Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Contoh Perilaku Misoginis Internal yang Sering Tidak Disadari Orang

Ilustrasi perempuan mengalami konflik di kantor.
ilustrasi perempuan mengalami konflik dengan rekan kerja di kantor (freepik.com/freepik)
Intinya sih...
  • Perempuan harus berhenti di posisi tertentu saja
  • Komentar lebih fokus pada penampilan daripada prestasi
  • Emosi perempuan dianggap tidak profesional
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kata misogini sering terdengar keras, seolah hanya ada pada orang yang terang-terangan membenci perempuan. Padahal, perilaku misoginis bisa muncul dalam bentuk yang lebih halus dan sering kali tidak disadari. Ia bisa terselip dalam candaan, cara bicara, bahkan pandangan sosial yang sudah dianggap normal sejak lama.

Tanpa sadar, banyak orang, termasuk perempuan sendiri, pernah mempraktikkan pola pikir misoginis karena pengaruh budaya dan kebiasaan. Padahal, perilaku ini bisa berdampak besar terhadap kepercayaan diri dan posisi perempuan di masyarakat. Yuk, kenali lima contohnya supaya kita bisa lebih peka dan berhenti mengulanginya.

1. Menganggap perempuan harus "tahu diri" dalam berkarier

Seorang laki-laki dan perempuan sedang berdebat.
ilustrasi orang berdebat (pexels.com/Yan Krukau)

Bentuk misogini yang paling umum tapi sering diabaikan adalah anggapan bahwa perempuan tidak perlu terlalu ambisius dalam kariernya. Kalimat seperti "Udah bagus bisa kerja, gak usah ngincer jabatan tinggi" masih sering terdengar di lingkungan kita, seolah perempuan harus puas di posisi tertentu saja.

Padahal, ambisi bukan sifat negatif dan bukan milik satu gender saja. Setiap orang berhak mengejar posisi terbaik sesuai kemampuannya. Menganggap perempuan yang berambisi itu sebagai perempaun yang terlalu agresif hanya karena ia perempuan adalah cara berpikir misoginis yang menghambat kesetaraan. Dunia kerja seharusnya menilai berdasarkan kompetensi, bukan jenis kelamin.

2. Mengomentari penampilan perempuan lebih dari prestasinya

Seorang perempuan terlibat konflik dengan rekan kerja.
ilustrasi seorang perempuan terlibat konflik (pexels.com/Yan Krukau)

Kalimat seperti "Cantik banget sih, pantes kariernya naik!" mungkin terdengar sebagai pujian, tapi sebenarnya bisa jadi bentuk misogini halus. Fokus pada penampilan sering membuat kemampuan dan pencapaian perempuan diabaikan. Seolah yang dihargai bukan hasil kerja kerasnya, melainkan wajah atau gaya berpakaiannya.

Padahal, profesionalitas seseorang tidak bisa diukur dari penampilan. Komentar semacam ini tanpa disadari menanamkan pesan bahwa perempuan harus menarik dulu baru dianggap layak. Menghargai perempuan seharusnya berarti mengapresiasi keahliannya, bukan sekadar tampilannya.

3. Menganggap emosi perempuan sebagai tanda tidak profesional

Seorang laki-laki dan perempuan sedang berdebat saat rapat kerja.
ilustrasi orang berdebat (pexels.com/Yan Krukau)

Ketika perempuan mengekspresikan perasaan seperti marah, kecewa, atau frustrasi, sering kali langsung dicap "baper" atau gak bisa kontrol emosi. Ironisnya, ketika laki-laki mengekspresikan hal yang sama, justru dianggap tegas dan berani. Ini salah satu bentuk bias misoginis yang masih kuat di banyak tempat kerja.

Padahal, mengekspresikan emosi adalah hal yang manusiawi dan tidak berkaitan dengan profesionalitas seseorang. Perempuan juga bisa rasional, tegas, dan tetap menunjukkan empati tanpa dianggap lemah. Dunia kerja akan jauh lebih sehat jika ekspresi emosi dilihat sebagai bagian dari komunikasi, bukan kelemahan yang harus ditekan.

4. Menilai perempuan berdasarkan status hubungan atau keluarga

Seorang laki-laki dan perempuan sedang berdebat.
ilustrasi orang berdebat (pexels.com/RDNE Stock project)

Sering dengar komentar seperti "Dia kan belum nikah, makanya bisa fokus kerja," atau "Udah punya anak, pasti gak bisa total lagi di kantor"? Kalimat semacam ini bisa saja terdengar sepele, tapi sebenarnya sarat misogini, lho. Orang yang mengutarakan komentar tersebut berarti menilai kemampuan perempuan berdasarkan status pribadinya, bukan dari kinerjanya.

Perempuan lajang, menikah, maupun ibu rumah tangga sama-sama punya hak untuk berkembang dalam karier. Membatasi mereka hanya karena status sosial berarti menempatkan perempuan di kotak yang sempit. Padahal, setiap perempuan punya cara masing-masing untuk menyeimbangkan hidup dan kerja, dan itu sah-sah saja.

5. Menganggap perempuan harus selalu lembut dan tidak boleh dominan

Seorang perempuan bersikap tegas terhadap laki-laki.
ilustrasi perempuan bersikap tegas pada laki-laki (pexels.com/Alex Green)

Banyak orang masih merasa tidak nyaman dengan perempuan yang berani berbicara tegas atau memimpin dengan percaya diri. Mereka sering dilabeli galak atau sombong, padahal jika laki-laki bersikap sama, justru dianggap karismatik. Ini bentuk misogini yang mengakar dalam budaya patriarkal.

Perempuan tidak harus menyesuaikan diri dengan standar lembut agar diterima. Setiap orang punya gaya komunikasi dan kepemimpinan yang berbeda. Ketika perempuan bisa tampil apa adanya tanpa takut dinilai negatif, barulah dunia kerja dan sosial benar-benar menjadi ruang yang setara.

Misogini tidak selalu hadir dalam bentuk kebencian terbuka. Ia sering tersembunyi di balik candaan, norma, dan kebiasaan yang dianggap wajar. Tapi justru karena halus, perilaku ini jadi lebih berbahaya. Mulai dari menyadari dan mengubah cara kita berpikir, kita bisa membantu menciptakan lingkungan yang lebih adil, tempat di mana perempuan dihargai bukan karena penampilannya, tapi karena kemampuannya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Zodiak yang Feed Medsos-nya Estetik padahal Hidup Aslinya Kacau

11 Nov 2025, 07:45 WIBLife