Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Sikap yang Terlihat Bijak tapi Sebenarnya Bikin Ilfeel, Hindari!

ilustrasi orang cuek (pexels.com/cottonbro studio)
Intinya sih...
  • Perilaku yang tampak bijak sebenarnya bisa membuat orang lain merasa terluka dan ilfeel
  • Menyuarakan pendapat dengan menilai tanpa empati, terlalu banyak alasan saat menyakiti perasaan orang lain, dan memberikan solusi tanpa diminta adalah sikap yang sebenarnya tidak bijak
  • Penghindaran konflik berlebihan, menolak tanggung jawab emosional, dan merasa sudah healing tanpa melihat dampak tindakan pada orang lain adalah perilaku yang sebenarnya kurang bijak

Kita sering mengira bahwa sikap bijak dan penuh kesadaran diri selalu terlihat elegan, tenang, dan dewasa. Namun kenyataannya, beberapa perilaku yang tampak self-aware justru bisa membuat orang lain merasa ilfeel. Alih-alih mencerminkan kedewasaan emosional, sikap-sikap ini kadang hanya menjadi kedok dari ego yang besar atau ketidakmampuan menerima kritik.

Ironisnya, banyak orang tidak menyadari bahwa niat baik pun bisa terasa menyakitkan kalau tidak disampaikan dengan empati. Fenomena ini semakin sering terlihat di era media sosial, di mana orang berlomba menunjukkan kesadaran diri lewat boundaries yang terlihat tegas. Nah, kira-kira sikap apa saja yang tampak terlihat bijak tapi sebenarnya malah bikin ilfeel?

1. Terlalu sok benar sendiri

ilustrasi orang mengobrol (pexels.com/LinkedIn Sales Navigator)

Beberapa orang terlihat sangat percaya diri saat menyuarakan pendapatnya, seolah-olah mereka paling paham soal hidup. Namun kalau sudah sampai tahap menyudutkan pendapat orang lain, menilai tanpa empati, dan merasa paling suci, itu bukan tanda kesadaran diri, tapi keangkuhan. Mereka mungkin merasa sedang berbagi kebenaran, padahal yang terlihat justru sikap menghakimi.

Studi dari Journal of Social and Clinical Psychology menunjukkan bahwa orang yang benar-benar self-aware justru mampu membangun hubungan emosional dan kepercayaan. Sementara yang sok tahu dan merasa paling benar sering kali hanya mencari panggung untuk berkhotbah. Jadi, merasa yakin dengan nilai hidup sendiri boleh saja, asal tidak merendahkan pengalaman orang lain.

2. Terlalu banyak alasan saat menyakiti orang lain

ilustrasi konflik (pexels.com/Timur Weber)

Terkadang saat menyakiti perasaan seseorang, kita malah sibuk menjelaskan maksud kita dan membela diri. Meskipun tujuannya ingin memperbaiki situasi, sering kali hal ini justru membuat orang yang tersakiti merasa diabaikan atau disalahkan karena berani mengungkapkan rasa kecewanya.

Alih-alih membuat orang merasa dimengerti, terlalu banyak alasan bisa membuat mereka merasa pengalaman emosionalnya tidak valid. Padahal, dalam banyak situasi, yang dibutuhkan hanyalah pengakuan dan permintaan maaf yang tulus, bukan pembenaran panjang lebar.

3. Memberi nasihat tanpa diminta

ilustrasi orang mengobrol (pexels.com/MART PRODUCTION)

Banyak orang merasa dirinya bijak saat mereka menawarkan solusi atas masalah orang lain, padahal belum tentu diminta. Niatnya mungkin baik, tapi jika dilakukan terus-menerus tanpa diminta, itu bisa terkesan meremehkan perasaan orang lain. Tidak semua orang ingin dinasihati karena terkadang mereka hanya butuh didengarkan.

Sikap ini bisa muncul dari ego yang merasa lebih tahu, padahal belum tentu mereka mengerti konteks sepenuhnya. Mirip dengan perilaku narsistik, orang seperti ini kadang punya kepintaran emosional tapi minim empati. Mereka lupa bahwa empati bukan tentang menyelesaikan masalah orang lain, tapi hadir dan mendengarkan tanpa menggurui.

4. Memutus kontak karena masalah sepele

ilustrasi orang menelepon (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Istilah no-contact sering dianggap langkah bijak untuk menjaga kesehatan mental, dan memang bisa jadi pilihan tepat dalam hubungan yang toksik. Namun jika setiap konflik kecil atau beda pendapat langsung berujung blokir dan hilang kabar, itu bukan kesadaran diri melainkan penghindaran yang berlebihan.

Sikap ini bisa membuat orang lain merasa dibuang tanpa kejelasan. Padahal, dalam hubungan yang sehat, kemampuan untuk menyelesaikan konflik secara dewasa adalah bagian penting dari pertumbuhan emosional. Bukan berarti harus terus bertahan dalam hubungan yang tidak sehat, tapi bukan juga memutus segalanya tanpa usaha komunikasi.

5. Menolak bertanggung jawab atas luka orang lain

ilustrasi orang mengobrol (pexels.com/KATRINA BOLOTSOVA)

Ada juga orang yang merasa dirinya sudah healing dan terlalu fokus pada batas pribadinya sampai-sampai menolak tanggung jawab saat menyakiti orang lain. Mereka bisa saja berkata, “Itu perasaanmu, bukan salahku,” dan menganggap itu sebagai bentuk self-awareness. Padahal, itu justru bentuk penolakan terhadap tanggung jawab emosional.

Mengakui bahwa kita berkontribusi dalam luka orang lain bukan berarti mengorbankan diri sendiri. Justru ini menunjukkan empati dan kedewasaan. Menjadi sadar diri bukan berarti lepas tangan, tapi mampu melihat dampak tindakan kita terhadap orang lain dan memperbaikinya.

Nah, sebelum kita merasa sudah cukup dewasa secara emosional, ada baiknya kita berkaca sejenak tentang apakah sikap kita benar-benar menunjukkan kepedulian, atau hanya kedok dari sikap cuek, merasa paling benar, dan justru bikin orang lain tambah ilfeel!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hella Pristiwa
EditorHella Pristiwa
Follow Us