Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Laksmi Pamuntjak: Antara Jurnalisme, Sastra, dan Suara Perempuan

WhatsApp Image 2025-08-31 at 7.28.52 PM.jpeg
Laksmi Pamuntjak di IDN HQ pada 20 Agustus 2025 (IDN Times/Nisa Meisa Zarawaki)
Intinya sih...
  • Laksmi Pamuntjak, seorang jurnalis yang terjun ke dunia sastra, mulai dari novel hingga buku kuliner.
  • Disiplin jurnalisme memberikan pengaruh besar dalam kiprahnya sebagai penulis, membantu dalam proses kreatif dan observasi.
  • Perspektif perempuan dalam Kitab Kawin, menunjukkan kompleksitas hubungan pernikahan dan isu-isu yang dihadapi oleh perempuan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Dunia sastra Indonesia bahkan global memiliki nama Laksmi Pamuntjak sebagai penulis lintas genre. Bukan hanya novel, seorang yang berprofesi sebagai jurnalis ini, pernah membuat puisi hingga buku tentang kuliner. Telah 30 tahun berkarya, Laksmi gak pernah berhenti bereksperimen dengan berbagai tema. Kini, ia dikenal sebagai novelis, penyair, jurnalis, sekaligus translator.

Baru-baru ini, ia meraih Humanities in Translation Prize di Amerika Serikat untuk karyanya, Kitab Kawin, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi The Book of Mating. Apa yang diceritakan Laksmi kepada IDN Times secara langsung pada Rabu (20/8/2025) silam, menegaskan bahwa ide dan suara perempuan pun bisa menggema ke panggung internasional.

1. Jejak karier Laksmi Pamuntjak, seorang jurnalis yang terjun ke dunia sastra

WhatsApp Image 2025-08-31 at 7.28.54 PM.jpeg
Laksmi Pamuntjak di IDN HQ pada 20 Agustus 2025 (IDN Times/Nisa Meisa Zarawaki)

Bukan novelis, Laksmi Pamuntjak mengawali kariernya sebagai jurnalis di tahun 1990-an. Ia mengambil jurusan Ilmu Politik dan Studi Asia di Murdoch University, Australia. Lalu, aktif sebagai jurnalis Tempo yang fokus mengamati masalah-masalah di Asia, isu-isu terkini seputar Asia Pasifik untuk Tempo, Forum Keadilan, Gatra, jurnal Prisma, dan Jakarta Post sampai 1996.

Selama menulis untuk Jakarta Post, Laksmi mencoba berbagai tema. Ia banyak menulis resensi film dan buku, serta mengisi kolom kuliner bertajuk Epicurus, sebuah kolom resensi restoran yang dilakukan secara rahasia atau tidak memberitahu pihak restoran demi menjaga independensi. Dari situ, Laksmi mulai mengumpulkan data sekitar 600 restoran di Jakarta, yang akhirnya menjadi seri buku The Jakarta Good Food Guide. Kini sudah ada lima edisi dalam kurun waktu 10 tahun yang memuat berbagai tempat makan dari warung-warung hingga fine dining internasional.

“Pada dasarnya, saya ini seperti sponge, menyerap segala, dan minat saya benar-benar luas,” katanya.

Gak berhenti di situ, ketertarikannya merambah ke puisi dari menerjemahkan puisi Goenawan Mohamad hingga menerbitkan kumpulan puisi dalam buku berjudul Elipsis pada 2005. Karyanya itu terpilih sebagai Book of The Year oleh The Herald UK. Buku puisi keduanya berjudul The Anagram dan ditulis dalam bahasa Inggris yang terbit pada 2007.

“Di sela itu, saya menerbitkan kumpulan cerpen saya yang pertama, The Diary of R.S.: Musings on Art, juga dalam bahasa Inggris, dan cerita-cerita ini semua terilhami oleh lukisan yang saya sukai. Pada tahun 2007, saya juga menerbitkan sebuah telaah filosofis tentang manusia, kekerasan dan mitologi berjudul Perang, Langit dan Dua Perempuan,” lanjutnya.

Perjalanan panjang ini menunjukkan bahwa skala kepenulisannya cukup luas. Di sepanjang 15 tahun terakhir, Laksmi sudah menerbitkan tiga novel yaitu Amba, Aruna dan Lidahnya, serta Fall Baby dalam Bahasa Inggris. Kini, Amba telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

“Kumpulan puisi dan prosa dalam Bahasa Inggris berjudul There Are Tears in Things. Kitab Kawin, yang terbit tahun 2021, merupakan kumpulan cerpen saya yang kedua dan karya termutakhir saya adalah Selaput Biru, semacam memoar, yang saya tulis selama masa residensi saya di Paris pada 2023,” Laksmi menyebutkan karya-karyanya.

