Bali pun tersenyum malu
Hari ke hari tambah berseri
Seakan tak hentinya bersolek diri
Bali pun tersenyum memohon diri
Bali Tersenyum Kembali, Reza Riyady Mengalirkan Keajaiban ke Desa Ban

Potongan lirik lagu dangdut lawas berjudul “Bali Tersenyum” yang dinyanyikan oleh Bariah Hamid pada 1991 seolah menemukan maknanya kembali tiga dekade kemudian. Kali ini, gema kebahagiaan dari lagu tersebut hidup dalam semangat seorang pemuda bernama Reza Riyady Pragita. Berbekal keyakinan sederhana bahwa kebahagiaan hadir ketika kita menjadi alasan orang lain tersenyum, Reza melahirkan tagline balitersenyum.id yaitu “Senyummu, Senyumku, Senyum Kita Bersama.”
Konon, Bandung tercipta ketika Tuhan sedang tersenyum. Barangkali, semangat serupa mendorong Reza menciptakan balitersenyum.id agar setiap manusia yang hadir di dunia membawa cahaya, tawa, dan harapan. Ia ingin menjaga agar senyum itu tidak pernah hilang dari wajah siapa pun. Barangkali, senyum memang menjadi booster jiwa bagi Reza Riyady.
Bersama Bali Tersenyum.id, Reza menggagas program SAUS (Sumber Air Untuk Sesama), sebuah inisiatif menumbuhkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Prinsip hidup yang selalu ia pegang yakni seperti pohon yang hidup dan menghidupi berhasil mengantarkan Reza meraih apresiasi 13th SATU Indonesia Awards 2022 tingkat Provinsi di bidang Kesehatan. Penulis berkesempatan mendengarkan langsung kisah inspiratif Reza Riyady Pragita tentang bagaimana ia menyalurkan keajaiban ke Desa Ban. Penasaran bagaimana kisahnya? Yuk, simak sampai habis. Siapa tahu semangat Reza turut menular pada kita semua.
1. Dari dunia keperawatan, Reza Riyady menyemai cinta melalui Program SAUS

Reza Riyady kini bertugas sebagai perawat di RSUD Klungkung, Bali. Sejak awal kariernya, ia aktif berbagi pengetahuan seputar keperawatan dan kegawatdaruratan, baik kepada rekan sejawat maupun masyarakat luas. Gelar Ns. yang tersemat di depan namanya menjadi bukti dedikasi setelah menempuh pendidikan profesi keperawatan.
Kecintaan Reza terhadap dunia keperawatan tumbuh dari keteladanan sosok Florence Nightingale, perempuan yang dikenal sebagai The Lady with the Lamp. Di tengah perang Krimea, Florence menyalakan cahaya dan harapan bagi para korban perang tanpa kenal takut. Dari sosok itulah Reza belajar bahwa menjadi perawat berarti menjadi terang bagi sesama, di mana pun berada.
"Kecintaan saya terhadap profesi keperawatan dimana filosofi dari keperawatan itu sendiri adalah the light in the darkness gitu loh. Jadi kalau tahu filosofi dari keperawatan pada awalnya keperawatan modern itu the lady with the lamp, perempuan yang berjalan membawa lampu senter menjadi cahaya pada saat perang dunia. Nah, saya tuh pengin jadi sosok seperti itu, gitu. Karena itu satu sosok yang menginspirasi saya" tutur Reza saat menjadi pembicara di Workshop Menulis Online dan Bincang Inspiratif Astra 2025, Selasa (21/10/2025).
Pandangan Reza sejalan dengan filosofi Florence Nightingale yang tetap relevan dalam pendidikan keperawatan masa kini maupun masa depan. Bagi Reza, keperawatan tidak hanya memberikan asuhan keperawatan pada orang yang sakit, tapi merujuk pada kebutuhan dasar manusia. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin masyarakat dapat menjalani pola hidup bersih dan sehat jika kebutuhan paling mendasar seperti air belum terpenuhi? Dari kegelisahan itulah muncul gagasan untuk membangun proyek SAUS.
