Kiprah Steffi Menghidupkan Warisan Pangan Lokal melalui Ensiklopedia

- Steffi menggebu-gebu meningkatkan kesadaran pangan lokal dengan langkah pertama eksplorasi pangan lokal, fokus pada kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan pangan, dan menciptakan Ensiklopedia dari Bumi Nusantara ke Piring Kita.
- Steffi menekankan pentingnya berbagai kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan pangan untuk meningkatkan wawasan serta menghadapi tantangan dalam menyebarkan pengetahuan soal pangan lokal.
- Buku "Ensiklopedia: Dari Bumi Nusantara ke Piring Kita" menjadi catatan komprehensif terkait pangan lokal, memperkenalkan bahan pangan mentah hingga masakan yang telah diolah, serta inovasi sebagai kunci untuk meningkatkan kesadaran pangan lokal bagi gener
Jakarta, IDN Times - Ketika sebuah hidangan tersaji di atas meja, apakah kamu pernah bertanya-tanya bagaimana asal mula masakan tersebut? Dari daerah mana sumber makanan itu berasal? Apa saja bahan baku yang diolah? Atau, kamu tak pernah memikirkan mengenai sumber makanan yang hendak disantap dan hanya fokus pada cita rasa yang dinikmati?
Jika bicara soal makanan yang tersaji, kita mungkin tak banyak memikirkan produk apa saja yang dikonsumsi. Sebagai contoh, buah nanas. Kita mungkin tak terlalu memahami asal mula dan jenis olahan buah tersebut, namun sering menikmatinya dalam berbagai sajian.
Persepsi ini tak lepas dari kurangnya awareness akan bahan makanan lokal, baik produk mentah maupun masakan yang telah diolah. Maria Stephanie, peneliti dan penulis dengan spesialisasi pangan serta kuliner lokal, berbagi dengan IDN Times mengenai perjalanannya meningkatkan wawasan masyarakat.
Perempuan yang akrab disapa Steffi tersebut, juga berbagi tentang buku terbarunya "Ensiklopedia Dari Bumi Nusantara ke Piring Kita" melalui online interview pada Selasa (1/7/25) lalu. Berikut kisah Steffi yang sungguh-sungguh meningkatkan kekuatan pangan lokal.
1. Langkah pertama Steffi mengeksplorasi pangan lokal

Keterlibatan Steffi di bidang pangan bermula dari observasinya terhadap olahan makanan Indonesia. Perempuan yang menyelesaikan pendidikan S1 Teknik Kimia tersebut, semula turut terlibat dalam usaha makanan sehat bersama temannya di Yogyakarta. Steffi mengaku, semula ia bergabung ke dalam kongsi usaha makanan, namun mengalami kendala terkait supply bahan baku.
Selama 7 tahun merintis bisnis salad, Steffi merasa ada keterbatasan pengetahuan yang membuat mereka masih bergantung pada bahan-bahan dari supermarket. Padahal, untuk bahan baku organik ataupun hidroponik, harganya tergolong tinggi.
"Dari situ, mulai cari-cari supplier lokal. Jadi waktu itu, ketemu dengan komunitas pasar organik di Jogja bagian selatan. Awalnya kita cuma beli sayur, tapi terus karena rutin 2 kali seminggu kita ke sana, jadi kenal dengan penjualnya. Lalu lebih banyak interaksi dengan mereka. Terus baru menyadari bahwa pangan lokal kita tuh ternyata keren-keren. Dari situ, kami belajar aja justru dari para penjual dan produsen ini," cerita Steffi.
Ketertarikan terhadap pangan lokal mulai diterapkan dalam hidangan yang disajikan pada pelanggan. Setelah mengulik lebih dalam, ia mulai mengkreasikan salad namun dengan tambahan tempe. Orientasinya adalah mengenalkan makanan Indonesia dengan variasi penyajian yang berbeda, tidak hanya digoreng atau dibacem, kali ini dipadukan jadi kudapan yang lebih modern.
