"Kami berempat kan dari komunitas Bahasa Inggris di Jakarta dan sama-sama suka membaca buku. Akhirnya, tahun 2019 kami bikin Kumpulbaca. Saat itu, komunitas baca belum banyak dan yang ada pun sifatnya eksklusif. Kayak harus bayar membership atau dibentuk oleh institusi seperti perpustakaan. Padahal, gak semua orang punya kemampuan atau minat yang sama," tambah Ayu.
Kustin Ayuwuragil Desmuflihah Rawat Cinta Membaca Lewat Komunitas Inklusif

- Kumpulbaca lahir untuk mematahkan stigma komunitas baca eksklusif
- Komunitas Ayu menjadi pelopor silent reading lewat 'Sejam Membaca'
- Program Kumpulbaca mencoba membangun atmosfer bahwa membaca itu menyenangkan
Jakarta, IDN Times - Di tengah arus informasi yang kian deras, membaca sering kali kalah cepat dari scroll layar. Padahal, kemampuan literasi bukan sekadar soal bisa membaca huruf, tetapi memahami makna, membangun empati, dan membuka cakrawala berpikir. Di banyak tempat, kegiatan membaca masih dianggap hal mewah, baik karena keterbatasan akses buku maupun karena belum tumbuhnya budaya yang mendukungnya. Namun, di balik tantangan itu, selalu ada orang-orang yang memilih menyalakan cahaya kecil agar semangat membaca tak padam.
Salah satunya adalah Kustin Ayuwuragil Desmuflihah, sosok di balik komunitas Kumpulbaca. Siang itu, tepatnya pada Minggu (26/10/2025) di Perpustakaan Cikini Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, ia tengah mempersiapkan workshop literasi bersama rekan-rekannya. Di sela persiapan acara itu, Ayuwuragil atau akrab disapa Ayu, bercerita secara langsung kepada IDN Times tentang kisahnya membangun Kumpulbaca dan pentingnya menciptakan ruang baca yang inklusif. Ruang yang tak menghakimi latar, cara berpikir, atau preferensi bacaan siapa pun. Baginya, literasi bukan sekadar kegiatan membaca, melainkan gerakan sosial yang bisa menyatukan banyak pengalaman manusia.
Melalui Kumpulbaca, Ayuwuragil dan timnya mencoba menghadirkan kembali kegembiraan membaca dalam bentuk yang hangat dan mudah diakses. Dari ruang-ruang kecil inilah, perlahan tumbuh kesadaran bahwa membaca bukan sekadar aktivitas personal, melainkan jembatan untuk memahami satu sama lain. Mari ikuti lebih dalam cerita Ayuwuragil dan bagaimana ia tumbuh melalui berbagai bacaan serta buku!
1. Lahirnya Kumpulbaca bermaksud mematahkan stigma bahwa komunitas baca bersifat eksklusif

Kumpulbaca menjadi komunitas yang dibangun oleh Ayu bersama 3 kawan lainnya pada 2019. Menurut Ayu, pada masa itu, belum banyak komunitas baca yang bisa menaungi atau mewadahi para book enthusiast secara inklusif. Mayoritas komunitas baca bersifat eksklusif dan tidak mudah diakses. Itulah yang menjadi salah satu pemantik Ayu dan kawan-kawannya mendirikan Kumpulbaca. Ada pun tujuan utamanya untuk menjadikan kegiatan membaca lebih inklusif.
Ayu pun mengatakan bahwa saat ini sudah banyak komunitas membaca yang lebih terbuka dan dibangun oleh berbagai komunitas independen, bukan hanya dari instansi resmi atau formal. Hal tersebut menjadi salah satu fondasi untuk membuat kegiatan membaca lebih bisa dijangkau oleh banyak orang.
2. Komunitas yang Ayu bangun menjadi salah satu pelopor silent reading lewat 'Sejam Membaca'