2. Air bersih menjadi masalah terbesar yang menggerakkan langkah Reza

Reza Riyady masih mengingat jelas saat dirinya menonton sebuah iklan di televisi yang menampilkan warga tersenyum bahagia setelah akhirnya mendapatkan akses air bersih. Tayangan sederhana itu membangkitkan kenangan lamanya ketika ia pertama kali menapakkan kaki di Karangasem, Bali Timur, pada tahun 2019. Niat awalnya hanyalah untuk berlibur, tetapi perjalanan tersebut justru mengubah cara pandangnya tentang Bali.
Di balik kemegahan pariwisata dan kilau Pulau Dewata, Reza menemukan kenyataan yang jarang tersorot yaitu desa-desa kering yang menanti tetes air dan warga yang masih berjuang akibat dampak letusan Gunung Agung. Mulanya, Reza berencana menjalankan program bedah rumah. Setelah menyaksikan langsung kondisi masyarakat, ia sadar bahwa persoalan terbesar bukanlah tempat tinggal, melainkan air bersih. Salah satu pemandangan yang tak pernah ia lupakan adalah ketika melihat seorang ibu berjalan sejauh lima kilometer sambil mendorong jeriken berisi air.
Di Desa Ban, Karangasem, banyak warga hanya bisa mandi setiap tiga hari sekali. Mereka memahami pentingnya menjaga kebersihan dan mencuci tangan yang benar. Tanpa air bersih, semua pengetahuan itu tak berarti. Sebuah ironi di tengah citra Bali yang megah, ternyata masih menyimpan kisah dahaga yang menanti untuk disembuhkan.
3. Reza dan tim menggunakan pendekatan Community as Partner dalam menggagas program SAUS

Sepulang dari perjalanan tersebut, Reza mulai melakukan penelitian kecil-kecilan. Ia menemukan kenyataan pahit bahwa warga setempat harus membeli air bersih sebesar Rp100 ribu per jeriken. Jika ingin mendapatkannya tanpa biaya, satu-satunya harapan hanyalah bantuan dari BPBD yang datang saat musim kemarau. Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Karangasem 2024, dari 57 sarana air minum yang ada, hanya 82,5 persen yang memenuhi standar air layak konsumsi. Desa Ban tercatat sebagai salah satu dari sepuluh wilayah dengan akses air bersih yang masih belum sesuai standar.
Untuk menjawab persoalan itu, Reza dan tim menerapkan pendekatan Community as Partner (CAP). Metode tersebut menempatkan masyarakat bukan sebagai objek bantuan, melainkan mitra aktif dalam menyelesaikan masalah mereka sendiri. "Kita menggunakan pendekatan Community as Partner. Kalau teman-teman mungkin biasanya tahunya community development atau community empowerment, di keperawatan itu punya namanya Community as partner. Masyarakat itu bukan sebagai objek asuhan keperawatan kita, tetapi masyarakat yang akan menyelesaikan masalahnya mereka sendiri." jelas Reza
Bersama warga, Reza menelusuri jalan berbatu dan menanjak menuju sumber mata air di pegunungan. Ia bukan pejabat, apalagi pengusaha. Statusnya saat itu hanyalah perawat honorer dengan penghasilan pas-pasan. Namun tekadnya jauh melampaui keterbatasan. “Saya tidak punya banyak uang, tapi saya punya tekad yang kuat bahwa saya bisa bantu.” katanya.
Setelah dilakukan survei dan uji kelayakan air bersama Dinas Lingkungan Hidup, hasilnya menunjukkan bahwa air tersebut aman untuk dikonsumsi. Reza kemudian menggalang dana melalui kitabisa.com dan berbagai platform media sosial. Ia menghubungi teman-temannya, para influencer, hingga siapa pun yang bersedia membantu menyebarkan pesan bertajuk Sumber Air untuk Sesama di Desa Ban. Tak disangka, dukungan mengalir deras dari berbagai penjuru, bahkan sejumlah figur publik ikut membantu memperluas kampanye ini.
