Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ketika Hidup Terasa Stuck, Coba Cek 5 Hal Ini dalam Dirimu!

ilustrasi wanita sedang kebingungan (pexels.com/Tiana)
ilustrasi wanita sedang kebingungan (pexels.com/Tiana)
Intinya sih...
  • Tujuan hidup yang mulai kabur.
  • Apakah nilai-nilai hidupmu masih selaras?
  • Lingkungan yang tidak mendukung.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Rasa stuck dalam hidup bisa datang tanpa tanda, seolah semua hal berjalan di tempat dan semangat menguap entah ke mana. Tidak selalu karena kurang usaha atau karena hidup terlalu berat, kadang justru karena ada hal-hal dalam diri yang luput diperhatikan. Banyak yang mengira solusinya harus selalu besar. Padahal, sering kali jawabannya dimulai dari sebuah momen jujur untuk menengok ke dalam diri sendiri.

Merasakan stuck itu wajar, terutama fase ketika hidup masih penuh pencarian dan ketidakpastian. Tapi jika perasaan itu terus-menerus hadir, itu sinyal bahwa ada yang perlu dibenahi. Nah, berikut lima aspek dalam diri yang bisa dicek ulang ketika hidup mulai terasa stagnan. Siapa tahu, jawabannya sudah ada di dalam selama ini.

1. Tujuan hidup yang mulai kabur

ilustrasi pria sedang berpikir (pexels.com/Nathan Cowley)
ilustrasi pria sedang berpikir (pexels.com/Nathan Cowley)

Saat arah hidup terasa mengambang, bisa jadi tujuan yang dulu begitu jelas, kini mulai kehilangan bentuk. Tujuan hidup yang kabur membuat setiap langkah terasa seperti tugas tanpa makna—dijalani, tapi tak menggerakkan hati. Wajar jika motivasi ikut memudar, karena tanpa arah, energi pun terserap tanpa arah yang pasti.

Coba ingat kembali, hal besar apa yang dulu pernah begitu diimpikan? Apakah masih terasa relevan dengan situasi saat ini, atau perlu diperbarui? Meninjau ulang tujuan bukan berarti gagal, tapi bentuk adaptasi terhadap perubahan hidup. Kadang, tujuan yang dulu mulia bisa terasa usang karena dirimu telah tumbuh.

2. Apakah nilai-nilai hidupmu masih selaras?

ilustrasi menatap cermin (pexels.com/Two Shores)
ilustrasi menatap cermin (pexels.com/Two Shores)

Nilai hidup adalah kompas batin, penunjuk arah yang tak terlihat namun sangat menentukan rasa puas dan tenang. Jika tindakan sehari-hari mulai terasa bertentangan dengan nilai pribadi, maka konflik batin pun muncul tanpa permisi. Misalnya, saat pekerjaan menuntut kebohongan padahal nilai kejujuran sangat dijunjung tinggi.

Perasaan stuck bisa jadi pertanda bahwa apa yang dijalani tak lagi mencerminkan siapa diri sebenarnya. Coba renungkan, masihkah hal-hal yang dijalani sekarang terasa sejalan dengan prinsip hidup? Bila tidak, maka penyesuaian kecil bisa menjadi titik balik besar. Selaras dengan nilai diri bukan soal idealisme belaka, tapi soal menjaga kesehatan mental dan emosional agar tetap utuh.

3. Lingkungan yang tidak mendukung

ilustrasi lingkungan toxic (pexels.com/Yan Krukau)
ilustrasi lingkungan toxic (pexels.com/Yan Krukau)

Kadang, yang membuat langkah terasa berat bukan diri sendiri, tapi tempat di mana tumbuh. Lingkungan yang toxic, penuh kritik tanpa dukungan, atau terlalu kompetitif bisa menggerus rasa percaya diri sedikit demi sedikit. Bahkan tanpa sadar, energi pun terkuras hanya untuk bertahan, bukan berkembang.

Pertumbuhan pribadi sangat dipengaruhi oleh siapa yang ada di sekitar. Lingkungan yang positif memberi ruang untuk bereksplorasi, belajar, dan sesekali gagal tanpa dihakimi. Coba perhatikan kembali siapa saja yang paling sering dihabiskan waktu bersamanya—apakah memberi semangat atau justru menyabotase dari dalam?

4. Apakah kamu terjebak dalam zona nyaman?

ilustrasi terjebak di zona nyaman (pexels.com/Mikhail Nilov)
ilustrasi terjebak di zona nyaman (pexels.com/Mikhail Nilov)

Zona nyaman memang terasa aman—semua sudah dikenali, risiko minim, dan hidup berjalan tanpa banyak drama. Tapi justru di situlah bahaya mengintai, tidak ada tantangan, tidak ada kemajuan. Jika terlalu lama tinggal di zona nyaman, potensi bisa terkubur dalam rutinitas yang membosankan.

Mungkin rasa stuck muncul bukan karena tak punya kemampuan, tapi karena tak berani mencoba hal baru. Padahal, sedikit ketidaknyamanan bisa memicu pertumbuhan yang besar. Keluar dari zona nyaman tak harus ekstrem, bisa dimulai dari hal sederhana, belajar skill baru, mengambil tanggung jawab kecil, atau membuka percakapan dengan orang baru.

5. Ketidakseimbangan antara memberi dan menerima

ilustrasi merasa pusing (pexels.com/Anna Tarazevich)
ilustrasi merasa pusing (pexels.com/Anna Tarazevich)

Memberi itu mulia, tapi memberi terus-menerus tanpa mengisi diri adalah resep menuju kelelahan emosional. Banyak orang terjebak dalam siklus selalu ada untuk orang lain, tapi lupa bertanya, apakah diriku sendiri sudah cukup dipedulikan? Energi tidak bisa mengalir dari sumber yang kosong.

Hidup yang sehat membutuhkan keseimbangan antara memberi dan menerima. Bukan berarti menjadi egois, tapi belajar menaruh perhatian pada kebutuhan diri sendiri sama pentingnya. Jika terlalu lama diabaikan, tubuh dan jiwa akan mulai memberi sinyal—dalam bentuk lelah, apatis, atau marah tanpa sebab.

Merasa stuck bukan tanda bahwa hidup sedang rusak, tapi sinyal bahwa ada yang perlu diperiksa kembali dari dalam diri. Tujuan yang kabur, nilai yang tak selaras, lingkungan yang membatasi, zona nyaman yang menahan, dan keseimbangan emosional yang terganggu adalah lima aspek utama yang sering kali jadi sumbernya. Setiap dari hal ini bisa dibenahi secara bertahap.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nabila Inaya
EditorNabila Inaya
Follow Us

Latest in Life

See More

6 Novel Favorit Ariana Grande yang Seru Dibaca saat Gabut

14 Des 2025, 07:06 WIBLife