5 Asumsi Salah Tentang Identitas Diri yang Dianggap Pembenaran!

Identitas diri atau jati diri adalah gambaran perilaku yang melekat pada diri seseorang hingga membentuk pribadi yang unik dan berbeda. Setiap manusia memiliki identitas diri yang dibawa dari lahir berupa identitas seksual, gender, agama, dan nasional. Dari jenis-jenis identitas tersebut bisa membentuk cerminan bagi karakter seseorang.
Dalam prosesnya manusia menghadapi pencarian identitas diri yang rumit. Segala tempaan dari sosial, lingkungan, dan keluarga bisa mempengaruhi sudut pandang seseorang untuk mengenali dirinya sendiri. Hingga timbulnya krisis identitas diri berupa rasa bingung terhadap masalah dirinya sendiri.
Pada akhirnya, pembenaran yang salah menjadi acuan dalam pencarian jati diri. Seperti lima asumsi salah tentang identitas diri yang dianggap benar di bawah ini!
1. Pencarian jati diri merujuk pada kebebasan hidup

Manusia dewasa yang matang secara pikiran dan materi lebih memiliki kebebasan dalam keputusan penting hidupnya. Namun, bukan berarti hidupnya bebas dalam segala hal tanpa peraturan. Setiap yang bergerak pasti memiliki aturan dan jalurnya masing-masing. Begitupun manusia yang memiliki pikiran yang sehat.
Pencarian jati diri yang merujuk pada kebebasan bisa saja melegalkan perilaku yang salah. Bahkan dalam proses pencarian identitas diri kita tetap berada dalam jalur aturan yang berlaku dalam masyarakat sehingga tidak merugikan orang lain dan diri sendiri.
2. Menolak budaya, norma, dan sosial sebagai jati diri

Jati diri sudah terbentuk setengahnya saat kita lahir dengan membawa identitas diri berupa seksual, gender, agama, dan nasional. Dalam proses pencarian selanjutnya mungkin bisa bertentangan dengan identitas bawaan yang sudah melekat.
Bukan berati kita harus menerima identitas bawaan secara total dengan paksaan. Namun, ada unsur-unsur kebaikan yang seharusnya tidak ditinggalkan demi jati diri yang lebih sehat. Contohnya seperti menjalankan perintah agama sebagai ajaran yang dianut atau menghormati nilai-nilai nasionalisme.
3. Pencarian identitas diri yang hanya berpacu pada pengalaman pribadi semata

Pengalaman pribadi memang bisa menjadikan pelajaran yang berharga dalam hidup. Namun dalam konsep identitas, pengalaman hanya bagian kecil dari proses menemukan jati diri. Sehingga perannya tidak cukup memberi nilai untuk identitas diri. Bagaimana jika pengalaman berupa kumpulan keburukan yang melekat dalam kepribadian seseorang?
Tentunya orang tersebut akan berpangku pada pikiran sempit tentang dirinya sendiri. Hingga menjadikannya pribadi sombong yang membanggakan pengalaman sebagai identitas diri. Pada ujung-ujungnya dirinya hanya stagnan untuk hidup berdasarkan pengalaman dirinya sendiri.
4. Memutuskan interaksi sosial dalam proses pencarian jati diri

Interaksi sosial bisa terputus karena faktor toksik atau adanya perilaku menyimpang di dalamnya. Dalam konsep pencarian jati diri, seseorang justru paling butuh interaksi sosial demi menemukan tujuannya. Jadi pribadi yang menarik diri dari sosial tidak bisa dikatakan sebagai identitas diri.
Orang-orang tersebut bisa jadi sebagai pribadi yang trauma dan kecewa terhadap lingkungan sosialnya. Sehingga membentuk pribadi tertutup dalam kelompoknya. Seiring berjalanya waktu proses pencarian identitas diri tetap butuh peran sosial untuk mempatenkan nilai diri dalam masyarakat.
5. Mengikuti dan meniru identitas pribadi orang-orang yang dikaguminya

Memiliki idola atau sosok yang dikagumi bukan berarti harus meninggalkan identitas diri sendiri. Mengikuti segala perilaku, gaya bahasa, sampai ke goals yang sama hanya membentuk tindakan sesaat yang bisa jadi menyiksa diri sendiri. Dalam artian kita memaksa diri untuk menjadi orang lain, meskipun orang tersebut adalah sosok yang kita kagumi.
Orang lain bukan acuan untuk menemukan identitas diri. Perilaku orang lain memang bisa diteladani, namun keunikan berpikir dan rasa nyaman hanya bisa dirasakan oleh diri sendiri. Jadi sengaja meniru kehidupan orang lain sebagai jati diri hanya membawa dampak yang sia-sia.
Proses pencarian identitas diri bisa berjalan mudah sampai ke paling sulit. Bagi yang merasakan sulit, patuhi segala rambu-rambu kehidupan seperti perintah agama, norma, dan sosial. Karena setiap yang taat akan menemukan jalan terbaik untuk kebaikan hidupnya sendiri.