2. Disiplin jurnalisme memberikan pengaruh besar dalam kiprahnya sebagai penulis

WhatsApp Image 2025-08-31 at 12.36.18 PM.jpeg
Laksmi Pamuntjak di IDN HQ pada 20 Agustus 2025 (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Menurut Laksmi, disiplin jurnalisme sangat memengaruhi proses kreatifnya dalam menulis. Disiplin tenggat waktu itu sangat membantunya dalam menulis apa pun. Selain itu, ilmu jurnalisme membuatnya memiliki ketajaman dalam mengobservasi suatu hal.

Katanya, “Kita dilatih untuk menajamkan daya observasi. Kita harus bisa merekam dalam ingatan apa saja yang kita lihat, bisa detail-detail setting. Kalau pergi meliput sesuatu, (ada) detail-detail tentang manusia, perilaku manusia, gaya berbahasa, gaya bertutur, segala macam aspek yang bisa dituangkan ke dalam reportase tersebut.”

Ia mengaku banyak bergaul dengan jurnalisme naratif. Dalam tulisannya, ia menggabungkan hasil reportase, analisis data, hasil observasi, dan pendalaman isu dari berbagai perspektif.

"Jurnalisme sangat amat membantu penulisan fiksi juga karena kalau kita misalnya mau menghidupkan suasana, mau menulis suatu adegan, penting untuk kita bisa menggambarkan adegan supaya hidup di mata pembaca,” sambungnya.

Kemampuan observasinya menjadikannya cepat melihat masalah karena harus menggabungkan data dan analisa. Contohnya ketika ada kerusuhan, observasi membantunya untuk tahu apa yang menjadi penyebab di baliknya. Berbeda dengan sisi emosional, pengalamannya dalam kepenyairan juga yang membantu Laksmi bisa menyalurkan emosi ke dalam tulisan.

“Sebagai jurnalis, kita terlatih untuk menggambarkan sebuah situasi dengan ringkas, padat, deskriptif. Dalam jurnalisme investigatif, kita terlatih menghadirkan sebuah mikrokosmos, sebuah cerita yang bernas, yang melibatkan ide, riset, bahasa, struktur, plot, daya narasi, presisi. Ini semua adalah skill set atau keterampilan yang sangat bermanfaat untuk seorang novelis,” terangnya,

Lebih lanjut, Laksmi memosisikan dirinya sebagai kolumnis daripada reporter. Ia sering menulis artikel opini untuk The Guardian sehingga dirinya cukup analitis. Bahkan, Laksmi merasa ada banyak hal yang bisa ia selami ketika menulis artikel-artikel opini.

“Saya menikmati proyek-proyek tulisan saya dengan UNICEF karena saya bisa mengenali, kadang menyelami begitu banyak ragam realita kehidupan, dan juga berempati terhadap sesama manusia, terhadap perjuangan dan nasib mereka yang tak seberuntung saya. Saya rasa itu turut membentuk keutuhan saya sebagai penulis,” imbuhnya.

3. Perspektif perempuan dalam Kitab Kawin

WhatsApp Image 2025-08-31 at 7.28.51 PM.jpeg
Laksmi Pamuntjak di IDN HQ pada 20 Agustus 2025 (IDN Times/Nisa Meisa Zarawaki)

Novelnya yang berjudul Kitab Kawin, kembali dicetak ulang dengan sampul depan yang berbeda. Namun, Laksmi mengatakan tidak ada perbedaan mengenai isi dari Kitab Kawin. Novel ini terdiri dari 12 kisah kehidupan yang terinspirasi oleh perempuan dari latar belakang dan setting yang berbeda-beda.

Ada pekerja toserba, karyawan perusahaan asuransi, pramusaji merangkap pemain band di restoran Korea, seniman paruh baya, instruktur yoga, perempuan asli Alifuru, remaja yang kehilangan masa depannya, hingga ibu-ibu borju. Semuanya memiliki permasalahan yang bermuara pada hubungan pernikahan, cinta, atau relasi intim.

“Jadi dari situ, saya melihat tema perkawinan ini sebenarnya menarik karena perkawinan itu ada banyak ragamnya. Tapi dalam perkawinan yang bahagia atau tidak bahagia pun, selalu ada nuansanya. Saya ingin masuk kepada contoh-contoh perkawinan, bukan cuma perkawinan yang konvensional,” terangnya saat menemui IDN Times di kantor IDN HQ, Jakarta.

