4 Alasan 'Slow Living' Sulit Diterapkan di Kota Besar

- Kota besar adalah tempat yang penuh dengan kecepatan dan hiruk-pikuk, membuat konsep slow living sulit diterapkan
- Tekanan finansial dan biaya hidup tinggi di kota besar membuat sulit untuk meluangkan waktu untuk slow living
- Minimnya ruang hijau di kota besar menghambat kemampuan seseorang untuk bersantai dan terhubung dengan alam dalam menerapkan slow living
Hidup di tengah kota besar itu rasanya seperti ikut lomba maraton tanpa garis akhir. Mulai dari pagi yang penuh suara klakson hingga malam yang masih sibuk dengan lampu-lampu jalan, segalanya terasa bergerak cepat. Di tengah hiruk-pikuk itu, konsep slow living yang menawarkan kehidupan santai dan penuh kesadaran sering terdengar seperti mimpi belaka. Meski terdengar menarik, mencoba menerapkannya di kota besar ternyata punya tantangan tersendiri.
Kota besar sering kali menuntut kita untuk terus bergerak, tanpa waktu untuk berhenti sejenak dan menikmati momen. Jadwal yang padat, target yang terus mengejar, hingga kemacetan yang memakan waktu membuat slow living jadi tantangan nyata. Berikut ini ada empat alasan kenapa gaya hidup ini sulit diterapkan di kota besar.
1. Ritme kota yang super cepat

Kota besar itu seperti mesin besar yang tidak pernah berhenti. Setiap orang berlomba dengan waktu, dari pekerja kantoran yang mengejar rapat hingga pedagang kaki lima yang sibuk melayani pembeli. Kecepatan ini membuat hidup serasa terprogram, tanpa celah untuk berhenti dan menikmati momen sederhana.
Saat semuanya berjalan serba cepat, menerapkan slow living berarti melawan arus. Bayangkan saja, saat orang lain sibuk berpacu dengan waktu, mencoba menikmati sarapan dengan tenang bisa jadi hal mewah. Ritme ini membuat banyak orang merasa sulit untuk benar-benar melambat dan memberi ruang untuk refleksi diri.
2. Biaya hidup yang tinggi

Hidup di kota besar itu identik dengan biaya hidup yang selangit. Dari kebutuhan pokok hingga biaya transportasi, semuanya terasa mahal. Hal ini membuat banyak orang bekerja ekstra keras hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dengan tekanan finansial seperti ini, sulit rasanya meluangkan waktu untuk slow living. Gaya hidup ini seringkali dikaitkan dengan kesederhanaan dan prioritas pada kualitas hidup, tapi bagaimana caranya fokus pada kualitas kalau kebutuhan dasar saja sering membuat pusing?
3. Minimnya ruang hijau

Coba deh perhatikan, berapa banyak ruang hijau yang tersedia di tengah kota besar? Kebanyakan kota besar dipenuhi oleh gedung-gedung tinggi, jalan raya, dan pusat perbelanjaan. Ruang hijau yang seharusnya jadi tempat untuk bersantai dan terhubung dengan alam malah menjadi barang langka.
Minimnya ruang hijau ini membuat orang sulit menemukan tempat untuk melarikan diri sejenak dari keramaian. Slow living sering kali membutuhkan momen tenang bersama alam, tapi kalau pemandangan sehari-hari hanya beton dan aspal, rasanya sulit sekali untuk benar-benar merasa santai.
4. Tekanan sosial dan budaya

Di kota besar, hidup sering kali dilihat dari produktivitas dan pencapaian. Tekanan sosial ini membuat banyak orang merasa harus terus bekerja keras untuk "tampil berhasil" di mata orang lain. Istilah-istilah seperti hustle culture bahkan jadi kebanggaan bagi sebagian orang.
Dalam lingkungan seperti ini, menjalani slow living sering dianggap sebagai kemalasan atau kurang ambisi. Akibatnya, banyak orang memilih mengikuti arus, meskipun sebenarnya mereka lelah. Tekanan ini membuat penerapan slow living semakin sulit di kota besar.
Menerapkan slow living di kota besar memang penuh tantangan, tapi bukan berarti tidak mungkin. Butuh keberanian untuk melawan arus dan menemukan cara menikmati momen di tengah kesibukan. Bagaimana menurutmu, sudah siap mencoba?