7 Pola Perilaku yang Terlihat Biasa Padahal Wujud dari Respons Trauma

Banyak di antara kita mengalami trauma tentang sesuatu hal yang membentuk diri kita sedemikian rupa. Terkadang diri kita pun tidak menyadari bahwa trauma tersebut berdampak begitu besar pada cara kita menjalani hidup, pola pikir, hingga pola perilaku. Kita tetap mempertahankan kebiasaan tersebut dan mengira diri kita baik-baik saja, pun tidak ada yang salah pada diri kita.
Memang, respons trauma kita gak jarang terlihat sebagai sesuatu hal yang normal. Gak cuma terlihat normal, bahkan kita menyalah artikan hal tersebut sebagai sesuatu yang positif atau kelebihan yang kita miliki. Berikut beberapa pola perilaku yang bisa jadi merupakan respons trauma tanpa kira sadari. Simak artikel ini lebih lanjut, yuk!
1. Hyper-independence

Hyper-independence atau mandiri secara berlebihan, sering kali menjadi respons trauma yang paling sulit terdeteksi. Hal ini dikarenakan pola perilaku ini sering disalah artikan sebagai hal yang positif bahkan dianggap sebagai kelebihan bagi beberapa individu. Padahal, hyper-independece bisa jadi merupakan respons kita terhadap trauma akibat pengabaian.
Kita yang pernah berada di situasi sangat butuh bantuan tapi tidak ada yang peduli, cenderung membentuk pola perilaku ini. Kita mulai menjadi sangat mandiri sebagai mekanisme pertahanan kita. Hal ini karena kita merasa tidak ada yang mau membantu kita.
2. Menjadi humoris di situasi dan kondisi yang negatif

Pernahkah menjumpai seseorang yang banyak tertawa dan humoris? Siapa sangka orang-orang yang suka bercanda secara impulsif tanpa kenal situasi dan kondisi juga merupakan respons trauma. Mereka biasanya menggunakan humor dan candaan juga sebagai mekanisme pertahanan.
Sebagaimana yang kita tahu, tawa bisa mengalihkan fokus dari rasa sakit yang sedang kita rasakan. Dengan begitu, seseorang bisa merasa lebih baik saat ia menjadikan situasi dan kondisi yang negatif sebagai humor. Orang-orang ini biasanya tidak ingin terlihat lemah, sehingga mereka tidak mau menunjukkan rasa sakit mereka yang sebenarnya.
3. Mudah marah

Kita mungkin melihat pola perilaku seseorang yang mudah meledak-ledak sebagai bentuk kesulitan meregulasi emosi. Padahal, pola perilaku mudah marah juga bisa menjadi respons trauma, lho! Individu yang cenderung mudah marah dalam merespons segala sesuatu, biasanya terbentuk akibat ketidakmampuan dirinya untuk mengekspresikan emosinya dengan cara lain.
Mereka mungkin kesulitan untuk mengekspresikan lewat tangis, biasanya hal ini disebabkan mereka tidak mau terlihat lemah. Mereka pantang untuk dikasihani sehingga merespons segala persoalan dengan emosi yang meledak-ledak. Bisa juga hal ini disebabkan oleh inner child akibat emosinya di masa kecil kerap ditolak dan diremehkan.
4. Haus validasi tapi tidak pernah merasa puas

Pernah menjumpai orang-orang yang gila akan pengakuan orang lain? Ternyata perilaku ini tidak muncul tanpa sebab, lho! Pola perilaku ini juga bisa terjadi akibat trauma di masa lalu yang belum sembuh. Mereka yang haus validasi biasanya memiliki inner child akibat kurangnya pengakuan dan apresiasi dari pengasuh utamanya.
Di masa kanak-kanak, penting bagi anak untuk mendengarkan pujian kecil, apresiasi, dan pengakuan tentang betapa hebatnya ia berusaha. Kurangnya pengakuan ini akan berdampak negatif saat mereka dewasa.
Mereka akan menjadi pribadi yang suka flexing pencapaian untuk mendapatkan pengakuan, yang tidak pernah mereka dapatkan dari orang-orang di sekitarnya saat mereka kecil.
5. Anti bergantung pada siapa pun

Apa kamu juga anti bergantung pada siapapun? Mungkin kamu pernah mengalami trauma parentifikasi saat masa kanak-kanak. Pengalaman parentifikasi memang membentuk kanak-kanak menjadi dewasa lebih dini, mereka secara bertubi-tubi berada di situasi yang seolah mengharuskan mereka menyelesaikan segala hal sendiri.
Orang-orang yang mengalami trauma ini akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak bergantung pada siapapapun. Di kondisi yang butuh pertolongan sekalipun, mereka akan tetap berdiri sendiri dengan segala risiko yang ada.
6. Takut berlebihan untuk berkomitmen

Bagi seseorang, berkomitmen adalah hal yang bisa diusahakan. Beberapa orang tanpa trauma ditinggalkan, mungkin juga merasa komitmen adalah hal yang mudah untuk diwujudkan. Akan tetapi, hal ini akan jauh berbeda bagi individu dengan pengalaman pernah ditinggalkan atau di-ghosting.
Mereka akan belajar bahwa komitmen itu sulit, dan mereka mungkin merasa tidak mampu mewujudkannya. Hal ini muncul akibat trauma ditinggalkan di masa lalu yang sulit mereka sembuhkan. Mereka akan cenderung mudah meninggalkan.
Uniknya, pola perilaku ini bukan karena mereka tidak lagi mencintai pasangannya, melainkan justru karena mereka takut ditinggalkan lebih dulu setelah mereka begitu dalam mencintai seseorang.
7. Gak bisa stay di hubungan yang damai

Mungkin bagi kita yang tidak mengalami trauma yang sama, akan sulit untuk relate dengan kondisi ini. Kita mungkin merasa aneh, tapi ini nyata dan benar-benar terjadi pada beberapa individu dengan trauma. Jika mereka menjadi saksi hubungan orangtua yang chaos, mereka akan belajar bahwa hubungan yang damai itu membosankan.
Beberapa individu akan merasa curiga bahkan bosan pada hubungan yang damai. Mereka akan merasa flat dan lebih menyukai hubungan yang bak roller coaster. Padahal, hubungan yang damai adalah idaman bagi kita, tapi orang dengan trauma ini justru merasa kebalikannya, karena mereka tidak mengenal cinta yang stabil dalam hidupnya.
Itulah sederet pola perilaku yang ternyata bisa menjadi respons trauma. Pola perilaku ini seringkali tidak kita sadari dan kita biarkan terus menerus. Jika kamu mengalami salah satunya, dan berada di titik merasa butuh bantuan, jangan ragu untuk mencari bantuan orang terdekat atau bahkan psikolog, ya!