Ia menangkap luasnya makna “kawin” dalam bahasa Indonesia. Hal inilah yang berusaha ditunjukkan oleh Laksmi bahwa pernikahan bukan sekadar ritus. Semua tokoh perempuan  digambarkan punya kompleksitasnya masing-masing dari kisah perselingkuhan, poligami, kekerasan fisik, hingga isu seksual. Semuanya terilham dari kasus-kasus yang kerap ditemukan di Indonesia.

“Kitab-kitab ini tak saja berkisah tentang jiwa-jiwa yang buncah, kesepian dan terlantar, serta tubuh-tubuh yang terpasung dan disakiti, tapi juga tentang jiwa-jiwa yang berontak dan merdeka, dan yang berani merumuskan ulang hukum-hukum perkawinan bagi diri mereka sendiri,” ujarnya. 

Bukan tanpa sebab, Laksmi mengangkat perspektif perempuan karena pergejolakan-pergejolakan yang dialami dan hanya bisa dirasakan oleh perempuan. Namun, ia tidak ingin meromantisasi perempuan. Mau bagaimana pun, perempuan juga manusia yang tidak sempurna dan punya kekurangan.

“Perempuan itu tidak selalu tidak merdeka, tapi mereka juga tidak selamanya korban,” tegasnya.

Lewat Kitab Kawin, Laksmi ingin menunjukkan perspektif perempuan yang lebih luas. Bahwa perempuan juga penuh keraguan, gak konsisten, gak percaya diri, berpikir dangkal, bisa manipulatif. Ketika dihadapkan oleh beragam pilihan hidup, perempuan menjadi manusia yang punya banyak pertimbangan. 

Namun, Laksmi juga menghadirkan sisi perempuan yang tangguh. Perempuan yang berani, cuek, penuh akal, gak cengeng, gak peduli penilaian orang lain, dan gak takut dianggap bukan ‘perempuan baik-baik’.

Penting baginya menjelaskan bahwa perempuan tidak tunggal dan tidak tanpa cela. Keputusan yang dibuat perempuan tidak terlepas dari faktor strata sosial, ekonomi, pendidikan, usia, budaya, agama, dan lain sebagainya.

“Tapi nyatanya, meskipun perempuan tak jarang berada di garda depan perubahan, nilai-nilai patriarki di masyarakat Indonesia telah mengakar-urat. Demikian pula upaya untuk meredam atau membekap suara perempuan, terutama dalam konteks keadilan dan kesetaraan gender,” tuturnya.

Di Kitab Kawin, Laksmi ingin agar perempuan juga tahu hak-haknya. Mereka adalah individu yang punya cita-cita, keinginan, insting untuk bertahan hidup, dan mindset yang berbeda.

4. Penghargaan internasional dan tantangan terjemahan

WhatsApp Image 2025-08-31 at 7.28.57 PM.jpeg
Laksmi Pamuntjak di IDN HQ pada 20 Agustus 2025 (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Kitab Kawin kemudian diterjemahkan oleh Annie Tucker ke Bahasa Inggris. Buku terjemahannya, The Book of Mating, mendapatkan penghargaan Humanities in Translation Prize di Amerika. Laksmi mengatakan, penghargaan ini bukan hanya soal sastra, tapi juga penghargaan untuk kemanusiaan.

“Nilai-nilai kemanusiaan yang dikandung dalam karya ini, terutama menyoroti kecenderungan manusia untuk bersikap buas atau kapasitas manusia untuk bersikap buas terhadap sesamanya dan juga terhadap satu sama lain dan juga kepada dirinya sendiri,” tuturnya.

Laksmi merasa terpanggil untuk menulis demi kemanusiaan. Itulah mengapa ia banyak mengangkat tema kemanusiaan seputar ketidakadilan, kekerasan, khususnya terhadap perempuan. Berkat HiT (Humanities in Translation), Kitab Kawin kabarnya akan diterbitkan di Amerika oleh Northwestern University di tahun 2026.

Meski Bahasa Indonesia dan Inggris punya pola yang sangat berbeda, Laksmi percaya audiens yang tidak mengenal Indonesia pun tetap larut dalam cerita. Menurutnya, Annie punya pengetahuan yang luas dan mendalam tentang Indonesia.

