Reza Riyady dan SAUS, Perjuangkan Setetes Harapan di Pedalaman Bali

Bagi kita, keberadaan air adalah hal yang biasa. Namun kadang kita lupa, apa yang kita anggap biasa, seringkali merupakan sesuatu yang amat berharga keberadaannya bagi orang lain. Sedih memang. Namun nyatanya di zaman sekarang, masih banyak daerah yang belum memiliki akses air bersih. Gak perlu jauh-jauh ke timur Indonesia, pasalnya kamu juga akan menemukan kondisi serupa di Pulau Dewata. Salah satunya di Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.
Saking langkanya, warga di sana bahkan harus berjalan kaki berkilo-kilo jauhnya hanya untuk mendapatkan air. Menyaksikan situasi memprihatinkan ini, membuat seorang perawat sekaligus pendiri Komunitas Bali Tersenyum ID bernama Reza Riyady Pragita terketuk hatinya. Melalui program "SAUS (Sumber Air untuk Bersama) untuk PHBS", Reza dan kawan-kawan Komunitas Bali Tersenyum ID bertekad mendekatkan akses air bersih untuk warga Desa Ban. Bagaimana caranya? Yuk simak kisah perjuangannya di bawah ini!
1. Kecintaan pada profesi keperawatan menjadi motivasi Reza dalam memulai program SAUS

Selama ini kita hanya tahu bahwa tugas perawat sebatas menyuntik atau melakukan tindakan sesuai dengan arahan dokter. Nyatanya profesi sebagai perawat gak hanya berhenti di rumah sakit saja, tetapi juga bisa diperluas menjadi bentuk kepedulian pada masyarakat. Bagi Reza, kecintaannya pada profesi keperawatanlah yang mendorongnya untuk terjun langsung ke masyarakat dan memulai program SAUS (Sumber Air untuk Sesama).
Terlebih, Reza juga terinspirasi dari sosok berjuluk The Lady with the Lamp, seorang perawat bernama Florence Nightingale yang dikenal atas dedikasinya dalam merawat tentara Inggris yang terluka saat Perang Krimea tahun 1820. Kebiasaan Florence berjalan membawa lampu senter menembus gelapnya malam untuk menjenguk pasien-pasiennya menjadi awal mula munculnya filosofi keperawatan modern yaitu 'the light in the darkness'.
"Saya ingin menjadi sosok seperti itu. Kenapa saya terjun ke masyarakat padahal saya bekerja di rumah sakit, karena keperawatan itu tidak hanya memberikan asuhan keperawatan pada orang sakit, tetapi juga mengacu pada kebutuhan dasar manusia. Bagaimana mereka bisa memenuhi pola hidup bersih dan sehat, jika mereka tidak terpenuhi dari kebutuhan dasarnya yaitu air," ungkap Reza dalam sesi wawancara eksklusif bersama IDN Times pada Selasa (21/10/2015) lalu. Lebih lanjut, Reza menuturkan bahwa dalam dunia keperawatan, kita mengenal tindakan preventif, promotif, kuratif, dan kolaboratif. Seandainya tindakan ini benar-benar diterapkan, terutama di pedalaman, maka kita bisa membantu kehidupan masyarakat di luar sana untuk menjadi lebih baik lagi.
2. Kekaguman perempuan-perempuan Bali menjadi penggerak program SAUS

Florence Nightingale memang menjadi inspirasi Reza Riyady untuk membentuk program Sumber Air untuk Sesama (SAUS), tetapi pada akhirnya kekaguman pada perempuan-perempuan Balilah yang membuat program ini berjalan. Semua bermula pada tahun 2019, ketika Reza menghabiskan waktu liburnya di Bali Timur. Namun niat awalnya untuk liburan seketika terlupakan saat ia bertemu dengan ibu-ibu dari Desa Ban yang sedang mencari air. Bayangkan untuk mendapatkan air, ibu-ibu di desa harus berjalan kaki sekitar 5 kilometer sambil mendorong gerobak berisi jerigen kosong. Setelah menemukan air, mereka akan mengisi jerigen itu sampai penuh, lalu kembali menempuh perjalanan jauh sambil mendorong gerobak yang berat.
"Kita berpikir bahwa orang tuh mandi tiga kali sehari. Tapi di sana jangankan 3 kali sehari, 3 hari sekali pun belum tentu. Mereka tuh tahu caranya mencuci tangan. Mereka sering dapat edukasi bagaimana cara mencuci tangan, bagaimana cara menggosok gigi yang benar. Mereka bukan gak mau melakukannya, bukan bebal, tetapi karena mereka gak punya akses ke air bersih," tutur Reza.
Sebetulnya jika warga desa ingin air, mereka bisa aja mendapatkan air dengan mudah. Namun air-air ini gak gratis, mereka harus membeli dengan harga mahal. Bayangkan untuk satu jerigen aja yang mungkin isinya gak terlalu banyak, mereka harus membeli dengan harga Rp100.000. Pilihan lainnya adalah menunggu donasi air dari PMI atau BPBD. Namun tetap aja, yang namanya donasi gak akan selalu ada setiap waktu. Mengingat lokasi Desa Ban cukup jauh dari Denpasar dan Klungkung, ditambah akses jalan menuju desa yang kurang baik, membuat warga semakin kesulitan untuk mendapatkan air bersih.
3. Nyaris gagal, perjuangan Reza gak semudah membalikkan tangan