Di awal kehadirannya, Ayu bersama Kumpulbaca menginisiasi kampanye bertajuk Sejam Membaca. Di tengah menurunnya minat baca dan kebiasaan digital yang serba cepat, ajakan sederhana untuk meluangkan satu jam membaca setiap hari, terasa seperti napas baru. Gerakan ini tidak hanya mengembalikan esensi membaca sebagai aktivitas reflektif, tetapi juga menciptakan ruang hening yang penuh makna.
Ayu mengenang bahwa inisiatif tersebut bermula dari keprihatinan atas rendahnya durasi membaca masyarakat Indonesia. Ia dan timnya kemudian menggagas kampanye Sejam Membaca sebagai langkah kecil yang bisa dilakukan siapa saja. Dari sana, perlahan tumbuh komunitas-komunitas serupa di berbagai kota. Semuanya digerakkan oleh semangat anak muda yang ingin menjadikan membaca sebagai kebiasaan sosial baru.
"Waktu itu, kampanye utamanya adalah Sejam Membaca. Ada literatur dari Perpustakaan Nasional tahun 2017 yang bilang, rata-rata orang Indonesia membaca kurang dari satu jam per hari (30-59 menit). Akhirnya, kami kampanyekan itu dan sekarang alhamdulillah banyak komunitas serupa di seluruh Indonesia, digerakkan anak muda. Senang banget bisa jadi salah satu pelopor gerakan silent reading ini," ujar Ayu.
3. Program yang dihadirkan mencoba membangun atmosfer bahwa membaca itu menyenangkan

Lewat programnya, Kumpulbaca ingin mematahkan stereotip bahwa membaca selalu identik dengan kegiatan serius, kaku, atau membosankan. Ayu dan timnya percaya bahwa kebiasaan membaca hanya bisa tumbuh jika suasananya terasa akrab dan menyenangkan. Karena itu, mereka merancang setiap kegiatan dengan nuansa santai, interaktif, dan tidak menggurui sehingga membuat siapa pun, dari pelajar hingga pekerja muda, merasa nyaman untuk bergabung tanpa tekanan.
Alih-alih sekadar duduk diam membuka buku, kegiatan ini juga dikemas dalam berbagai bentuk aktivitas. Peserta diajak berdialog dengan penulis, menonton film yang berkaitan dengan literasi, bahkan sekadar piknik sambil berbincang ringan tentang buku. Semua ini dilakukan untuk menumbuhkan atmosfer membaca yang cair dan relevan dengan gaya hidup anak muda masa kini.
"Di program Sejam Membaca, peserta bisa langsung membaca selama satu jam dan bebas baca apa saja. Terus kegiatannya cukup beragam, bisa menulis, bahas proses kreatif, nonton film, main game, atau piknik sambil ngobrolin buku. Intinya, membaca dibuat menyenangkan," jelasnya.
Ayu juga menambahkan, ia menghindari kegiatan komunitas yang terlalu serius dan membahas bacaan melalui pendekatan lebih teoritis. Ia mencoba untuk mengangkat topik lebih ringan, seperti alasan pembaca membaca buku yang ia pilih dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan agar orang-orang yang datang di kegiatan Kumpulbaca memiliki sense of belonging dan bisa menemukan teman baca yang cocok.
4. Bagi Ayu, perkembangan membaca/literasi di Indonesia sudah lebih signifikan