Seiring berjalannya waktu, Steffi memperdalam pengetahuannya secara akademis. "Aku sempet dapat beasiswa untuk kursus singkat ke Australia dari Australia Awards Indonesia tahun 2016. Jadi, waktu itu kursus singkat untuk perempuan produsen pangan. Jadi ikut itu, lalu dua minggu ke Australia. Basisnya kan kita di universitas. Jadi, sampai di sana, aku merasa udah tahu nih dari sisi bisnis, kalau kita tuh mau menjual pangan lokal sebagai pangan sehat itu, udah punya gambaran. Nah, tapi yang aku merasa kurang tuh adalah keilmuan yang formalnya," papar dia.
Setelah mengikuti kursus, Steffi menyadari bahwa wawasannya di bidang pangan masih belum cukup mendalam. Ia merasa perlu mengkaji lebih jauh keilmuan formal terkait aspek teknis dan gizi pada produk pangan. Ia kemudian memilih untuk melanjuktan pendidikan di ranah food science, tepatnya di University of Queensland, Australia.
"Di Australia itu, aku ambil S2 ilmu pangan atau food science untuk jalur riset. Jadi penelitian tesisku, aku mengembangkan produk pasta gluten free berbasis sorgum karena waktu itu, usahaku yang di Jogja, kita lagi mengulik sorgum, lagi cukup naik daun tahun 2016-2018'an. Tapi, di samping aku mengerjakan penelitian, aku juga belajar secara independen sih. Belajar tentang gizi, belajar tentang kesehatan usus. Pas lulus dari sana, ya akhirnya fokus ke situ juga," Steffi mengungkapkan ia ingin mengenalkan pangan lokal tak hanya dari sisi pengetahuan, tapi juga banyak advokasi dan edukasi dari sisi gizi.
Sorgum sendiri adalah tanaman serbaguna yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Tanaman ini banyak tumbuh di daerah Nusa Tenggara.
2. Steffi fokus pada berbagai kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan pangan, tujuannya meningkatkan wawasan

Makanan sehat dan bergizi kerap kali diasumsikan dengan produk impor, misalnya tepung terigu. Masyarakat Indonesia terbiasa mengonsumsi olahan tepung terigu yang berasal dari gandum, padahal tanaman tersebut bukan berasal dari Indonesia alias hasil impor. Hal ini sejalan dengan keresahan Steffi yang melihat bahwa data mengenai bahan makanan dan nilai gizi di Indonesia masih belum masif.
"Karena kalau kita bicara tentang makanan yang sehat, makanan bergizi, kebanyakan orang, terutama yang di kota-kota besar, menganggap bahwa makanan bergizi itu, makanan yang kebanyakannya impor. Karena memang kalau kita lihat data-data penelitian tentang pangan dan gizi, itu memang banyaknya dari luar sumbernya. Tapi kan yang orang-orang tidak tahu itu adalah kenapa demikian? Kenapa data-data dan penelitian itu lebih banyak di luar? Karena memang di negara lain itu mereka, baik dari pemerintah maupun dari institusi pendidikan, cukup concern untuk melakukan penelitian pangan dan gizi. Kalau di Indonesia kan masih kurang, apakah kurang dari support pemerintah atau institusi pendidikan itu dananya juga kurang memadai," ujarnya.
Steffi meningkatkan kesadaran masyarakat melalui berbagai kegiatan, salah satunya dengan mendampingi komunitas lokal. Ia berupaya mengeksplorasi sumber bahan pangan di berbagai wilayah Indonesia. Salah satunya bekerjasama dengan Yayasan Mentari Menerangi Indonesia (YMMI) yang bergerak di sektor pendidikan kontekstual atau pendidikan nonformal.
"Jadi, mereka itu memfasilitasi kelompok-kelompok bimbingan belajar. Jadi, ini bimbingan belajar yang setelah sekolah di beberapa desa di NTT, khususnya di Timur Tengah Selatan, tapi ada juga di Toraja Utara. Jadi karena mereka fokusnya memang di pendidikan kontekstual dan pengurus yayasannya melihat bahwa keterkaitan antara pangan lokal dan pendidikan kontekstual itu erat banget, jadi mengajak aku itu dari tahun 2022 untuk bikin program dokumentasi pangan lokal," kata dia.
Kepedulian yang tinggi terhadap bahan pokok dan makanan di Indonesia, mendorong Steffi untuk turut berkontribusi dalam berbagai aktivitas sosial. Selain menjadi penulis dan menerbitkan bukunya di Guru Bumi, Steffi juga aktif mendokumentasikan pangan lokal dari daerah Indonesia Timur. Guru Bumi sendiri merupakan publisher yang fokus pada buku cerita, ensiklopedia, serta permainan edukatif.
