Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Serunya Cerita Bookstagram Alya Putri, dari Pembaca jadi Penulis

Intinya sih...
  • Orang Indonesia minim minat baca: hanya 1 dari 1000 orang membaca 1 buku per tahun menurut data UNESCO.
  • Alya Putri, pemilik akun bookstagram "bacaanalya", membangun platform untuk mendorong minat baca dengan ulasan buku dan cerita inspiratif.
  • Masalah akses baca, bookshaming, dan kesehatan mental menjadi tantangan dalam meningkatkan literasi di Indonesia.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Orang Indonesia disebut-sebut punya tingkat literasi yang cukup rendah. Masyarakatnya dianggap malas membaca. Di Indonesia, hanya 1 dari 1000 orang yang memiliki minat baca dengan rata-rata menghabiskan 1 buku bacaan dalam setahun, menurut data UNESCO.

Budaya membaca di Indonesia memang masih perlu ditingkatkan. Beruntungnya, kini banyak konten kreator yang membicarakan buku melalui media sosial dan mendorong kemauan membaca dari pengikutnya. 

Salah satunya adalah Alya Putri, bookstagram yang telah me-review ribuan buku di akun Instagram "bacaanalya". Tak sekadar memberikan rekomendasi atau ulasan, Alya juga berharap dengan platform yang dibuatnya, banyak orang tergerak untuk membaca.

Cerita seru Alya sebagai bookstagram, dibagikan dalam wawancara khusus bersama IDN Times pada Selasa (26/11/24) secara daring. Yuk, kenalan lebih dekat dengan Alya dan kisahnya membangun bookstagram!

1. Cerita Alya yang gemar membaca sejak kecil, bermula dari rasa ingin tahu yang besar

Kecintaan yang mendalam terhadap buku dan bacaan sudah ditunjukan sejak kecil oleh Alya. Buku tak sekadar menjadi media belajar, namun juga pemuas rasa ingin tahunya akan dunia sekitar. 

Bagi Alya, buku seperti jendela dunia yang mengajaknya bertualang dari satu informasi ke sebuah pengetahuan yang lebih luas. Kebiasaan ini tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga membentuk cara berpikir jadi makin kritis dan kreatif. 

"Aku suka baca dari kecil, dari umur-umur TK gitu lah, kayak aku mau 4 tahun gitu, mau masuk TK," cerita Alya.  

Uniknya, Alya kecil justru lebih menyukai buku pengetahuan dibanding cerita dongeng. Kebiasaan tersebut membentuk rasa ingin tahu dan menumbuhkan dorongan untuk menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan keingintahuannya. Buku yang memaparkan data, fakta, dan fenomena ilmiah lebih membuatnya enjoy daripada bacaan dongeng yang imajinatif. 

Alya berbagi awal mula kegemarannya membaca buku. "Ada banyak pertanyaan di kepala aku. Ini kenapa ya kayak gini? Ini kenapa ya kayak gitu? Kok ini kayak gini ya? Kadang melihat hal-hal kecil, gak tahu lah penjelasannya, sedangkan aku baru menemukan itu di sekolah dan (aku merasa) guru di sekolah gak menyenangkan. Maksudnya, menerangkannya tuh sangat-sangat membosankan. Aku gak suka yang belajar di sekolah gitu sebenarnya," katanya.

2. Semula hanya iseng bikin bookstagram, kini follower akunnya mencapai 85ribu dengan ratusan buku yang telah diulas

Akun bookstagram 'bacaanalya" mulai aktif memberikan ulasan sejak 2020, tepatnya ketikan pandemik COVID 19. Alya bercerita, kala itu ia tengah menempuh studi master. Di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa, ia justru membuat akun Instagram berisi ulasan buku yang pernah dibacanya. 

"Jadi, aku memang beberapa kali bikin konten. Tapi, gak kepikiran untuk bikin konten di Instagram tentang buku awalnya. Tapi, abis itu pandemik, gak tahu kapan selesainya. Terus juga, aku waktu itu ikut kelas online, kelas bikin buku gitu. Nah, di situ. Aku sebenernya suka baca, tapi aku gak kepikiran untuk bikin konten gitu," cerita Alya. 

Terlepas dari kesenangannya terhadap buku, Alya mengaku semula tak berniat membuat platform yang spesifik membicarakan hal tersebut. Meski demikian, Alya tak menyangka pengikutnya malah meningkat dan nama "bacaanalya" kian populer di kalangan pecinta buku. Setidaknya, 85ribu orang telah mengikuti akun Instagram yang dibuat Alya. 

