5 Hal yang Dianggap Wajar oleh Boomer padahal Tanda Trauma

- Banyak nasihat hidup dari generasi boomer mungkin reaksi terhadap luka batin
- Menekan emosi dan merasa harus produktif bisa jadi tanda trauma
- Mandiri bukan berarti menghadapi segalanya sendirian, belajar meminta tolong adalah bentuk kekuatan
Banyak nasihat hidup yang didengar dari generasi boomer terdengar seperti kebijaksanaan. Namun, seiring berkembangnya pemahaman tentang kesehatan mental dan pola asuh, kamu mulai menyadari bahwa sebagian dari nilai-nilai tersebut mungkin bukan sekadar prinsip hidup, tapi reaksi terhadap luka batin yang tak pernah disembuhkan.
Dalam banyak kasus, hal-hal yang dianggap wajar dan masuk akal oleh mereka justru merupakan cara bertahan yang lahir dari pengalaman hidup yang keras dan penuh tuntutan. Alih-alih menyalahkan, memahami perspektif ini bisa membuka ruang empati. Di balik sikap keras atau kaku berikut ini, ada generasi yang dipaksa tumbuh sebelum waktunya. Berikut ini beberapa hal yang dianggap wajar oleh boomer padahal tanda trauma.
1. Mereka meremehkan rasa sakit sendiri

Banyak dari generasi boomer dibesarkan dengan keyakinan bahwa mengeluh itu lemah, apalagi jika dibandingkan dengan penderitaan orang lain. Kalimat seperti “yang lain lebih parah, jadi kamu nggak boleh ngeluh” menjadi semacam mantra yang membuat mereka terbiasa menekan rasa sakit atau kesedihannya sendiri.
Akibatnya, mereka merasa tidak berhak merasakan atau membicarakan kesedihan karena ada orang lain yang lebih menderita. Padahal, rasa sakitsekecil apa puntetaplah valid. Ketika kamu terus membandingkan lukamu dengan luka orang lain, kamu justru kehilangan kesempatan untuk benar-benar memproses emosi.
Buat sebagian boomer, cara ini adalah mekanisme bertahan untuk menghindari emosi yang sulit, tapi tanpa disadari, itu malah memperpanjang luka batin yang tak pernah benar-benar disembuhkan.
2. Mereka percaya bahwa tegar adalah satu-satunya jalan jadi kuat

Sejak kecil, banyak boomer diajarkan bahwa menunjukkan emosi adalah tanda kelemahan dan hanya mereka yang kuat dan tahan bantinglah yang bisa sukses. Akibatnya, mereka terbiasa menekan perasaan, bahkan ketika sedang hancur di dalam. Keyakinan bahwa semua itu akan membentuk karakter membuat mereka terus berpura-pura kuat, walau sebenarnya lelah dan rapuh.
Namun, kekuatan sejati tidak hanya datang dari ketegaran, tetapi juga dari keberanian untuk jujur pada diri sendiri. Menangis, merasa sedih, atau minta bantuan bukanlah tanda kelemahan. Justru, dengan mengenali emosi dan belajar meresponsnya, seseorang bisa tumbuh jauh lebih kuat daripada hanya menahan diri tanpa pernah menyelesaikan luka batinnya.
3. Mereka yakin kerja keras pasti berbuah manis

Bekerja keras adalah nilai yang penting, tetapi bukan jaminan bahwa semuanya akan berjalan sesuai harapan. Banyak boomer percaya bahwa satu-satunya cara untuk dihargai adalah dengan bekerja tanpa henti, bahkan jika itu berarti mengorbankan kesehatan, keluarga, atau kebahagiaan.
Keyakinan ini sering kali tidak lahir dari semangat, tapi dari kebutuhan bertahan hidup yang dibentuk oleh masa lalu yang keras. Pola pikir ini sebenarnya bisa menjadi respons trauma, di mana seseorang merasa harus terus-menerus produktif agar merasa berharga.
Padahal, nilai diri seseorang tidak ditentukan oleh seberapa sibuk dia. Mengistirahatkan diri, memberi ruang untuk bernapas, dan menikmati hidup juga adalah bentuk keberhasilan yang layak dihargai.
4. Mereka enggan bergantung pada orang lain

Banyak boomer dibesarkan dalam lingkungan yang menuntut mereka untuk mandiri sejak kecil. Orang tua mereka mungkin tidak begitu ekspresif atau suportif secara emosional, sehingga mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa mengandalkan orang lain adalah tanda kelemahan. Akhirnya, mereka belajar untuk memendam kebutuhan sendiri dan tidak meminta bantuan.
Namun, menjadi mandiri bukan berarti harus menghadapi segalanya sendirian. Manusia adalah makhluk sosial yang berkembang lewat kerja sama dan saling dukung. Sebenarnya banyak orang bersedia membantu lebih dari yang kamu kira. Belajar meminta tolong bukan berarti lemah, itu berarti kamu cukup kuat untuk mengakui bahwa dirimu juga manusia biasa.
5. Mereka pilih menahan luka dan melanjutkan hidup seolah tak terjadi apa-apa

Hal yang dianggap wajar oleh boomer padahal tanda trauma adalah menahan luka dan melanjutkan hidup seperti tanpa masalah. Ungkapan “udah, jalanin aja” sering terdengar dari generasi boomer, bahkan saat menghadapi pengalaman hidup yang menyakitkan. Mereka percaya bahwa cara terbaik untuk sembuh adalah melupakan, memendam, lalu lanjut hidup tanpa banyak bicara soal perasaan. Tapi luka yang tidak diproses tidak benar-benar hilang, ia hanya bersembunyi dan muncul dalam bentuk lain.
Seseorang seharusnya tidak menekan atau meluapkan emosi secara berlebihan, melainkan belajar menerima dan mendengarkan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh emosi tersebut. Menyembuhkan diri bukan berarti melupakan, tapi mengakui luka itu dan memprosesnya dengan cara yang sehat.
Memahami perbedaan nilai antara generasi bukan berarti membenarkan semuanya, tapi juga bukan untuk menyalahkan sepenuhnya. Ini adalah undangan untuk menyelami lebih dalam bagaimana luka masa lalu membentuk cara pandang kamu hari ini.