5 Keputusan Hidup yang Sekarang Disetir Algoritma

- Memilih gaya hidup dan pola konsumsi - Gaya hidup dipengaruhi algoritma, bukan selera pribadi - Pembelian dipicu konten yang dirancang untuk memancing keinginan - Label "minimalis" atau "self-care" sering hanya kemasan konsumtif
- Menentukan destinasi liburan - Algoritma mempengaruhi pilihan liburan melalui media sosial - Wisata lebih tentang estetik foto daripada pengalaman personal - Lokasi wisata rusak karena terlalu banyak dikunjungi setelah viral
- Memilih teman dan lingkaran sosial - Algoritma membentuk persepsi ideal pertemanan di media sosial - Standar sosial yang dikur
Pernah gak sih kamu merasa keputusan-keputusan penting dalam hidup sekarang udah kayak ‘ditentuin’ oleh algoritma? Kita memang masih punya kendali, tapi rasanya makin hari, makin banyak pilihan hidup yang diarahkan atau dibentuk oleh sistem digital yang kerja di balik layar ini. Algoritma ini diam-diam tahu apa yang kita tonton, kita beli, kita sukai, bahkan apa yang kita pikirkan.
Semuanya itu akan diproses jadi saran, rekomendasi, dan “suggested for you”. Walau terlihat sepele, tapi dampaknya sebenarnya besar banget.
Masalahnya, saran-saran ini tuh seringkali bukan yang paling baik buat kita. Akibatnya, banyak keputusan yang dulunya datang dari pengalaman, pertimbangan pribadi, atau diskusi langsung, kini digantikan oleh logika mesin. Menurut penulis, rasanya begitu kabur batas antara keinginan sendiri dan dorongan algoritma.
1. Memilih gaya hidup dan pola konsumsi

Coba deh kamu pikirin ulang tentang seberapa sering kamu beli sesuatu bukan karena butuh, tapi karena “lagi viral”? Entah itu skincare yang katanya bikin glowing dalam semalam, outfit biar tampilan makin kece, atau kopi dengan merek tertentu yang tiba-tiba muncul di mana-mana. Rasanya, gaya hidup kita sekarang itu bukan lagi soal selera pribadi, tapi tentang mengikuti tren yang algoritma sajikan ke layar kita setiap hari.
Tanpa sadar, kita jadi konsumen pasif dari konten yang dirancang untuk memancing keinginan kita, bukan kebutuhan kita!
Lebih lanjut lagi, biasanya label seperti “minimalis,” “self-care,” atau “productive” seringnya hanya jadi kemasan keren untuk gaya hidup yang sebenarnya tetap konsumtif. Ketika kamu melakukan pembelian atas barang-barang seperti itu, rasanya kayak sedang mengambil keputusan sendiri. Padahal, banyak dari pilihan itu muncul karena terus-terusan disodorkan oleh algoritma yang tahu betul cara memikat perhatian kamu.
2. Menentukan destinasi liburan

Salah satu hal lagi yang paling kentara yang sekarang dipengaruhi algoritma adalah pilihan liburan. Tempat-tempat wisata yang muncul terus di FYP TikTok atau Reels Instagram seringkali tiba-tiba masuk wishlist kita. Semuanya tuh tampak terlalu sempurna buat dilewatkan. Padahal sebelumnya, kita bahkan gak tahu tempat itu bahkan ada atau enggak.
Di sisi lain, hal ini memang punya sisi positif. Algoritma bisa membantu kita menemukan destinasi unik yang sebelumnya kurang terekspos. Tapi sayangnya, banyak juga yang akhirnya memilih tempat liburan hanya demi konten, bukan karena benar-benar ingin menikmati suasananya. Wisata jadi lebih tentang estetik foto daripada pengalaman personal.
Yang lebih mengkhawatirkan, beberapa lokasi bahkan jadi rusak karena terlalu banyak dikunjungi setelah viral. Siapa yang sudah lupa dengan Ranu Manduro di Mojokerto? Sebuah hamparan hijau yang indah bak New Zealand itu langsung penuh dengan kendaraan bermotor dan sampah plastik. Atau Negeri di Atas Awan di Banten, yang katanya sempat dipenuhi dengan 30 ribu orang memenuhi tempat tersebut dengan motor, hanya karena “viral”. Ngeri banget, kan?
3. Memilih teman dan lingkaran sosial

