4 Strategi Mengelola Diri di Tengah Tren Budaya Materialistis

Budaya materialistis akhir-akhir ini memang menyita perhatian. Bahkan menjadi tren yang berkembang pesat di media sosial. Sosok materialistis cenderung mengukur segala sesuatu berdasarkan materi, terutama mengagungkan gaya hidup mewah dan hedon. Tetapi, keputusan ini ada pada diri sendiri, apakah kita memilih menjadi orang yang mengagungkan tren materialistis atau tetap berpatokan pada prinsip serta gaya hidup sederhana.
Tentu kita membutuhkan strategi mengelola diri di tengah tren budaya materialistis. Hal ini bisa dimulai dari memperbaiki pola pikir, kemudian secara bertahap berbenah dari segi sikap dan tingkah laku. Sudahkan kamu menerapkan strategi dalam menghadapi gaya hidup tersebut? Saatnya mencoba mulai sekarang untuk memperoleh kehidupan yang bermakna dan tertata.
1. Menetapkan nilai dan prioritas pribadi

Perkembangan teknologi digital ternyata membawa pengaruh negatif. Tentu kita sudah tidak asing dengan budaya materialistis yang menjelma menjadi tren. Jika tidak bisa mengikuti gaya hidup mewah dan berfoya-foya, timbul perasaan minder. Di sisi lain, budaya materialistis justru merusak kualitas hidup yang sudah tertata.
Kita harus mampu mengelola diri di tengah tantangan demikian. Langkah pertama dengan menetapkan nilai dan prioritas pribadi. Identifikasi prinsip-prinsip yang penting diterapkan dalam hidup. Fokuskan waktu dan energi terhadap hal-hal yang sejalan dengan nilai dan prinsip tersebut. Hindari godaan untuk mengutamakan gaya hidup hedon di atas segalanya.
2. Membangun kembali mindset kehidupan yang bermakna

Siap tidak siap, kita akan berhadapan dengan budaya materialistis yang menjadi tren. Bahkan generasi muda berlomba-lomba mengagungkan kehidupan mewah. Mereka merasa gengsi jika tidak menampilkan kesan hedon. Tapi apakah kita memilih mengikuti budaya seperti ini? Padahal sudah jelas mengganggu keseimbangan hidup yang sudah tertata.
Saatnya kita belajar mengelola diri di tengah tren budaya materialistis. Hal tersebut bisa diawali dengan membangun kembali mindset kehidupan yang bermakna. Sadari bahwa kenyamanan dan kebahagiaan tidak diukur dari segi materi saja. Tapi kita juga harus mempertimbangkan aspek-aspek lain yang jauh lebih penting. Termasuk membangun kehidupan yang sederhana namun penuh arti.
3. Memprioritaskan kualitas daripada kuantitas

Tentu kita sudah tidak asing dengan tren budaya materialistis yang menjamur. Pilihan berada di tangan masing-masing individu, apakah memilih mengikuti arus dengan tren budaya materialistis atau belajar menjadi individu tegas yang mampu mengelola hidup secara bijaksana namun bermakna.
Setiap orang bisa saja mengelola diri dengan bijaksana. Hal penting yang harus diingat adalah memprioritaskan kualitas daripada kuantitas. Ingat bahwa materi tidak menjamin kehidupan yang bermakna dan bermutu tinggi. Kualitas hidup terletak pada pola pikir dan bagaimana kontribusi yang kita berikan terhadap lingkungan sosial.
4. Berfokus pada pengembangan diri secara holistik

Apa yang kamu ketahui tentang tren budaya materialistis? Mungkin kamu pernah melihat gaya hidup yang mengagungkan kemewahan dan hedonisme. Ini adalah gambaran dari tren budaya materialistis yang akhir-akhir ini digandrungi generasi muda. Cepat atau lambat, mengikuti arus tren budaya materialistis berpotensi menjerumuskan diri ke arah negatif.
Lantas, bagaimana cara mengelola diri di tengah tren budaya materialistis? Mulai sekarang harus belajar berfokus pada pengembangan diri secara holistik. Terutama mengasah keterampilan dan melibatkan diri dalam kegiatan kreatif yang bermakna. Kegiatan-kegiatan tersebut memberikan kepuasan lebih dari sekadar kepemilikan materi.
Seharusnya kita bisa mengontrol diri dari tren budaya materialistis karena kemewahan belum tentu menjamin kebahagiaan dalam jangka panjang. Mulai sekarang, tetapkan nilai dan strategi mengelola diri di tengah tren budaya materialistis di kehidupanmu. Sekaligus berfokus pada pengembangan diri secara menyeluruh untuk jangka panjang. Kehidupan terlalu berharga jika kita hanya mengejar dari segi materi, tapi tidak memiliki kontribusi yang nyata bagi lingkungan sosial.