Saat ini, Steffi fokus pada beberapa kegiatan di masyarakat. Ia menjelaskan, "Jadi intinya, ingin menunjukkan bahwa pangan lokal kita itu juga tidak kalah bergizi. Tapi selain itu juga, di luar menulis buku untuk Guru Bumi, aku juga ada program dokumentasi pangan lokal yang sedang berjalan. Itu ada di satu komunitas di Kabupaten Timur Tengah Selatan di NTT. Sama yang baru akan mulai ini, kerjasama dengan sebuah universitas swasta di Kabupaten Sumba Baradei di NTT juga."
Program yang tengah ditekuni Steffi, bergerak untuk mengajak fasilitator dan murid-murid kelompok bimbingan belajar mengamati tumbuhan dan tanaman yang ada di sekitar. Tumbuhan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat, kemudian dicatat secara sistematis seperti karakteristik tanaman, ukuran, warna, bentuk, dan lain-lain.
"Terus bercerita, mereka menceritakan juga bagaimana tanaman pangan ini biasanya dikonsumsi oleh mereka. Lalu, hasil pengumpulan data ini, hasil riset ini, kita kumpulkan dan kita terbitkan jadi buku. Jadi, buku pertama itu udah diterbitkan di Desember 2023. Lalu, ini kami akan menerbitkan buku lagi akhir bulan Juni. Jadi, untuk program ini, kami sudah menerbitkan 2 buku," ujar Steffi.
Buku pertama dari pendidikan kontekstual di beberapa kelompok bimbingan belajar Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT adalah Em He Tah! (Mari Kita Makan!). Em He Tah sendiri merupakan bahasa Uab Meto, yakni bahasa yang diturunkan oleh suku Dawan atau Atoin Meto, salah satu suku di Pulau Timor bagian barat. Karya kolektif ini berisi hasil riset pangan lokal yang mengajak pembaca untuk mengenal berbagai karakter tanaman serta penggunaan dan pengolahannya.
"Buku ini sendiri tujuan utamanya adalah sebagai semacam buku pegangan atau bisa kita bilang sebagai pengganti buku paket atau buku teks sekolah. Itu tuh holistik, jadi kan mungkin sekilas tuh kayak mengajari biologi aja, tapi kan di balik proses penyusunan buku ini juga melatih skill menulis, matematika. Jadi, kayak mengukur tanaman, hitung-hitung, itu kan juga skill literasi dan numerasinya jalan," cerita Steffi.
3. Ensiklopedia dari Bumi Nusantara ke Piring Kita jadi catatan yang komprehensif terkait pangan lokal

Pergeseran kebiasaan dan cara hidup di tengah moderinitas turut mengubah selera makan masyarakat. Orientasi untuk memenuhi gizi dengan produk impor, membuat orang Indonesia mengabaikan pangan lokal. Padahal, sumber makanan yang tumbuh di wilayah Indonesia, tak hanya merepresentasikan bahan baku, namun juga warisan budaya.
Khawatir pangan lokal semakin terlupakan, Steffi memilih untuk merawat kembali kekayaan pangan Indonesia dengan cara berbeda, yakni mendokumentasikan hasil penelitian serta perjalanannya dalam buku "Ensiklopedia: Dari Bumi Nusantara ke Piring Kita". Karya yang lahir pada tahun 2025 ini, tak hanya mencatat ribuan jenis tumbuhan lokal, namun juga bicara mengenai warisan budaya yang kaya rasa dan cerita. Di dalamnya, dihadirkan visual yang kaya dengan bahasa yang atraktif sehingga akan menggugah anak-anak untuk mempelajari pengetahuan di dalamnya.
"Konsepnya adalah memperkenalkan pangan lokal. Jadi, buku ini tuh kayak bisa dibagi atas 2 bagian. Yang pertama membahas pangan lokal, itu per wilayah. Indonesia aku bagi atas 7 wilayah, Sumatera, Jawa Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Masing-masing wilayah itu, aku jelaskan dulu tanaman-tanaman pangan lokalnya yang khas dari daerah tersebut. Pangan lokal yang aku bahas itu gak hanya yang asli dari wilayah tersebut, tapi bisa juga tanaman-tanaman yang sebenarnya itu berasal dari luar, tapi memang sudah lokal di wilayah tersebut," Steffi mengulik isi buku yang digarapnya.