Pada Januari 2020, mimpi itu akhirnya terwujud. Bak penampungan air pertama diresmikan di Desa Ban. Dana sekitar Rp30 juta yang terkumpul juga disalurkan untuk menyediakan paket sembako sebagai ungkapan syukur atas hadirnya sumber kehidupan baru. Sejak saat itu, Bali benar-benar tersenyum kembali karena air kini mengalir di desa yang dulu haus akan harapan.
4. Komitmen Reza sempat diuji di awal perjalanan program SAUS

Reza juga menuturkan bahwa tantangan terbesar dalam menjalankan project SAUS ini bukan soal dana atau waktu, melainkan komitmen pribadi. Ia sendiri sempat memulai langkahnya begitu semangat. Sampai akhirnya di tengah perjalanan, komitmennya sempat goyah. "Ngapain sih saya buat melakukan hal itu? Itu loh bukan keluarga saya gitu. Dalam hati tiba-tiba mikir kayak ya Tuhan capek banget ya kayak gini bantu-bantuin orang." keluh Reza
Rasa lelah itu benar-benar dirasakan Reza, terlebih ketika dana yang terkumpul begitu minim. Ia sempat merasa buntu, menangis, dan tak tahu harus berbuat apa. Di saat itulah, ia berserah diri kepada Tuhan.
"Saya masih ingat banget di ruang logistik. Salat sampai divideoin sama teman. Saya tumben-tumbenan salat sampai nangis. Saya tuh bilang kayak gini. Ya Allah bila program ini baik, lancarkanlah. Bila program ini enggak baik, maka bantu hamba untuk legowo dengan semua ini." tutur Reza penuh haru.
Bagi sebagian orang, langkah Reza mungkin tampak ambisius. Namun, ia sudah terlanjur berkomitmen. Permasalahan yang dihadapi warga bukan hal sepele karena memang tidak ada sumber air. Ia sempat bertanya-tanya mengapa belum ada langkah konkret yang mampu menghadirkan solusi berkelanjutan. Meski BPBD dan PMI rutin menyalurkan air bersih, bukankah lebih bijak jika dibangun akses air permanen agar warga tak terus bergantung pada bantuan luar?
5. Sumber air yang mengalir menjadi keajaiban di Desa Ban

Pada awalnya, Reza berusaha mencari dukungan dari berbagai pihak. Padahal, Desa Ban sejatinya berada di wilayah Karangasem. Ia bahkan sempat mencoba jalur politik demi memperoleh bantuan, tetapi usahanya tidak membuahkan hasil. Tak disangka, justru dukungan datang dari masyarakat Klungkung dan teman-teman Reza dari luar daerah, termasuk dari Jakarta hingga Medan, Sumatera Utara.
Di tengah perjalanan itu, keraguan sempat menyelimuti hatinya. Ia bertanya-tanya, apakah langkah yang ditempuhnya benar-benar dibutuhkan atau justru akan menimbulkan masalah baru. Ia juga takut tertipu oleh warga setempat, wajar saja karena saat itu dirinya masih naif dan minim pengalaman. Namun, ada suara lembut di hatinya yang terus mendorong, “Ayo, lanjutkan saja.”
Reza masih ingat betul saat penggalangan dana di kitabisa.com berhenti di angka Rp2,8 juta. Padahal, hari itu adalah batas terakhir penggalangan dana dan ia benar-benar bingung, “Memang dari dana segini bisa bikin apa?” Meski begitu, ia tetap yakin bahwa apa pun yang dikerjakan dengan tulus dari hati akan mengena ke hati lainnya.
Benar saja, malam itu sebuah pesan masuk ke akun Instagram-nya. “Mas, kamu yang buat kampanye di kitabisa.com itu ya? Ceritain dong.” Setelah mendengar kisah Reza, pengirim pesan yang berasal dari Medan berkata, “Wah, kasihan juga ya, Mas. Kami mau bantu.” Awalnya mereka berencana berdonasi Rp6 juta, tetapi jumlah yang dikirim justru hampir Rp30 juta. Reza kemudian terdiam antara terharu dan tak percaya.
