Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Alasan Kenapa Kamu Sering Terbawa Arus Opini Publik

ilustrasi terpengaruh opini publik (pexels.com/Yan Krukau)

Di era informasi yang serba cepat seperti sekarang, opini publik menyebar dengan sangat mudah. Cukup dengan membuka media sosial, membaca komentar, atau mengikuti berita viral, kamu bisa langsung tergiring untuk membentuk pendapat, bahkan tanpa menyadari apakah informasi itu benar, relevan, atau sesuai dengan nilai pribadi kamu sendiri.

Fenomena terbawa arus opini publik ini tidak selalu buruk. Kadang, hal itu menunjukkan bahwa kamu adalah makhluk sosial yang peduli terhadap lingkungan sekitar. Tapi jika dibiarkan terus-menerus tanpa kontrol, hal ini bisa merusak cara kamu berpikir, menghilangkan independensimu, bahkan membuat kamu ikut menyebarkan informasi atau emosi yang salah.

Kenapa sih kamu bisa mudah banget terbawa arus? Jawabannya nggak sesederhana "ikut-ikutan aja." Ada banyak faktor psikologis, sosial, dan budaya yang bikin kamu lebih rentan. Nah, berikut ini lima alasan utama kenapa kamu sering banget terbawa arus opini publik.

1. Takut dibilang beda atau salah

ilustrasi berkumpul bersama teman (pexels.com/Ivan Samkov)

Salah satu alasan utama kamu terbawa arus opini publik adalah rasa takut dianggap berbeda atau salah. Dalam kelompok sosial, ada kecenderungan alami yang disebut conformity bias, yaitu dorongan untuk mengikuti mayoritas demi diterima. Ketika banyak orang punya satu pandangan, kamu jadi takut untuk mengemukakan opini berbeda karena khawatir akan dikritik, dicemooh, atau bahkan dikucilkan.

Rasa takut ini seringkali tidak disadari. Kamu merasa lebih nyaman saat suara kamu sejalan dengan mayoritas, bahkan jika di dalam hati ada keraguan. Akhirnya, kamu memilih diam atau ikut-ikutan saja demi menghindari konflik sosial. Padahal, keberanian untuk berpikir berbeda bisa jadi awal dari perubahan yang positif.

2. Kurangnya informasi dan literasi media

ilustrasi seorang wanita sedang memainkan ponsel (pexels.com/Keira Burton)

Di tengah derasnya arus informasi, kamu mungkin merasa terlalu lelah atau sibuk untuk mengecek fakta. Akibatnya, opini publik yang ramai dibicarakan sering kamu jadikan patokan kebenaran, tanpa diselidiki lebih dalam. Kamu jadi percaya pada sesuatu hanya karena itu populer, bukan karena itu benar.

Selain itu, rendahnya literasi media membuat kamu sulit membedakan antara fakta, opini, dan manipulasi. Banyak konten sengaja dibuat dramatis agar viral, padahal tidak akurat. Kalau kamu nggak kritis, kamu bisa ikut menyebarkannya atau bahkan membentuk sikap berdasarkan informasi yang salah. Dari sinilah arus opini publik sering menjebak kamu.

3. Emosi lebih cepat menular daripada logika

ilustrasi sekelompok orang yang membahas sesuatu (unsplash.com/@antenna)

Opini publik seringkali terbentuk karena emosi kolektif yang meledak-ledak, seperti marah, sedih, takut, atau kecewa. Sayangnya, emosi jauh lebih menular dibanding logika. Ketika orang-orang di sekitar kamu menunjukkan reaksi emosional terhadap suatu isu, kamu pun ikut larut. Entah itu karena empati, tekanan sosial, atau hanya karena ingin merasa "terlibat."

Reaksi emosional ini bisa sangat kuat, sampai-sampai logika tidak lagi punya tempat. Kamu ikut geram padahal belum tahu detail kejadiannya, atau ikut menyalahkan seseorang hanya karena namanya trending.

Dalam situasi ini, opini publik tidak lagi menjadi cermin suara masyarakat, melainkan gelombang emosi yang menggulung siapa saja yang ada di dekatnya, termasuk kamu.

4. Kebutuhan akan validasi sosial

ilustrasi membuat konten audio (pexels.com/Christina Morillo)

Kamu hidup di zaman validasi instan, seperti like, comment, dan share. Mungkin kamu ingin terlihat “on trend,” berpihak pada yang sedang ramai, atau menjadi bagian dari sesuatu yang besar. Ini membuat kamu mudah ikut menyuarakan pendapat publik hanya demi dianggap relevan atau diterima oleh komunitas online.

Sayangnya, validasi ini sering jadi jebakan. Kamu jadi membentuk sikap bukan berdasarkan pendirian, tapi demi mendapatkan pengakuan. Ketika opini mayoritas berubah, kamu ikut berubah pula. Bukan karena kamu sadar atau berkembang, tapi karena takut kehilangan engagement atau dikira "nggak update".

5. Kurangnya kesadaran diri dan pendirian pribadi

ilustrasi memainkan ponsel di kamar tidur (pexels.com/SHVETS production)

Terakhir, alasan mendasar kenapa kamu mudah terbawa arus adalah karena kamu belum sepenuhnya mengenal diri sendiri. Kamu belum benar-benar tahu apa nilai yang kamu pegang, apa yang kamu percayai, dan kenapa kamu percaya itu. Jadi saat ada isu hangat, kamu lebih gampang terombang-ambing oleh suara orang lain.

Pendirian itu bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Ia dibentuk lewat pengalaman, pembelajaran, dan refleksi diri. Tanpa proses itu, kamu jadi seperti kapal tanpa arah, yang ikut ke mana ombak membawa. Sementara mereka yang punya pendirian kuat bisa tetap tenang, meski berada di tengah badai opini publik.

Mudah terbawa arus opini publik adalah hal yang sangat manusiawi. Kamu hidup berdampingan dengan banyak suara, dan wajar jika sesekali merasa ingin menyatu. Tapi penting untuk menyadari bahwa tidak semua suara mayoritas benar, dan tidak semua tren layak kamu ikuti. Kamu punya tanggung jawab untuk berpikir, bukan sekadar bereaksi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ananda Zaura
EditorAnanda Zaura
Follow Us