Buku Ensiklopedia: Dari Bumi Nusantara ke Piring Kita akan menemani pembaca mengeksplorasi lebih jauh tentang bahan pangan mentah hingga masakan yang telah diolah. Steffi memberi contoh, kalau di Sumatera, ia membahas mengenai buah nanas. Nanas bukan tanaman asli Indonesia. Hanya saja, beberapa wilayah terutama di Sumatera bagian selatan, banyak budidaya nanas. Buah dengan kulit berduri dengan mahkota di bagian daun tersebut, juga banyak diolah sebagai kuliner lokal.
Jika pada bagian pertama Ensiklopedia tersebut mengulik tanaman dari berbagai wilayah, untuk chapter dua lebih fokus mengangkat hasil olahan makanan. "Nah, itu kan tadi kita baru bahas tentang tanaman pangan lokal ini sumbernya. Setelah kita bahas tanamannya, kita bahas contoh-contoh olahannya dari tanaman-tanaman tersebut untuk menunjukkan bahwa olahan khas Sumatera ini, memang menggunakan tanaman tadi yang kita bahas," ujar dia.
Seperti namanya, Ensiklopedia jadi karya ringkas yang menyajikan informasi secara lengkap mengenai sumber hayati dari pangan lokal hingga menjadi olahan makanan. Steffi juga menyoroti tanaman pangan yang sama, namun ditemukan di beberapa daerah di Indonesia.
Ia memberi contoh, "Ada dua tanaman yang sama-sama bisa hidup di tanah yang kering, di iklim yang kering. Aku ambil contohnya itu kelor sama singkong atau ubi kayu. Lalu, di situ aku ambil contohnya kalau kelor itu ada yang olahannya itu dari NTB, ada yang dari Sulawesi. Terus kalau yang singkong itu, ada yang dari Sulawesi juga sama Maluku. Jadi, walaupun berjauh-jauhan, ternyata tanaman itu ada gitu di dua daerah yang berbeda. Kita juga bisa melihat bahwa olahannya itu juga berbeda gitu. Jadi, kayak masing-masing wilayah, masing-masing daerah dengan sumber daya yang sama itu, bisa menciptakan kreasi yang berbeda."
Proses penulisan juga melalui riset secara langsung. Steffi banyak mencatat pangan lokal dan hasil olahan makanan saat mengunjungi berbagai daerah. Perempuan yang lahir dan besar di Riau ini, mengaku sudah cukup familier dengan kudapan serta keanekaragaman hayati dari Pulau Sumatera. Sementara untuk sumber makanan dari wilayah Pulau Jawa, ia sudah banyak mengenal sejak kepindahannya ke Yogyakarta.
"Risetnya itu sih, kalau riset yang sifatnya primer itu, memang ada beberapa daerah yang aku sudah pernah kunjungi sendiri atau minimal makanannya aku sudah pernah temui di Jogja atau kalau lagi ke Jakarta atau ke kota lain, terus bisa menemukan makanan daerah lain, itu sumber primernya,” ia menambahkan untuk daerah-daerah lain banyak data yang ditemukan dari sumber literatur atau interview.
Riset yang mendalam ini, mencakup hampir seluruh wilayah di Indonesia. Steffi berhasil mengumpulkan sekitar 80 tanaman dan dikurasi menjadi 65 jenis tanaman yang dituangkan dalam buku tersebut. Tentunya, ia menghadapi sejumlah tantangan dalam membukukan hasil penelitiannya.
"Tantangan yang utama, kalau makanan yang sudah pernah aku temui dan coba sendiri itu, ya aku sudah tahu. Tapi kalau misalnya cari makanan atau tanaman pangan dari daerah lain yang aku belum tahu, itu tantangannya terutama adalah sumber informasi," Steffi turut menekankan informasi di internet terkadang tidak akurat sehingga harus diimbangi dengan wawancara untuk melakukan cross check informasi.
4. Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati, mengapa hanya sedikit yang kita tahu?