Kabar itu segera ia teruskan ke Yayasan Ria Asteria. “Kita dapat dana segini. Menurutmu, cukup nggak kalau bikin satu bak penampungan air di desa?” tanyanya. Pendiri yayasan itu menjawab, “Kayaknya cukup. Coba hubungi kelian adatnya.”
Reza pun segera memberi kabar kepada kelian adat setempat. “Pak, saya ada dana segini. Saya belum bisa datang langsung, tapi mohon bantu wujudkan, ya.” Warga pun bergotong royong membeli pipa, pompa, dan bahan bangunan di sekitar desa agar pengerjaan lebih mudah dilakukan.
Yang terjadi selanjutnya benar-benar seperti keajaiban. Saat peresmian, panitia bahkan sempat salah tulis di banner. Harusnya “Cubang” (sumur untuk menampung air hujan), tapi tercetak “Cupang”. Akhirnya mereka menempel kertas putih di atasnya untuk menutupi kesalahan itu. Lucu, tapi justru membuat momen itu terasa hangat dan penuh kenangan.
Sebelumnya, warga sempat berupaya membuat sumur serapan, tetapi hasilnya belum mencukupi. Reza terus mencari solusi hingga kehilangan selera makan karena memikirkannya. Tiba-tiba, datang bantuan dana sebesar Rp3 juta dari sebuah yayasan yang bahkan tidak bisa ia temukan namanya di Google. Meski begitu, uang itu nyata adanya. Seolah menjadi mukjizat kecil dari Tuhan.
Ia ikut menyaksikan sendiri ketika air pertama kali mengalir dari pipa itu. Rasanya luar biasa. Segar dan menenangkan bak napas baru bagi Desa Ban. Di hari peresmiannya, hujan turun perlahan. Konon, jika hujan turun ketika melakukan kebaikan, itu pertanda alam sedang memberi restu. Salah satu temannya yang beragama Hindu berkata,
“Wih, Ida Sang Hyang Widhi Wasa merestui jalan kita. Buktinya, beliau kasih hujan segar. Hujan yang bikin jalan kita tuh dari Denpasar panas ya. Sampai di situ tuh kayak hujannya ngebuat kita tuh teduh," ucapnya.
6. Mimpi Reza hadirkan Tirta Pemelukatan dari spirit tradisi Melukat

Dalam rencana besarnya, Reza bercita-cita ingin membangun masyarakat desa yang mandiri dan berdaya. Jalan yang ia tempuh memang tidak mudah dan membutuhkan usaha besar. Namun, semangatnya kembali menyala ketika ia diundang ke Menara Astra pada tahun 2024.
Sejak awal, tujuan Reza tak berhenti pada pembangunan penampungan air bersih. Ia ingin membuka peluang bagi para pemuda desa agar tidak perlu meninggalkan kampung halaman untuk bekerja di Denpasar atau di kapal pesiar. Ia ingin mereka pulang, berkontribusi, dan membangun tanah kelahiran sendiri.
Lebih dari itu, Reza memimpikan masyarakat Desa Ban mampu memiliki dan mengelola perusahaan air mineral mereka sendiri. Sebuah ironi memang. Di sekitar desa berdiri pabrik air besar, tetapi warganya justru kesulitan air. Andai mereka bisa mengelola sumber airnya sendiri, tentu itu akan menjadi langkah besar menuju kemandirian.
Sekarang, ketika tradisi melukat kembali populer di Bali, Reza berharap suatu hari ia bisa membangun tirta pangelukatan di Desa Ban. Ia membayangkan sumber air itu bukan hanya sebagai penopang hidup, tetapi juga menjadi pusat wisata spiritual. Harapannya sederhana agar desa Ban tumbuh sebagai desa wisata yang makmur dan berdaya, baik ada atau tanpa dirinya.