Sebagai bookstagram, Alya mengaku keterampilan menulis sangat diperlukan. Selain mampu menghadirkan informasi yang relevan dengan pembaca, bookstagram juga harus berkomunikasi secara persuasif. Diakui Alya, pengalamannya sebagai creative writer sangat berguna dalam bidang ini.

"Sebenarnya, aku tipikal yang bikin review-nya mau kasih informasi, sesuatu hal yang bisa mendidik. Aku membiarkan orang. 'Kalau lo mau baca, ya udah. Kalau gak, juga gak apa-apa'. Kasih kritik tuh paling kritik soal isinya, itu pun kalau menurut aku udah paham banget sama isinya. Gak sembarang juga kasih kritik," akunya yang selalu berusaha memberi ulasan jujur selama menciptakan konten.

Sudah tak terhitung lagi jumlah buku yang rampung dibaca Alya. Dalam setahun, Alya paling tidak membaca lebih dari seratus judul. Biasanya, Alya membaca satu buku dalam sehari. Kebiasaan ini mengantarnya pada wawasan yang lebih luas dan inspirasi yang lebih berkembang. 

3. Bicara soal minat baca yang rendah, benarkah orang Indonesia cenderung malas baca?

Persepsi terkait minat baca orang Indonesia yang rendah, sudah bukan rahasia lagi. Data dan statistik menguatkan fenomena tersebut. Namun, Alya berpandangan bahwa realita ini bukan disebabkan oleh faktor tunggal, seperti kesadaran yang rendah saja.

Orang Indonesia bukannya malas baca buku, melainkan banyak penyebab seseorang kesulitan mendapat buku bacaan. Masalah ini mencerminkan tantangan yang lebih kompleks dan membutuhkan perhatian lebih, bukan hanya untuk meningkatkan literasi, tetapi juga untuk menciptakan ekosistem membaca yang inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat.

"Sebenarnya orang tuh minat bacanya ada, tapi kan terkendalanya kadang dia gak beli bukunya. Itu satu. Terus kedua, gak tahu mau bacanya kapan. Rasa tertariknya mah ada. Soalnya, mungkin gak ke buku (minat bacanya). Misalnya, baca informasi di media sosial. Sekarang masalahnya, orang kan fokusnya pendek, jadi kayak cuman di beberapa menit doang, terus kedistraksi. Itu kan masalah ya, masalah-masalah zaman sekarang. Cuman, ada juga masalah akses, akses baca buku," papar Alya. 

Masalah akses baca jadi isu yang serius dan mendasar. Jika menilik ke berbagai daerah di Indonesia, angka pembaca buku jauh lebih kecil daripada di kota besar seperti Jakarta. Sejumlah wilayah masih memiliki keterbatasan dalam menyediakan buku dan ruang untuk membaca. Perpustakaan yang kurang layak, akses buku yang sulit, dan kesadaran yang masih rendah, jadi alasan mengapa budaya membaca bukan prioritas. 

"Jadi, sebenarnya ternyata banyak ya (orang yang mau baca buku). Tapi, kadang malu aja untuk mengakui 'aku suka baca'. Agak malu-malu baca buku di depan umum. Kadang, ada narasi takut di-judge sama orang karena mayoritas memang gak terlalu suka baca kali ya," ujar dia. Berdasarkan pengamatan Alya, masih banyak pencinta buku yang gak leluasa melakukan hobinya di depan publik. 

4. Alya mengaku kerap mendapat bookshaming. Meski demikian, ia mengaku buku mampu mengubah cara pandang hidupnya

Fenomena bookshaming atau tindakan menghina bacaan orang lain, menjadi tantangan tersendiri bagi pecinta buku. Tak terkecuali Alya yang kerap menghadapi tantangan serupa. Genre bacaannya dianggap membosankan dan tak sesuai dengan standar atau pandangan tertentu.

Alya menceritakan pengalamannya, "Ya pernah, bilang baca buku nonfiksi terus, serius banget sih. Ada yang bilang kayaknya membosankan deh suka baca buku non fiksi."

"Macem-macem lah bookshaming, tuh. Ada aja orang yang bilang ngapain sih baca buku mulu? Sok pinter banget! Aku sih tipikal yang cuek, jadi ya terserah lah," lanjutnya.