Bukan menjadi rahasia bila Indonesia dikatakan memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah. Berbagai spesies tanaman yang tumbuh di Indonesia, pada dasarnya memiliki potensi yang besar untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya. Dasar pemikiran inilah yang menguatkan perjalanan Steffi untuk mengobservasi lebih dalam berbagai potensi sumber makanan lokal.
"Jadi, Indonesia itu kan kaya akan keanekaragaman hayati. Kalau dilihat dari seluruh dunia, Indonesia itu negara kedua terkaya keanekaragaman hayatinya setelah Brazil. Keanekaragaman hayati ini juga banyaknya di tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan yang sekian ratus atau sekian ribunya itu bisa dimakan sebenarnya, bisa dikonsumsi. Jadi dari situ aja, sebenarnya kita sudah harus menyadari bahwa kita sebenarnya kaya banget akan sumber pangan," paparnya.
Sayangnya, pengetahuan akan tumbuhan lokal banyak hilang. Terlebih, menurut Steffi, secara sejarah kita didorong untuk menggencarkan pertanian monokultur secara masif dan tidak memanfaatkan varietas lokal. Kebijakan ini membuat generasi muda tak memahami banyak jenis tumbuhan lokal.
"Di zaman Presiden Soeharto, ada revolusi hijau, didorong banget pertanian monokultur yang masif. Jadi, kayak padi yang ditanam itu hanya yang padi yang jenis tertentu, terus jagung juga jagung hibrida, padahal kita banyak banget jagung-jagung varietas lokal. Padi juga banyak varietas lokal. Jadi, intinya dalam periode yang cukup singkat itu, pengetahuan kita akan pangan lokal yang tadinya tuh sangat luas, tiba-tiba terputus. Jadi, kita akhirnya hanya tahu mungkin sekian puluh tanaman dari sekian ratus atau sekian ribu yang harusnya bisa dikonsumsi," kisahnya.
Merespons persoalan tersebut, buku yang dituliskannya berupaya untuk menggugah kembali pengetahuan terkait pangan lokal yang sempat hilang dari wawasan masyarakat. Tujuan utamanya menurut Steffi, "Jadi, kita tahu dulu tanaman pangannya, kita gak usah bahas dulu ini bergizi atau tidak, ini enak atau tidak, yang penting kita tahu dulu. Nanti setelah tahu, kita harus melangkah ke mana lagi, baru nanti kita bisa bicara tentang gizi. Tentang misalnya kelestarian lingkungan dan macam-macam."
5. Inovasi menjadi kunci untuk meningkatkan kesadaran pangan lokal bagi generasi muda

Setiap wilayah di Indonesia memiliki tantangan tersendiri dalam menyebarluaskan pengetahuan dan wawasan soal pangan. Hal ini didasari pada karakteristik area tersebut serta kebiasaan masyarakatnya. Menyoroti permasalahan ini, Steffi mengungkap challenge masing-masing daerah dalam meningkatkan awareness.
"Tergantung kita bicara sama siapa dan orang di daerah mana. Setiap daerah itu pasti punya challenge masing-masing. Kalau misalnya di Jogja, awareness tentang pangan lokal itu mulai tergerus karena sekarang anak-anak muda itu lebih ter-influence sama KPop, makanan dari luar. Tapi Jogja ini, kalau sebagai sumber pangan lokal, masih sangat kaya. Jadi, cukup gampang untuk bisa mengembalikan awareness anak muda tentang pangan lokal,” Steffi memberi contoh dari kasus dari daerah tempat tinggalnya.
Menurut Steffi, hal ini berbeda dengan kondisi anak muda di Jakarta yang mulai kehilangan pengetahuan sebab bentuk fisiknya pun sudah sulit untuk ditemukan. Ia menilai, tantangannya lebih besar karena bentuk tumbuhan atau bahan pangannya pun sudah sulit untuk dijumpai. Artinya, masyarakat sudah tidak terbiasa melihat tumbuhan atau tanaman yang menjadi sumber pangan lokal.
“Beda lagi kalau di NTT. Kalau di NTT itu, mereka sehari-hari masih konsumsi pangan lokal kayak jagung yang mereka tanam sendiri. Mereka masih konsumsi sehari-hari. Cuma yang mereka itu kurang awareness-nya adalah mereka itu rasa bangga terhadap pangan lokal itu, makin ke sini itu makin menurun,” Steffi menyebutkan anak-anak di daerah NTT kerap merasa ragu jika makanan yang dikonsumsi bergizi.
