Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Cara Memaafkan Tanpa Harus Melupakan yang Terjadi

ilustrasi menangis (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi menangis (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Kadang orang beranggapan bahwa memaafkan dengan tulus itu sama dengan melupakan. Padahal, melupakan rasa sakit dan perlakuan buruk orang lain jelas merupakan hal yang sangat sulit. Gak semua orang punya tombol “hapus memori” seperti di film-film. Dan kabar baiknya, memaafkan bukan berarti harus melupakan.

Memaafkan itu soal hati. Soal merelakan beban yang bikin sesak. Namun, bukan berarti kamu harus pura-pura lupa dengan kejadian buruk di masa lalu. Justru dengan mengingat, kita bisa lebih waspada dan tumbuh jadi pribadi yang lebih kuat. Nah, gimana sih caranya memaafkan tanpa harus melupakan? Yuk, kita bahas bersama-sama!

1. Pahami dulu apa itu memaafkan

ilustrasi tenang (freepik.com/benzoix)
ilustrasi tenang (freepik.com/benzoix)

Memaafkan bukan berarti kamu setuju dengan apa yang dilakukan orang lain. Bukan juga berarti kamu harus kembali akrab atau akur seperti dulu. Memaafkan itu lebih ke proses melepaskan amarah dan dendam yang mengendap di hati. Karena terus-terusan marah hanya bikin kamu capek sendiri.

Kalau kamu bisa melepaskan rasa sakit itu, kamu memberikan dirimu sendiri hadiah berupa ketenangan. Ingat, kamu bisa memaafkan sambil tetap sadar bahwa kejadian itu pernah ada. Itu bukan dendam, melainkan pelajaran.

2. Validasi perasaanmu sendiri

ilustrasi menangis (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi menangis (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Jangan buru-buru memaksa diri untuk ikhlas kalau hati memang belum siap. Perasaan sakit hati itu valid, dan kamu berhak merasakannya. Diabaikan, disakiti, dan dihianati, itu semua pengalaman emosional yang harus diakui dulu sebelum kamu bisa benar-benar move on.

Kuncinya adalah jangan memendam. Boleh kok menangis, cerita ke teman, atau nulis di jurnal. Dengan begitu, kamu bisa merapikan rasa dan pelan-pelan membuka pintu maaf, tanpa harus melupakan apa yang terjadi.

3. Lepaskan beban dendam, bukan ingatan

ilustrasi meditasi (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi meditasi (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Kita kadang terjebak dalam keinginan untuk membalaskan dendam atau berharap orang itu sadar dan minta maaf. Namun, kenyataannya, gak semua orang sadar mereka menyakitimu, dan gak semua orang mau minta maaf. Daripada menunggu hal yang belum tentu, lebih baik kamu fokus ke dirimu sendiri. Memaafkan bukan untuk mereka, tetapi untuk kesehatan mentalmu sendiri. Kamu bisa tetap ingat kejadiannya, tapi kamu gak harus terus-menerus membawa luka itu ke mana-mana.

4. Ambil hikmahnya, jangan terus menyimpan luka

ilustrasi perempuan sedang bercermin (pexels.com/Ivan Oboleninov)
ilustrasi perempuan sedang bercermin (pexels.com/Ivan Oboleninov)

Setiap kejadian, seburuk apapun itu, pasti punya pelajaran tersembunyi. Entah itu tentang batasan yang harus kamu jaga, orang seperti apa yang harus kamu hindari, atau seberapa pentingnya kamu mencintai diri sendiri dulu sebelum berharap orang lain memperlakukanmu dengan baik. Mengingat-ingat kejadian itu bukan untuk menyiksa diri sendiri, tetapi agar kamu bisa lebih bijak ke depannya. Pengalaman buruk bukan untuk dilupakan, melainkan dijadikan modal tumbuh.

5. Tetapkan batasan yang sehat

ilustrasi dua orang sedang berbicara (pexels.com/August de Richelieu)
ilustrasi dua orang sedang berbicara (pexels.com/August de Richelieu)

Kalau kamu memutuskan untuk memaafkan tapi gak mau dekat dengan orang itu, itu gak egois sama sekali, kok. Itu namanya self-respect. Kamu bisa bersikap baik tanpa harus kembali dekat. Kamu juga bisa menyayangi diri sendiri tanpa mengulang kesalahan yang sama.

Batasan itu penting supaya kamu gak terus menerus disakiti oleh orang yang sama. Karena kadang, yang bikin kita gak bisa move on bukan rasa sakitnya, melainkan karena kita terus membuka pintu untuk orang yang gak tahu cara menghargai. Jadi, maafkan dan jaga jarak adalah langkah yang bijak.

Memaafkan tanpa melupakan itu bukan hal yang mustahil. Kamu bisa melakukannya, asal kamu siap berdamai dengan masa lalu tanpa harus menyangkal apa yang terjadi. Dengan begini, kamu jadi bisa move on dengan versi terbaik dari dirimu, yang lebih kuat, lebih bijak, dan lebih bahagia. Karena pada akhirnya, hidup itu bukan tentang siapa yang menyakitimu, tapi bagaimana kamu memilih untuk menyembuhkan dirimu sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us