5 Alasan Seseorang Selalu Terjebak dalam Self Criticism, Mari Sadari!

- Budaya perfeksionis yang tertanam kuat
- Terjebak dalam perbandingan sosial tidak sehat
- Tidak mampu membedakan antara refleksi diri dengan kritik diri
Self criticism atau kebiasaan mengkritik diri sendiri mungkin terdengar seperti bentuk evaluasi yang sehat. Namun, jika terlalu berlebihan dalam mengkritik diri sendiri, hal ini justru menjadi jebakan mental. Kita tumbuh menjadi individu yang sulit berkembang dan kehilangan rasa percaya diri.
Kritik diri yang berlangsung secara terus-menerus pada akhirnya akan mengikis sikap optimis. Inilah yang memperkuat rasa bersalah dan menimbulkan perasaan gagal berkelanjutan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Berikut lima sebab utama seseorang kerap terjebak dalam pola self criticism tanpa disadari.
1. Budaya perfeksionis yang tertanam kuat

Pernahkah terjebak dalam budaya yang selalu menekankan pentingnya menjadi sosok sempurna dalam situasi apapun? Dalam budaya seperti ini, kesalahan sering dianggap sebagai kegagalan besar. Bukan sebagai bagian alami dari proses belajar. Kritikan keras tanpa dukungan emosional merusak kestabilan mental.
Pada akhirnya ini berubah menjadi kritikan terhadap diri sendiri berkelanjutan. Perfeksionisme yang tertanam kuat membuat seseorang sulit menghargai proses. Fokus utama hanya pada hasil akhir yang sempurna tanpa celah kekurangan. Akibatnya, sedikit saja ada kesalahan, ia langsung menyalahkan diri tanpa memberi ruang untuk berbenah.
2. Terjebak dalam perbandingan sosial tidak sehat

Tidak dapat dimungkiri jika kita sedang menjalani kehidupan dengan pengaruh digital di dalamnya. Di era media sosial, membandingkan diri dengan orang lain menjadi tren yang nyaris tak terhindarkan. Setiap kali membuka ponsel, kita disuguhi pencapaian, kebahagiaan, atau gaya hidup orang lain yang tampak tanpa cela.
Seseorang yang sering melakukan perbandingan sosial ini kerap merasa dirinya kurang dalam hal apapun. Entah kurang sukses, kurang menarik, atau kurang berharga. Dalam jangka panjang, kebiasaan tersebut memperkuat rasa tidak puas terhadap diri sendiri. Semakin banyak membandingkan, semakin tajam pula kritik terhadap diri sendiri.
3. Tidak mampu membedakan antara refleksi diri dengan kritik diri

Banyak orang berpikir mengkritik diri adalah bentuk introspeksi, padahal keduanya jelas berbeda. Refleksi bertujuan memahami diri dan belajar dari pengalaman. Sedangkan kritik diri sering kali bersifat menyalahkan diri secara berlebihan tanpa memberi ruang untuk berbenah.
Seseorang yang tidak mampu membedakan keduanya cenderung menilai diri dengan kalimat yang keras. Seperti tuduhan gagal, bodoh, atau bahkan tidak layak bahagia. Kesalahpahaman ini membuat seseorang terjebak dalam pola pikir negatif yang membuat dirinya menghakimi diri secara berlebihan.
4. Pengaruh lingkungan dan budaya yang terlalu menekan

Tentu kita sudah tidak asing dengan lingkungan yang memiliki standar tinggi terhadap pencapaian, kedisiplinan, atau kesempurnaan moral. Nilai-nilai tersebut bisa menjadi sumber motivasi. Tapi di satu sisi juga dapat menimbulkan tekanan berlebihan.
Dalam situasi ini, self criticism muncul bukan karena seseorang benar-benar tidak mampu. Melainkan karena lingkungan terus menuntutnya menjadi versi ideal yang nyaris mustahil dicapai. Ketika gagal mengikuti standar yang ditetapkan lingkungan, seseorang cenderung menyalahkan diri berlebihan.
5. Ketidakmampuan dalam menerima diri secara utuh

Mengkritisi diri secara berlebihan bukan lagi sebagai bentuk evaluasi. Tapi ini adalah bentuk menghakimi diri dan menghancurkan sikap optimis. Lantas, apa yang membuat seseorang bisa terjebak ke dalam situasi demikian ini?
Akar terdalam dari self criticism adalah kurangnya kasih sayang terhadap diri sendiri. Banyak orang kesulitan untuk menerima bahwa menjadi manusia berarti tak luput dari kesalahan, rasa lemah, dan ketidaksempurnaan. Mereka tidak mampu menerima kekurangan dan kelebihan yang terdapat dalam diri dengan lapang hati.
Terdapat beberapa hal yang membuat seseorang kerap terjebak dalam situasi self criticism. Baik dari kekeliruan dalam menyikapi kegagalan, pengaruh lingkungan sosial, atau budaya perfeksionis yang terlalu mendominasi. Jika dibiarkan, self criticism akan berkembang menjadi kekacauan yang buat seseorang kehilangan identitas dirinya.