Berdasarkan pengalamam Steffi, banyak anak dari daerah yang kerap meragukan kandungan nutrisi dalam makanannya. Padahal, masyarakat di NTT sangat produktif dalam mengolah bahan makanan mentah menjadi sajian yang nikmat.
"Jadi ya ironis, di daerah yang di mana pangan lokal itu masih gampang ditemukan dan masih dikonsumsi sehari-hari, justru mereka itu awareness tentang gizi, terus rasa bangga terhadap pangan lokal juga tergerus. Jadi, tantangannya di masing-masing daerah itu berbeda-beda,” katanya.
Kepekaan generasi muda akan makanan lokal juga makin menurun akibat pengaruh berbagai budaya. Steffi berpandangan, cara untuk melestarikan kudapan lokal adalah mengakui bahwa selera anak muda telah bergeser dibanding pendahulunya. Untuk itu, diperlukan inovasi pangan yang mampu mengombinasikan kebiasaan masa kini dengan warisan budaya lokal. Berinovasi adalah salah satu cara untuk bisa melestarikan pangan lokal.
"Jadi sebenarnya, inovasi itu tidak ada salahnya. Aku selalu bilang ke teman-teman, selama kalian berinovasi dengan pangan lokal dan itu benar-benar mengutamakan bahan pangan lokal, gak terlalu banyak menggunakan bahan pangan impor, misalnya tepung terigu, kalian bisa membuat makanan baru yang itu masuk di lidahnya generasi muda. Aku rasa itu gak salah sih dan itu adalah cara yang bagus untuk kita bisa tetap melestarikan pangan lokal," Steffi menirukan pesan yang disampaikannya.
6. Steffi berharap anak muda lebih banyak bertanya untuk meningkatkan wawasan soal pangan lokal

Perjalanan Steffi mengenalkan pangan lokal pada masyarakat, tentunya menghadapi banyak tantangan dan perjuangan. Namun, ia optimis masyarakat Indonesia akan lebih mengenal sumber pangan lokal di sekitar kita. Harapannya, jika awareness dari individu telah meningkat, akan muncul aksi atau tindakan yang semakin menghidupkan pangan lokal. Misalnya, mencoba kuliner dari berbagai wilayah atau ada keinginan untuk mempelajari keanekaragaman hayati di Indonesia.
Langkah untuk mempelajari pangan lokal diharapkan bisa menimbulkan impact yang lebih besar. Steffi menyebut, "Dengan membeli dari warung-warung atau rumah makan, itu kan juga memajukan UMKM, jadi tetap ada manfaatnya. Selain khazanah pangan lokal, kuliner lokal itu menjadi lebih luas, kita juga membantu untuk memutar roda ekonomi lokal. Terus kedua, syukur-syukur ada yang suka masak, suka berinovasi dengan pangan lokal. Selain pengetahuan itu bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan gizi dirinya dan keluarganya sehari-hari, juga bisa jadi bisa jadi peluang usaha juga buat dia."
Terakhir, Steffi berbagi harapannya bagi generasi muda agar memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Bertanya, berdiskusi, dan berdialog akan menjadi cara berkomunikasi yang efektif untuk mendapatkan insight maupun wawasan baru. Baginya, pertanyaan tak ada yang benar atau salah sebab itu adalah proses pembelajaran.
"Pesan dari aku, berani bertanya. Jadilah generasi muda yang berani bertanya. Jadi, ada anggapan di generasi tua bahwa anak muda, generasi muda itu tidak mau tahu tentang pangan lokal karena mereka sendiri pun gak bertanya. Jadi, kalau gak ditanya, yang generasi tua juga gak mau cerita karena mereka menganggapnya anak-anak muda itu gak mau tahu, gak punya rasa penasaran," tutup Steffi.
Steffi dan timnya baru saja menerbitkan buru Em He Taha Ten! (Mari Kita Makan Lagi!) dan Ensiklopedia: Dari Bumi Nusantara ke Piring Kita di tahun 2025. Teman-teman yang ingin mempelajari lebih lanjut mengenai tanaman dan olahan makanan lokal, dapat membeli buku karya Steffi dari penerbit Guru Bumi secara online atau mengunjungi store-nya di Jogja.