. Inilah alasan lain mengapa terlalu bijak dapat berujung toxic

Meskipun kebijaksaan adalah sikap berharga dalam hidup, terlalu bijak tanpa menilai situasi dapat berujung toxic. Sikap kurang peka, kaku, sering mengkritik orang lain, dan merasa paling tahu segalanya, dapat memicu konflik dalam sosial. Oleh karena itu, bijaksana harus diiringi dengan empati serta dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat. Dengan begitu, komunikasi yang lebih sehat dan hubungan harmonis dapat terjalin. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Annisa Isnaini
EditorAnnisa Isnaini
Follow Us