Di buku Kitab Kawin cetakan terbaru, sampul depannya menggunakan ilustrasi baru dari Katarina Monika. Laksmi mengatakan, sampul bernuansa pink itu menunjukkan keindahan dan duka, wajah yang terpahat, potret kepedihan, bayang-bayang yang menguncup dan mekar, kebun yang diam, serta beban keperempuanan yang dilambangkan oleh bunga. 

Simbol bayang-bayang yang menguncup dan mekar itu disebutnya Blooming Shadows. Ilustrasi ini melambangkan feminitas menurut Laksmi, menunjukkan perempuan dengan berbagai peran yang harus diemban.

5. Proses kreatif di balik buku Amba hingga Kitab Kawin

WhatsApp Image 2025-08-31 at 12.36.18 PM (1).jpeg
Laksmi Pamuntjak di IDN HQ pada 20 Agustus 2025 (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Di balik setiap karyanya, Laksmi menemui banyak tantangan. Novel pertamanya yang berjudul Amba, dinilai sulit karena memuat sejarah yang cukup kompleks. Butuh waktu 10 tahun untuk menyelesaikan Amba yang menceritakan tentang tragedi tahun 1965.

“Saya terpaksa harus menajamkan pena. Saya harus hidup dulu, harus punya banyak pengalaman dulu, baru bisa meresapi pentingnya tema ini. Terutama juga karena ini kan kejadian nyata, ini sejarah kolektif yang belum tentu semua orang melihatnya seperti ini. Ini tragedi kemanusiaan yang besar,” ceritanya tentang proses menulis Amba.

Buku Aruna dan Lidahnya cukup menantang bagi Laksmi. Ia kembali menulis tema kuliner dengan tema-tema baru yang sebelumnya tidak ia pahami, tentang sains, vaksin burung, dan sektor kesehatan masyarakat. Novel yang diangkat menjadi film ini, membuat Laksmi harus berkeliling ke 11 atau 12 kota.

Kitab Kawin menjadi buku yang cukup mengusik mentalnya. Ia mengangkat tema yang keras dan memancing sisi emosional. Dengan 12 cerpen di dalamnya, Laksmi membutuhkan waktu tiga sampai empat tahun untuk menyelesaikannya.

“Dari segi tema saja, misalnya menulis mengenai pemerkosaan anak oleh bapaknya itu, kan gak gampang. Itu saya ikut emosional dan mengubahkan hidup saya juga. Saya sangat terkena, jadi depressed juga karena itu kan kejam sekali, gak terbayangkan kekejamannya," kenangnya.

Menurut Laksmi, setiap tema, genre, atau bentuk penulisan punya tantangan yang berbeda-beda. Selain memengaruhi secara mental, ia mengatakan butuh kerja keras untuk riset dan melihat banyak perspektif, khususnya buku mengenai sejarah atau isu-isu yang sensitif.

“Risetnya harus riset yang serius dan riset gak bisa cuma baca satu buku sejarah. Kita juga harus melihat perspektif banyak aktor politik pada saat itu, aktor-aktor sejarah. Belum tentu satu aktor sejarah melihat permasalahannya dengan cara yang sama. Jadi, semua harus dipertimbangkan,” ungkapnya.

Setiap karyanya membutuhkan waktu yang gak sebentar. Rasa lelah secara emosional menjadi harga yang harus dibayar untuk menghasilkan karya yang berkualitas. Laksmi juga merasa penulis harus pintar menganalisa, pintar melihat kedalaman suatu topik sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan satu karya.

Selain hal-hal teknis, tanggung jawab juga menjadi tantangannya sebagai penulis. Untuk itu, ia menegaskan bahwa penulis harus punya kemampuan-kemampuan khusus.

“Harus siap sedia berkeringat darah, bergulat dengan bahasa, harus banyak membaca supaya ada bandingannya tulisan yang baik itu seperti apa,” jelasnya.

Penulis juga harus punya rasa empati dan kemanusiaan yang besar. Mau bagaimana pun, hidup ini gak terlepas dari masalah-masalah sosial.

Dari Amba, Kitab Kawin, dan karya lainnya, Laksmi terus menyuarakan apa yang jarang terdengar. Ia berani menyelami luka dan kerentanan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Apa yang Laksmi lakukan tentu bukan hal yang mudah. Namun, Laksmi berharap ada banyak penulis yang punya empati tinggi dan keberanian untuk jujur.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriyanti Revitasari
EditorFebriyanti Revitasari
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Keputusan Berisiko yang Sering Terjadi Akibat Trust Issue, Pahami!

03 Sep 2025, 20:27 WIBLife