Meski demikian, Alya terbilang cuek menanggapi pandangan negatif dari orang lain. Ia justru berusaha merayakan keberagaman literasi guna menginspirasi lebih banyak pengikutnya untuk membaca apa pun yang mereka sukai, tanpa takut dihakimi.

"Bookshaming tuh aku jadikan motivasi untuk aku kompor-komporin orang. Orang itu sampai keracunan dan pengen baca juga," ujar Alya sambil bergurau. 

Tentunya, bookshaming tak akan menurunkan minat baca Alya. Hobi yang telah ditekuni sejak kecil tak akan surut hanya karena komentar miring dari orang lain.

Buku tak hanya menjadi teman belajar, namun juga jadi salah satu media yang mampu mengubah hidupnya. Melalui sebuah buku berjudul Filosofi Teras karya Henry Manampiring, Alya yang ketika itu tengah mengalami krisis, jadi punya semangat baru dalam hidup.

"Iya (buku bisa mengubah hidup) karena kan waktu itu baru lulus, terus merasa kayak kehilangan arah gitu, tiba-tiba aja kayak gak semangat. Kayak, 'Ini apa sih?' Aku merasa was-was dan cemas sendiri, gitu lho!" katanya.

"Tapi, akhirnya pas aku baca buku Filosofi Teras itu, pelan-pelan aku baca. Aku pahami konsepnya. Ternyata, kita tuh gak perlu lho mengendalikan banyak hal," tambah Alya. 

5. Dari sekadar hobi membaca, kini Alya berhasil menjadi penulis buku

Dari hobi membaca, Alya kian mendalami dunia kepenulisan. Ia terjun menjadi seorang penulis buku self development. Dua karya terbarunya berjudul Cheers! Celebrate Your Life dan Hal-Hal yang Belum Kita Terima Saat Kita Dewasa.

"Temanya dua-duanya sama, sama-sama di self improvement. Menurutku, sumbernya lebih banyak lah yang udah aku baca. Jadi, aku rangkumin dengan hal yang mungkin lebih bisa dicerna. Isinya sih kayak refleksi diri gitu," jelas Alya.

Isu kesehatan mental dan pengembangan diri memang tengah menjadi favorit di kalangan muda. Kemauan untuk belajar memahami diri, mengeksplorasi potensi, serta pertanyaan terkait tujuan hidup menjadi fokus bagi banyak orang.

"Judulnya Cheers! Celebrate Your Life, tahun ini judulnya Hal-Hal yang Belum Kita Terima Saat Kita Dewasa. Tapi, temanya kurang lebih sama ya, masalah umur 20-an ini kan memang banyak banget masalahnya. Orang overthinking ternyata banyak ya?" tutur sosok berkacamata itu.

6. Kenapa orang wajib baca buku?

Literasi menjadi kemampuan yang esensial di era digital bagi generasi muda. Keterampilan untuk memahami bacaan, tidak hanya terbatas pada buku, sangat membantu menyikapi perdebatan atau emosi yang kerap terjadi di media digital.

Alya sampaikan, membaca buku bukan hanya aktivitas untuk mendapatkan wawasan dan memperluas pengetahuan. Akan tetapi, meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan emotional intelligence.

Alya mengutip dari salah satu buku yang pernah dibacanya, 'Stop Membaca Berita' karya Rolf Dobelli. Dalam buku self development tersebut, Rolf Dobelli menganjurkan untuk tidak membaca suatu informasi sepotong-sepotong.

Membaca informasi yang tak menyeluruh, bisa meningkatkan kecemasan sebab informasi yang didapatkan tidak utuh. Dengan membaca buku, individu menjadi lebih terbiasa untuk tidak cepat mengambil kesimpulan.

"Udah suka ambil kesimpulan, masalah, emosi dulu. Nah, kalau aku biasa baca buku, jadi kayak punya jarak. Jadi, gak cepat tersulut emosi," tutup Alya.

Menurut Alya, kalau membaca buku, pikiran akan terbiasa melakukan memvalidasi suatu informasi. Orang yang terbiasa membaca akan memverifikasi sumber informasinya, siapa yang menciptakan kabar tersebut, dan berusaha mencari tahu penyebabnya sebelum terburu-buru mengambil kesimpulan. 

Itulah kisah Alya Putri, sosok perempuan hebat di balik bookstagram bacaanalya. Semoga menginspirasimu, ya!

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dina Salma
Febriyanti Revitasari
Dina Salma
EditorDina Salma
Follow Us