Bagi Ayu, geliat literasi di Indonesia kini menunjukkan arah yang menggembirakan. Jika dulu kegiatan membaca di ruang publik masih dianggap langka, kini kebiasaan itu mulai tumbuh secara alami di berbagai tempat. Ia melihat semakin banyak anak muda yang membawa buku ke mana pun, membaca di kafe, taman, bahkan di transportasi umum. Hal-hal sederhana itu menandakan bahwa membaca sudah mulai menjadi bagian dari keseharian, bukan lagi sesuatu yang dianggap berbeda.
Optimisme Ayu terhadap masa depan literasi juga tumbuh dari pengamatannya sehari-hari. Menurutnya, gerakan membaca kini tak hanya digerakkan oleh lembaga besar, tapi juga oleh komunitas-komunitas kecil yang muncul di berbagai daerah. Semua punya cara unik untuk mengajak masyarakat membaca, dari silent reading, book swap, hingga diskusi buku lintas kota.
"Menurutku sudah bagus banget, apalagi di Jakarta. Di berbagai tempat sudah ada kegiatan baca. Pada 2019, aku sempat ikut gerakan baca di kereta biar orang terbiasa melihat orang membaca tanpa aneh. Sekarang udah gak perlu, udah banyak yang baca di MRT, LRT, atau KRL," kenangnya.
Meskipun begitu, tak dimungkiri bahwa akses dan fasilitas membaca memang lebih banyak hadir di kota besar seperti Jakarta. Namun, Ayu juga melihat bahwa banyak juga kota-kota lain seperti Jogja, Bandung, dan Bali yang sudah mulai memiliki banyak komunitas membaca. Selain itu, sudah banyak juga toko buku yang bukan hanya menjual buku, namun membangun relasi dan kebiasaan literasi.
5. Manfaat yang didapatkan dari membaca tidak perlu dikotak-kotakkan (berdasarkan genre)

Beberapa waktu lalu, diskursus tentang genre buku tengah banyak diperbincangkan. Banyak orang yang menganggap bahwa manfaat yang didapatkan dari bacaan fiksi tidak akan sesignifikan nonfiksi. Namun, menurut Ayu, manfaat dari membaca buku itu tidak seharusnya dikotak-kotakkan. Baik fiksi maupun nonfiksi, semuanya bisa mendapatkan manfaat yang berharga.
"Menurutku, semua bacaan punya manfaat, baik fiksi maupun nonfiksi. Awalnya ngerasa nonfiksi berat banget. Tapi makin ke sini, aku sadar dua-duanya penting. Kalau mau memperdalam empati dan pengalaman, aku ke fiksi. Kalau butuh ilmu cepat dan konkret, ke nonfiksi," ucap Ayu.
Di sisi lain, Ayu juga melihat bahwa saat ini banyak buku nonfiksi psikologis yang sifatnya naratif. Hal tersebut membuktikan bahwa batas antara fiksi dan nonfiksi sebenarnya sudah mulai kabur. Kita bisa memilih bacaan sesuai preferensi pribadi tergantung kebutuhan.
6. Keluar dari zona nyaman bisa membantu kita mendapatkan pengalaman lebih luas

Selain aktif di kegiatan Kumpulbaca, Ayu juga melewati banyak proses hidup lainnya. Ia sempat menjadi jurnalis di media nasional hingga saat ini bekerja untuk Kementerian Hukum Republik Indonesia. Di komunitas Kumpulbaca juga, Ayu mengalami perjalanan yang cukup panjang dan berpengaruh dalam kehidupannya. Dalam setiap segmen perjalanannya itu, Ayu menyimpulkan bahwa: sesekali penting bagi kita untuk keluar dari zona nyaman.
"Aku dulu gak suka tampil di publik. Tapi karena aktif di komunitas, mau gak mau aku harus belajar ngomong, jadi moderator, MC, dan sebagainya. Dari situ, aku belajar keluar dari zona nyaman dan ternyata semua ilmu yang aku pelajari, semuanya berguna di Kumpulbaca," pungkas Ayu.
Ayu mengatakan bahwa berbagai pengalaman yang kita dapatkan akan menjelma menjadi sebuah akumulasi ilmu pengetahuan. Hal itu nantinya bisa kita manfaatkan juga di perjalanan hidup yang lainnya sehingga tidak ada salahnya untuk mencoba hal-hal baru, bahkan hal yang mengharuskan kita keluar dari zona nyaman.



