7. Anugerah SATU Indonesia Awards membuka jalan kolaborasi lebih luas bagi Reza

Anugerah SATU Indonesia Awards menjadi pintu pembuka bagi Reza untuk melangkah lebih jauh. Melalui ajang ini, ia memperluas jejaring dari berbagai individu dan organisasi yang memiliki semangat kemanusiaan serupa. Salah satunya adalah komunitas Gigi Bali Sehat yang secara rutin menyalurkan donasi sikat gigi dan memberikan edukasi kesehatan gigi kepada masyarakat. Reza tak pernah menyangka bisa kolaborasi bersama mereka jika bukan karena kesempatan yang dihadirkan oleh program tersebut.
Selain itu, Reza juga mendapat kesempatan berharga untuk berinteraksi langsung kepada banyak wartawan di Bali. Para jurnalis itu tak hanya menulis kisah perjuangannya, tetapi juga turut memberikan gagasan dan solusi terkait isu air bersih. Beberapa di antara mereka bahkan membantu menghubungkan Reza kepada pihak pemerintah. Pengalaman ini membuka pandangannya tentang pentingnya sinergi lintas bidang. Kini, Reza semakin percaya bahwa perubahan sejati tak mungkin diwujudkan sendirian. Dari setiap pertemuan dan kolaborasi itu, ia belajar bahwa kebaikan akan mengalir lebih luas ketika kita membuka hati dan bekerja bersama.
8. Proyek SAUS diharapkan jadi percontohan penyelesaian masalah air bersih di Bali

Reza berharap inisiatif ini dapat menjadi contoh nyata dalam mengatasi krisis air bersih di Bali. Menurutnya, persoalan tersebut bukan hanya dialami oleh warga Desa Ban, Karangasem, tetapi juga meluas ke daerah lain seperti Kintamani. Ia masih mengingat ungkapan seorang warga yang berkata “Daripada airnya dipakai gosok gigi, lebih baik airnya untuk minum. Daripada saya cuci tangan, mending airnya saya pakai minum sama makan” Kalimat sederhana itu begitu menampar. Hal ini menyadarkan bahwa air bersih yang kerap dianggap sepele oleh banyak orang, tetapi bagi sebagian lainnya merupakan kemewahan tak ternilai.
Ketika turut serta dalam program Gigi Bali Sehat, Reza kembali menyaksikan kenyataan serupa. Banyak anak mengalami karies gigi karena keterbatasan air bersih untuk menjaga kebersihan mulut. Pengalaman itu meneguhkan keyakinannya bahwa krisis air bukan semata persoalan infrastruktur, melainkan menyangkut nilai kemanusiaan.
Maka dari itu, Reza mengajak siapa pun yang tergerak untuk ikut berbuat. Ia yakin, negeri ini tidak hanya butuh orang cerdas, tetapi juga mereka yang berani memulai langkah perubahan. “Orang pintar banyak, tapi sedikit sekali orang yang mau memulai untuk berubah. Mari kita bergerak dari hal yang kecil.” tandasnya
9. Kolaborasi kepala desa dan kelian adat mendukung penuh program SAUS

Dalam perjalanan menjalankan program ini, Reza menyadari bahwa peran pemerintah sebenarnya tidak terlalu dominan. Justru para kepala desa dan kelian adat yang paling berperan aktif dalam memastikan kegiatan tersebut berjalan lancar. Salah satu sosok yang memberikan dukungan besar adalah Bupati Klungkung. Melalui akun Facebook Suara Klungkung, beliau ikut membantu menyebarkan kisah perjuangan Reza sehingga banyak masyarakat tergerak untuk berdonasi. Tak hanya itu, sang bupati juga secara pribadi menyumbangkan sekitar Rp1,5 juta dari kantongnya sendiri, karena dana APBD tidak dapat digunakan lintas wilayah.