Awalnya Reza dan teman-teman dari Komunitas Bali Tersenyum ID berencana melakukan program bedah rumah. Namun alih-alih mengambil keputusan sepihak, Reza memutuskan untuk melakukan pendekatan kepada warga desa, guna mencari tahu apa sih yang sebenarnya mereka butuhkan.
"Di keperawatan, kita punya yang namanya pendekatan community as partner, di mana masyarakat gak menjadi objek asuhan keperawatan kita, tetapi masyarakatlah yang akan menyelesaikan masalahnya sendiri."
Setelah bermusyawarah dengan masyarakat, ternyata yang mereka butuhkan adalah air. Mereka ingin agar akses air bisa lebih dekat, sehingga mereka gak perlu melakukan perjalanan jauh. Dari masalah tersebut, solusinya adalah dengan membuat bak penampungan air yang nantinya akan dihubungkan ke sumber air potensial dekat desa. Untuk mendapatkan dananya, Reza dan kawan-kawan mencoba berbagai cara. Mulai dari mencari dana melalui jalur politik ke pemerintah daerah, melakukan kampanye di situs crowfunding seperti kitabisa.com, dan share di media sosial.
Sayangnya dana yang terkumpul hanya sekitar Rp2,8 juta dan itu jelas sangat jauh dari target awal Rp30 juta. Situasi ini memang sempat membuat Reza merasa down. Namun sesuatu yang dilakukan dengan hati, akan selalu sampai di hati lainnya. Di momen kritis itu, tiba-tiba Reza dihubungi seseorang dari Medan yang ingin berdonasi dalam jumlah besar. Harapan yang sebelumnya nyaris pupus itu hidup kembali. Dalam waktu hitungan hari, warga Desa Ban bahu-membahu membangun bak penampungan air yang mereka resmikan pada Januari 2020 lalu.
4. Terlihat sederhana, siapa sangka program SAUS membawa dampak yang luar biasa

Sekilas apa yang dilakukan Reza bersama kawan-kawannya mungkin terlihat sederhana. Namun terkadang, hal-hal sederhana seperti inilah yang membawa dampak luar biasa. Dengan akses air bersih yang lebih dekat, warga bisa mulai menerapkan pola hidup bersih dan hal itu sangat berdampak bagi kesehatan mereka.
"Kalau teman-teman tahu, pasien-pasien saya dari Karangasem Utara, mereka lebih condong berobat ke RSUD Klungkung tempat saya bekerja karena jalannya lebih mudah. Dulu saya sering mendapatkan pasien anak-anak yang mengalami dehidrasi berat karena diare. Padahal pasien bayi yang mengalami dehidrasi berat adalah pasien yang paling saya dan rekan perawat lain takutkan. Selain karena gak tega melihat bayi yang sakit, pembuluh darah bayi yang sangat kecil tuh bikin infusan lebih sulit dipasang. Namun sekarang, saya sudah jarang banget mendapatkan pasien anak-anak dari Desa Ban yang mengalami dehidrasi berat," tutur Reza.
Gak hanya dirasakan oleh warga desa, dampak yang gak kalah positif juga didapatkan Reza sendiri. November 2022, Reza Riyady Pragita dipilih sebagai salah satu penerima penghargaan SATU Indonesia Award 2022 di bidang kesehatan dari Astra Indonesia. Reza sendiri gak pernah menyangka jika sesuatu yang dia perjuangkan, akan mendapatkan pengakuan sebesar ini.
5. Ke depannya Reza berharap dapat memberikan kehidupan yang lebih sejahtera bagi warga desa

Penghargaan yang didapat Reza dari Astra Indonesia membuat perawat asal Klungkung ini kembali bersemangat melanjutkan program SAUS yang sudah dia mulai. Bukan hanya bak penampungan air yang bisa mewujudkan pola hidup sehat di Desa Ban, ke depannya Reza berharap dari air tersebut, masyarakat bisa memiliki perusahaan air mineral sendiri. Rencana lainnya yang gak kalah hebat adalah ia ingin membuat tirta pelukatan di Desa Ban.
Tirta pelukatan sendiri merupakan tempat untuk melakukan ritual pembersihan diri, baik lahir maupun batin dengan menggunakan air suci. Keberadaan tirta pelukatan di Desa Ban diharapkan bisa mengundang wisatawan dan mengubah Desa Ban jadi desa wisata. Jika dua rencana ini berhasil terwujud, anak-anak muda di desa gak perlu lagi merantau untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Sebaliknya, anak-anak muda yang pergi merantau bisa pulang dan memajukan desanya.
Menghadirkan setetes harapan di desa yang sudah puluhan tahun mengalami kekeringan jelas bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Perjalanan jauh, akses menuju desa yang kurang memadai, hingga dana yang terbatas merupakan tantangan besar yang Reza dan kawan-kawannya harus hadapi. Namun seperti aliran air yang selalu menemukan jalannya, kita juga akan selalu menemukan pintu keluar untuk setiap masalah yang kita hadapi.


