Di media sosial, pertemanan terlihat begitu ideal. Misalnya kompak, seru, penuh momen estetik. Tapi di balik itu semua, algoritma juga ikut bermain dalam membentuk persepsi kita soal seperti apa seharusnya sebuah pertemanan. Tren-tren viral seperti “toxic friendship,” “ring 1 - ring 2,” atau istilah kayak “low maintenance friendship” seringkali membentuk ekspektasi yang gak realistis buat disamaratakan.
Akibatnya, banyak orang merasa lingkaran sosialnya ‘kurang oke’ hanya karena gak seperti yang di medsos itu, atau medsos ini. Bahkan lebih parah lagi, kita kadang mempertahankan relasi yang sebenarnya gak sehat, cuma karena takut kehilangan citra sosial di media digital. Algoritma menyuguhkan standar sosial yang dikurasi sedemikian rupa, sampai-sampai kita lupa kalau pertemanan sejati gak harus selalu instagramable atau viral-worthy.
4. Memilih pasangan lewat aplikasi kencan

Memang harus diakui, mencari pasangan gak sesulit itu di zaman digital sekarang ini. Karena mencari pasangan gak lagi harus lewat kenalan teman atau acara tertentu. Aplikasi kencan seperti Tinder, Bumble, dan sejenisnya memberi kemudahan bagi banyak orang. Apalagi buat kamu yang sibuk atau tinggal di lingkungan yang terbatas secara sosial, mungkin ini membantu banget.
Algoritma aplikasi kencan yang mempelajari preferensi dan kebiasaan kita, maka akan ada peluang untuk menemukan pasangan yang setidaknya punya nilai atau minat yang sejalan. Dalam beberapa kasus, aplikasi ini bahkan berhasil mempertemukan dua orang yang benar-benar cocok dan berakhir bahagia.
Tapi di sisi lain, kita gak bisa menutup mata dengan fakta bahwa algoritma juga menyederhanakan sesuatu yang sebenarnya rumit. Hubungan yang semestinya berkembang lewat proses saling mengenal, kini dimulai dari foto, bio, dan satu-dua kalimat pembuka. Banyak orang jadi kecanduan “swipe” dan sibuk mencari yang lebih baik daripada mencoba membangun relasi yang ada.
5. Mengambil keputusan finansial lewat rekomendasi konten

Belakangan ini, konten soal keuangan makin mudah ditemukan. Mulai dari tips menabung, investasi saham, sampai cara hidup hemat ala influencer tertentu. Sekilas, ya ini perkembangan yang positif. Informasi finansial yang dulu terasa eksklusif kini bisa diakses siapa saja, cukup lewat scroll TikTok atau YouTube. Algoritma membantu kita menemukan konten yang sesuai dengan kondisi dan minat kita, bahkan bisa jadi pemicu kesadaran pentingnya literasi finansial.
Tapi masalahnya, algoritma gak bisa membedakan mana konten edukatif dan mana yang cuma clickbait. Banyak orang mengambil keputusan penting seperti aset digital, ikut trading, atau bahkan berutang karena tergiur konten yang viral tanpa riset lebih dalam. Di tahap ini, algoritma bukan jadi pemberi saran lagi, tapi pendorong keputusan besar yang berdampak langsung pada stabilnya hidup orang. Dan sayangnya, gak semua orang sadar sedang disetir olehnya.
Pada akhirnya, algoritma memang bukan musuh, kok. Menurut penulis, ia tuh bisa membantu menyederhanakan pilihan dan mempertemukan kita dengan hal-hal yang dulu sulit dijangkau. Tapi justru karena pengaruhnya makin besar hari-hari ini, penting banget buat kita untuk lebih sadar dan kritis mengambil keputusan. Apakah pilihan hidup kita benar-benar datang dari diri sendiri atau hasil kurasi sistem yang tahu terlalu banyak tentang kita?