5 Buku Puisi yang Menyuarakan Suara Rakyat dan Perlawanan

- Bittering the Wound–Jacqui Germain
- It Ain’t Over Until We’re Smoking Cigars on the Drillpad–Mark Tilsen
- Motherfield–Julia Cimafiejeva
Puisi tidak selalu hadir untuk sekadar menghibur karena terkadang lahir dari luka dan kemarahan terhadap keadilan. Dari jalanan yang dipenuhi gas air mata hingga ruang penjara, para penyair di seluruh dunia menyalurkan suara rakyat yang tertindas melalui kata-kata. Buku-buku puisi ini bukan hanya karya sastra, tapi juga bentuk perlawanan yang merekam sejarah.
Dalam setiap halamannya, kita menemukan keberanian untuk berbicara ketika dunia memilih diam. Mereka menulis bukan untuk ketenaran, melainkan untuk mengabadikan kesaksian dan mengguncang hati pembacanya. Berikut lima buku puisi yang menyuarakan suara rakyat dan perlawanan. Buku-buku ini jadi bukti bagaimana sastra bisa menjadi senjata paling lembut namun paling tajam untuk melawan ketidakadilan.
1. Bittering the Wound–Jacqui Germain

Jacqui Germain menulis dari pengalaman pribadinya dalam demonstrasi Ferguson, ketika rakyat kulit hitam menuntut keadilan atas kekerasan polisi di Amerika. Melalui puisinya, Germain menggambarkan protes bukan sekadar kemarahan, melainkan bentuk cinta kepada komunitas, leluhur, dan diri sendiri.
Ia menulis tentang kota yang hidup, jalanan yang bergetar, dan semangat manusia yang menolak tunduk di bawah sistem penuh kekerasan. Yang membuat buku ini istimewa adalah cara Germain menyoroti apa yang terjadi setelah kamera berhenti merekam, yaitu bagaimana para aktivis menghadapi trauma dan rasa lelah setelah perjuangan panjang.
2. It Ain’t Over Until We’re Smoking Cigars on the Drillpad–Mark Tilsen

Mark Tilsen, seorang penyair Lakȟóta sekaligus aktivis, menulis di kamp Oceti Sakowin yang menentang proyek pipa minyak Dakota Access. Puisinya berisi detail kecil namun bermakna besar dengan tenda donasi dan tawa di tengah dingin. Dengan kata-kata sederhana, Tilsen mengajak pembaca untuk merasakan kebersamaan yang lahir dari perjuangan.
Lebih dari sekadar dokumentasi, buku ini adalah ajakan untuk bertindak. Tilsen menulis dengan hati seorang penggerak, mengingatkan bahwa perlawanan tak berhenti di halaman buku. Ia mengundang pembaca untuk memakai jaket oranye dan ikut berjuang, karena solidaritas sejati lahir ketika kita turun tangan, bukan hanya mengamati.
3. Motherfield–Julia Cimafiejeva

Dari Belarus, Julia Cimafiejeva menulis Motherfield di tengah demonstrasi melawan rezim Lukashenko yang otoriter. Separuh buku ini berisi catatan harian tentang kekerasan dan ketakutan di jalanan, sementara separuh lainnya menjelajahi sisi puitis dan simbolik dari rasa cinta terhadap tanah air.
Melalui perpaduan prosa dan lirik, Cimafiejeva menampilkan potret seorang perempuan yang mencintai negaranya, namun juga menolak tunduk padanya. Puisinya seolah berbicara langsung kepada tanah kelahiran antara cinta dan pengkhianatan, antara ibu dan anak. Ia mengingatkan kita bahwa mencintai bangsa bukan berarti membisu pada ketidakadilan.
4. When the Smoke Cleared–disunting oleh Celes Tisdale

Buku ini lahir dari tragedi nyata di penjara Attica pada tahun 1971, ketika ratusan tahanan menuntut hak asasi mereka dan dibalas dengan pembantaian brutal. Celes Tisdale kemudian membuka lokakarya menulis di penjara tersebut dan dari sanalah lahir puisi-puisi yang menyayat hati.
Setiap baitnya menjadi kesaksian manusia yang dirampas kebebasannya namun menolak kehilangan kemanusiaannya. Buku ini membuktikan bahwa bahkan dalam keterkungkungan, puisi tetap bisa tumbuh sebagai bentuk kebebasan batin. When the Smoke Cleared merupakan seruan lembut untuk melihat sisi kemanusiaan di balik sistem yang kejam.
5. Hong Kong Without Us–disunting oleh The Bauhinia Project

Buku antologi anonim ini merekam suara para pemuda yang ikut dalam protes Hong Kong tahun 2019–2020. Dihimpun oleh kelompok bernama The Bauhinia Project, buku ini berisi puisi, tulisan dinding, hingga unggahan media sosial yang menggambarkan ketakutan dan keberanian generasi muda di bawah tekanan rezim otoriter.
Kejujuran dan rasa putus asa dalam setiap barisnya membuat buku ini terasa seperti jeritan kolektif yang tak bisa dibungkam. Hong Kong Without Us adalah bukti bahwa di era modern, suara rakyat bisa lahir dari mana saja, bahkan dari dinding kota dan lini masa digital.
Lima buku puisi yang menyuarakan suara rakyat dan perlawanan bukanlah sekadar sastra, melainkan napas perjuangan yang lahir dari rasa cinta terhadap sesama dan tanah air. Mereka membuktikan bahwa kata-kata bisa lebih kuat dari senjata dan empati bisa menjadi bentuk paling indah dari revolusi. Jadi, dari kelima buku ini, suara siapa yang paling menyentuh hati kamu?