Meskipun saat ini menjabat sebagai anggota DPRD, beliau masih menunjukkan kepedulian yang sama. Ia kerap menanyakan perkembangan program air di Desa Ban, bahkan sempat mengajak Reza membantu masyarakat di Nusa Penida. Reza tahu bahwa tantangannya jauh lebih berat akibat minimnya sumber air. Bagi Reza, dukungan dari masyarakat desa memiliki arti yang lebih dalam dibanding bantuan formal semata. Sebab, perubahan sejati hanya akan tumbuh dari semangat gotong royong.
Reza juga sempat turun langsung memberikan edukasi kepada warga tentang pentingnya menjaga sumber air. Kini, warga Desa Ban jauh lebih mudah mengakses air bersih, meski baru menjangkau sebagian dusun. Salah satu momen yang paling membekas di ingatannya adalah ketika sepasang kakek-nenek menghampirinya dan berkata dalam bahasa Bali halus, “Terima kasih banyak, Nak. Saya tidak tahu siapa kamu, tapi makasih sudah bantu.”
Kelian adat desa pun memberikan janji yang begitu berarti baginya. “Bak penampungan ini akan kami jaga. Kami tak ingin nasibnya seperti bantuan lain yang terbengkalai, karena ini memang benar-benar mereka yang membangun sendiri.” Ucapan itu membuatnya terdiam. Sore itu, ia dijamu begitu ramah. Ia disuguhi makanan, bahkan dibawakan keladi (ubi rambat berwarna putih) untuk dibawa pulang. Meski bukan hidangan favoritnya, Reza menerimanya dengan senang hati karena tahu, di balik pemberian sederhana itu ada rasa terima kasih yang tulus.
Sebagai ungkapan syukur, warga pun memasak keladi itu untuk disantap bersama. Dalam suasana penuh keakraban, Reza berkunjung ke rumah seorang kakek yang memeluknya hangat sambil menyerahkan buah dari hasil kebunnya. Saat itu, Reza tersadar bahwa sesuatu yang tampak sepele seperti air ternyata bisa mengubah hidup banyak orang.
Bekerja di RSUD Klungkung, Reza sering menerima pasien dari Desa Ban, wilayah di utara Karangasem. Dahulu, banyak anak datang dengan dehidrasi berat akibat diare karena air kotor. Kini, kasus seperti itu sudah jarang ditemui. “Alhamdulillah, data Riskesdas Provinsi Bali itu meningkat. Berarti di sini bisa kita lihat terjadi pertumbuhan data yang cukup baik. Walaupun bukan karena desa Ban, tapi setidaknya mampu membantu Bali untuk tetap berada di lima besar provinsi yang menunjukkan peningkatan angka perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) terbaik,” ujarnya.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tahun 2021, Bali menempati posisi tertinggi di Indonesia dengan proporsi individu berperilaku hidup bersih dan sehat sebesar 59,2 persen, disusul DKI Jakarta (55,2 persen) dan DI Yogyakarta (51,9 persen). Dari dua belas provinsi yang melampaui rata-rata nasional, hanya tiga di antaranya Bali, Yogyakarta, dan DKI Jakarta yang lebih dari separuh rumah tangganya menerapkan PHBS.
Dari Desa Ban, Reza Riyady membuktikan bahwa setetes air bisa menumbuhkan sejuta harapan. Ketika air itu terus mengalir, senyum Bali pun tak akan pernah kering. Seiring air yang mengalir, kehidupan pun kembali tumbuh. Kebun menghijau, anak-anak bisa mandi tanpa menempuh jarak jauh, dan perempuan tak lagi harus berjalan berkilometer demi menimba air.
Kini, Bali benar-benar tersenyum kembali karena air telah mengalir. Reza percaya bahwa air akan selalu menjadi simbol kehidupan yang tak pernah berhenti memberi. Perjuangan ini belum usai. Selama air terus mengalir, Bali akan terus berseri, terus bersolek diri, dan tak pernah berhenti tersenyum.



















